LIMA PULUH LIMA

14 5 0
                                    

Jade berjalan menyusuri kampusnya yang akan ia rindukan selama satu tahun kedepan. Siang ini, ia harus menghadiri sesi briefing dari universitas mengenai kepergiannya dan Jade sangat beruntung karena visanya dengan mudah diterima berkat bantuan dari surat-surat pendukung penerimaan dan hasil tes Bahasa Inggris yang tahun lalu sudah ia ambil. Jade melangkahkan kakinya dengan berat ketika ia berada di taman kampusnya, tempat ia dan Mave dulu pernah makan siang bersama.

Ia sangat merindukan teman pria dengan jutaan tawanya itu. Sudah berhari-hari Jade tidak mendengar kabar dari Mave, ia bahkan sudah mengirimkan puluhan pesan dan panggilan sekarang. Ia tidak tau pria yang ia rindukan itu sedang berada dimana. Ia hanya berharap untuk bertemu dengan Mave sebelum ia pergi meninggalkan Indonesia dua hari lagi. Jade menengadahkan kepalanya ketika ia merasakan adanya daun pohon yang jatuh mengenai kepalanya.

"Daun aja bisa suka sama lu ya, Jade. Apalagi orang, ya nggak sih?" Mave dulu pernah mengatakan itu pada Jade ketika mereka makan bersama di bangku taman dengan masakan yang khusus dibuatkan oleh Mave. Ya, kalian membacanya dengan benar. Mave sangat pandai memasak jadi tidak heran kalau pria itu seringkali pergi ke dapur hotel ketika ia menginap di kota ataupun negara manapun. Memikirkan masakan Mave, perut Jade menjadi lapar tapi ia akan pergi ke ruang dosennya terlebih dahulu dan menghadiri sesi briefing kepergiannya itu.

Sesampainya Jade di depan ruangan dosen, ia menemukan Castella, mahasiswi dari jurusan desain yang akan pergi bersamanya ke University of Liverpool. Mereka berdua nantinya juga akan menjadi teman sekamar selama dua bulan pertama di asrama dan akan menempati apartemen dengan kamar masing-masing selama sepuluh bulan selanjutnya.

Castella nampak gugup, terlihat dari postur tubuh perempuan itu dan tangannya yang ada digagang pintu seakan ia ragu untuk masuk ke dalam atau tidak.

"Lo ngapain?" Jade bertanya dengan bingung.

"E-eh?" Castella malah lebih bingung dan canggung saat ini, ia dengan malu-malu pun akhirnya membalasnya dengan, "gue nungguin orang untuk buka pintu ini," ia menunjuk pintu yang menjadi pembatas antara ruang dosen dengan lorong tempat ia dan Jade berdiri.

Tanpa mengatakan apapun, Jade mengernyitkan dahinya. Kenapa harus menunggu di saat perempuan itu memiliki tangannya sendiri untuk membuka? Ia tidak paham.

"Lo pasti bingung ya," Castella terkekeh canggung, ia kemudian menatap pintu yang tidak bisa ia buka tadi, "gue takut. That's the only reason."

"Ya, gimana? Lo takut?" Jade bertanya kembali, "karena?" Sebelum ia terkesan menyudutkan Castella, Jade menarik kalimatnya dan menambahkannya menjadi, "no offense, gua hanya masih belum paham aja."

"None taken," jawab Castella, ia membenarkan kacamata miliknya yang perlahan turun, berdeham, "ketika gue membuka pintu ini dan mendengarkan briefing dari Pak Ariska, that means gue officially signing out from my comfort zones. And, that's so scary. Bahkan, memikirkannya aja membuat gue takut."

Ah. Sekarang Jade mengerti kenapa Tuhan memberikan Castella dan memilih perempuan itu untuk menjadi partnernya selama satu tahun di Liverpool. Ia dan Castella memiliki ketakutan yang sama dan itu yang akan membuat hubungan mereka berdua akan semakin kuat dan pada akhirnya akan saling menguatkan.

Jade menaruh kedua tangannya diatas pundak Castella, menyalurkan kehangatannya dari tatapan yang ia berikan. Dengan penuh senyuman, ia berkata, "Taking chances is scary, apalagi kalau kita harus sampai keluar dari comfort zones. Gue paham mengenai perasaan yang lo rasain."

"You do?"

"Ya, gue juga merasakan hal yang sama kayak lo, Castella. And, that is totally fine."

"Is it? Gue takut banget, sumpah," Castella berkata dengan nada suara yang semakin pelan, "gue takut kalau pada akhirnya gue nggak bisa bertahan disana."

Jade menyunggingkan senyuman yang dapat membuat siapapun orang yang melihatnya akan merasa sangat nyaman. Senyumannya begitu manis tapi tidak terkesan berlebihan. "Lo nggak perlu takut lagi. Kita berdua pasti akan bertahan disana. Why? Karena kita punya satu sama lain," ia menepuk-nepuk pundak Castella, "jadi, gimana kalau kita masuk ke dalam dan dengerin semua briefing yang dikasih sama Pak Ariska?" Ia mengalihkan pandangannya pada gagang pintu yang tidak dapat dibuka oleh Castella, "we can open that door, together."

"Ya, ya, we should do that," Castella mengangguk dan merapikan rambutnya yang sudah rapi. Ia berdeham pelan, mengulurkan tangan mungilnya pada Jade yang sedang sibuk mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, "gue Castella Lee."

"Jade, Jade Hamilton."

"Jade? Hamilton?" Mata Castella membulat, bulatan yang sungguh lebar dan hampir berhasil keluar serta dijadikan bakso di pinggir jalan.

"Kenapa?"

"That Hamilton?!" Sekali lagi Castella bertanya.

"Ya?"

"Oh, shit!" Castella membelalakan matanya, ia terkejut bukan main, seseorang yang selalu dibicarakan oleh seluruh mahasiswa saat ini sedang berada dihadapannya. Untuk seseorang yang tidak pandai bergaul seperti Castella, ia tetap cukup tau mengenai semua kabar ataupun gosip di kampusnya. "You are the IT girl. Sosok perempuan yang selalu diinginkan oleh semua mahasiswi disini."

Mendengar apa yang dikatakan oleh Castella, Jade tertawa kencang sembari memegang perutnya, "The IT girl, my ass," ia kembali tertawa lagi.

"No, no, seriously. Meskipun lo tergolong mahasiswa baru seperti gue, you still get the title from anyone," Castella berkata, "and you deserve it," ia memperhatikan Jade dari atas ke bawah, "totally. Brain, beauty and behaviour."

Tidak mau mendebat lebih lanjut, Jade hanya tertawa sembari berpikir. Kalau saja orang-orang tau bahwa hidupnya tidak sesempurna itu, apakah mereka akan tetap menjulukinya sebagai IT girl? Sepertinya tidak.

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang