SEPULUH

33 4 0
                                    

Delapan jam sudah berlalu, bis yang digunakan oleh para mahasiswa pun akhirnya sampai ditujuan yaitu Surabaya. Maverick dan Harry juga sudah sibuk untuk melakukan proses check in kamar hotel yang akan digunakan selama tiga hari kedepan.

"Kopernya mau gue bawain nggak, Jade?" Kian yang sudah turun lebih dahulu dan menurunkan koper demi koper yang ada di bagasi bis pun bertanya pada Jade.

Jade yang tau akan apa yang terjadi selanjutnya pun dengan segera meresponnya dengan gelengan kepala dan mengambil alih koper miliknya, "Nggak perlu. I can do it by myself."

"Malam nanti kita harus kulineran sih. Daerah sini ada bebek goreng yang enak banget dan pastinya worth to try," Samanta tersenyum dan menggedipkan mata kanannya pada Jade.

"As long as your destination bukan club, I am totally in," balas Jade.

Setelah itu semua mahasiswa dibagi ke dalam beberapa kamar dan kebetulan Jade mendapatkan Samanta sebagai teman sekamarnya. Ketika sampai di kamar miliknya, Jade merebahkan tubuhnya di ranjang bagian sebelah kanan dan merasakan getaran dari dering ponselnya yang ia taruh di dalam kantung celananya itu.

"Hei! Gimana Surabaya? Lo nggak kangen sama gue?" Kyla langsung saja menyerbu Jade dengan satu hentakan nafasnyaa.

"Hei," Jade membalasnya dengan singkat.

"You don't miss me, do you?"

"What are you talking about? I am totally missing you like crazy, to be fair I miss your sweet ice tea," Jade tertawa pelan agar tidak terdengar oleh Samanta yang saat ini sedang melakukan mini conference dengan alumni sekolahnya secara online, "kan cuman lo doang yang tau kesukaan es teh manis gue, jadi tentu aja gue pastinya kangen sama lo."

Kalau saja Jade sedang melakukan panggilan video, ia pasti dapat melihat Kyla yang saat ini sedang memutar bola matanya dengan ekspresi yang penuh dengan kejengahan, "I hate you," kata wanita yang saat ini sedang sibuk di kampus.

"Me too," balas Jade, hal yang biasa bagi pertemanan mereka adalah mengatakan bahwa mereka saling membenci satu sama lain.

"Jadi, Surabaya aman?"

"Kalau terjadi beberapa hal yang ngebuat situasi awkward antara gue, Kian dan Maverick bisa dinilai sebagai hal yang lumrah, than Surabaya is fine as hell," sindir Jane. Ia jadi terpikirkan kembali apa yang terjadi di bis tadi. Ah, memikrikannya betul-betul membuat kepalanye menjadi pusing.

"W-wait? Maverick? Dari fakultas kedokteran? Maverick itu yang lagi kita omongin saat ini?" Reaksinya sungguh mengejutkan bagi Jade ketika mendengar pertanyaan dari sahabatnya yang sedang ditugaskan untuk menyiapkan materi kompetisi business plan di salah satu universitas ternama di Jakarta, "give me some tea, please! I beg you!"

"Oh, dear, God!"

"Jade! Focus, please!"

"Ya, Maverick itu yang lagi kita omongin."

"Oh my fucking, God?"

"Oh, don't overreacting, Kyla," Jade memperingati sahabatnya itu.

"This is legend!"

"Oh, shit. Please, not you, too," pinta Jade. Sudah cukup baginya mendengar nama Mave yang selalu dikaitkan dengan kalimat-kalimat yang begitu bagus dan seperti hanya tercipta bagi laki-laki itu saja. Padahal, kalau boleh melakukan naked truth disini, ia dapat mengatakan bahwa Mave adalah satu-satunya cowok yang akan ia hindari. Ah, bukan karena ia terlalu naive dan tidak melakukan seperti para perempuan yang lainnya, ia hanya memutuskan untuk tetap berfokus pada Ian yang belum juga kembali sampai saat ini. Jade kembali meyakinkan dirinya untuk kali terakhir pada hari ini, "Ian is mine, begitupula sebaiknya. Mave? Nah, he will be nothing in my life."

"To be honest, Jade. I genuinely think that you and Mave could be together."

"Oh, come on, Ky. Lo tau gue. Lo tau kalau gue masih dalam hubungan sama Ian."

"Do you want to know kenapa gue bisa pikir lo dan Mave bisa bareng?"

Tidak ada jawaban dari Jade, ia membiarkan perempuan yang ada dibalik sambungan telepon itu yang menjawab pertanyaannya sendiri.

"Karena gue nggak pernah lihat senyuman lo yang dulu pernah lo tunjukin ketika Ian ada disini pada saat lo ngomongin tentang Mave. You look ... happy by yourself. Ya, meskipun gue nggak bisa lihat muka lo saat ini, tapi gue udah kenal dengan jelas sama suara lo ketika senyuman lo itu tercetak jelas di muka lo."

"Ky,"

"Biarin temen lo ini berharap, Jade. Lo nggak perlu menyanggah semuanya."

"Do you think I could be happy? Without him, Ky?"

Kyla terdiam. Mulutnya begitu rapat saat ini karena pertanyaan yang baru saja ia dengar. Ini kali pertama Jade menanyakan pertanyaan itu. Pertanyaan yang Kyla tau adalah pertanyaan terakhir yang seharusnya ditanyakan oleh Jade sejak beberapa tahun lalu untuk menutup semua hubungan abu-abunya itu.

"Ah, gue ngomong apaan sih," Jade menutupi kecanggungannya itu dengan tawa renyahnya, "it is impossible for me to forget my relationship with Ian. He is everything to me. My world. Nggak mungkin dengan kedatangan seseorang yang begitu mirip sama Ian dalam waktu singkat bisa ngebuat perasaan sayang gue sama Ian hilang begitu aja."

"Jade," Kyla memanggil.

"Jangan hirauin pertanyaan gue, Ky. Anggap aja gue nggak nanya apa-apa sama lo," ujar Jade.

"You deserve to be happy, Jade. I hope you know that you deserve it all. The best, the most honest, the most beautiful and purest love in the world. Not only to be loved by others, but to be loved by yourself. To look in the mirror and think 'yes, i am exactly who i want to be' and to speak up and be proud of yourself. To be brave and open. You deserve the nicest and most caring people to walk into your life," Kyla mengambil jedanya, mengatur emosinya saat ini agar tidak mengeluarkan air matanya, "you deserve it all, you know."

"The whole world. You deserve it all, Jade. And, you should never forget that."

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang