TIGA PULUH TUJUH

18 3 0
                                    

Saat ini,

Keadaan jauh lebih kondusif meskipun Mave masih marah dengan pilihan yang diambil oleh Ian karena jika ia berada di posisi Ian, ia akan memilih untuk menjelaskan semuanya pada Jade dan akan meninggalkan kesan yang baik dibandingkan dengan menjadi seseorang yang brengsek untuk dibenci seumur hidup. Mave menghela nafasnya panjang, ia mengedarkan pandangannya di lorong rumah sakit. Ia memilih untuk menunggu dan mengharapkan kedatangan seseorang yang belum membalas pesannya sama sekali.

Mave kembali mengecek ponselnya dan mencoba untuk menghubungi Jade, namun nihil karena perempuan itu sepertinya sudah mematikan ponselnya terlebih dahulu. Ia begitu khawatir. Kalau dalam lima menit kedepan Jade masih belum menghubunginya, ia akan berangkat ke rumah perempuan yang ia cintai itu.

"Dia tidur," Gia baru saja keluar dari kamar Ian setelah memastikan sahabatnya itu sudah menerima transfusi darah karena berdasarkan hasil pengecekan tadi pagi, Ian kekurangan sel darah merah sehingga harus dilakukan tindakan sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan. Selain itu, Gia juga sudah memesankan ayam angkak merah yang biasanya dimasakan oleh orangtua Ian yang saat ini sedang beristirahat setelah menemani Ian dan kondisi kritisnya semalaman.

"Ya."

"Ada alasan kenapa gue melarang lo untuk berbicara mengenai Jade enam jam yang lalu," Gia menundukan wajahnya, menyembunyikan air matanya karena ia sama sekali tidak kuat untuk mengatasi semuanya, melihat sahabatnya menderita secara fisik dan mental, membiarkan sahabatnya berulang kali merasakan penderitaan yang begitu hebat. Kalau Gia berada di posisi Ian saat ini, mungkin ia akan langsung mengambil pisau dan membunuh dirinya sendiri agar ia tidak membuat siapapun termasuk dirinya sendiri itu menderita. Sayangnya, Ian bukanlah Gia.

Meskipun Mave sangat enggan mendengar alasan apapun dari Gia mengenai Ian, ia tetap bertanya dengan ekspresi datarnya, "Kenapa?"

"Ian langsung drop begitu Jade pergi dari rumah sakit, Mave. Lo kira Ian bakalan baik-baik aja setelah pertengkaran mereka kemarin?" Gia bertanya, "jujur, gue cuman takut dia bakalan ninggalin kita selamanya, Mave."

"Bukannya dia yang gali lubang sendiri ya? Gue tau kalau gue akan terdengar brengsek buat ngomong kayak gini, tapi seharusnya kalau dia nggak memilih pilihannya saat ini, gue yakin kalau dia akan baik-baik aja," Mave menatap Gia, ia mendapatkan perasaan bahwa perempuan itu sedang memanipulasi perasaannya untuk merasa kasian dan menyalahkan Jade karena telah bertengkar dengan Ian kemarin, "jadi, kalau di pikiran lo cuman mau nyalahin Jade soal kondisi kesehatan Ian, lo harus mikir dua sampai tiga kali, Gia. Yang mulai pertengkaran di hubungan mereka itu dimulai dari pilihan bodohnya Ian."

Bukannya tidak menerima, Gia malah menganggukkan kepalanya setuju sehingga membuat Mave malah bingung sendiri, "Memang. Gue akuin kalau pilihan Ian adalah pilihan cowok pengecut yang sama sekali nggak bisa dibenarkan. I know that. Tapi, gue juga tau alasan kenapa Ian mengambil pilihan itu dan gue juga minta lo untuk jangan cuman lihat dari satu sisi karena it will be not fair for Ian, Mave. He loves her tapi memang keadaan sama sekali nggak menguntungkan untuk mereka."

"Fair?" Mave menyunggingkan senyuman sinisnya, "kalau mau main kalimat adil dan tidak adil, lo juga harus pertimbangin dari sisi Jade. You know what, I ain't talking about this shit with you anymore, Gia. Jangan bertingkah layaknya lo adalah orang paling open minded because you're not," ia kemudian berdiri dan pergi meninggalkan Gia yang menundukkan kepalanya menghadap ke arah lantai.

Dua puluh menit kemudian, Mave telah sampai di rumah megah kawasan Jakarta Selatan yang selalu dianggung-anggungkan orang banyak karena dinilai sebagai lokasi bagi para konglomerat. Mave melepas helm miliknya dan merapikan rambutnya sedikit agar tidak terlihat seperti orang gila. "Nyari siapa ya, Mas?" tanya Bi Haya yang sedang menggunting rumput-rumput liar yang bertumbuhan di taman depan rumah Jade.

"Nyari Jade, Bi. Jadenya ada?" tanya Mave, matanya sembari mendeteksi keberadaan Jade yang tidak kunjung ia dapatkan. Kemana perempuan itu?

"Pas banget, Mas. Saya butuh seseorang buat mancing Nona Jade untuk keluar dari kamar," Bi Haya melebarkan senyumannya yang sama sekali tidak dimengerti oleh Mave. Seakan mengerti akan kerutan dari Mave, ia lalu menjelaskan, "Nona Jade sama sekali belum melakukan apapun kecuali tidur di kamarnya sejak kemarin malam. Belum makan, mandi, dan lainnya."

"She is?" Mave mengerutkan dahinya kembali dengan penuh kekhawatiran.

"Ya," Bi Haya asal menjawab karena ia tidak mengerti bahasa inggris dan memilih untuk menjawab dengan jawaban yang aman, "lebih baik kalau ada sahabatnya yang menemani bukan? Coba deh, Mas langsung aja naik ke kamarnya. Saya mau mengabari kedua orangtua Nona Jade dulu kalau begitu," kemudian Bi Haya undur pamit setelah ia menunjuk pintu hitam yang katanya merupakan kamar dari Jade.

Mave melangkahkan kakinya, tidak mendengar pergerakan apapun dari setiap ruangan yang ia lewati sepanjang jalan menuju kamar Jade. Ia kembali mengernyitkan dahinya, "Beneran nggak ada aktivitas apapun?" ia mencondongkan telinganya ke arah balik pintu hitam yang ditunjuk oleh Bi Haya. Mave mencoba untuk mengetuk pintu namun ia juga tidak mendapatkan jawaban sampai akhirnya ia memutuskan untuk masuk sendiri karena Bi Haya juga sudah menyampaikan kalau pintu kamar Jade tidak terkunci.

Ketika Mave sudah masuk ke dalam kamar, ia membulatkan matanya terkejut melihat Jade yang tergeletak di lantai kamarnya dengan botol obat yang terbuka dan beberapa obat yang terjatuh di lantai. Dengan segera Mave berteriak memanggil Bi Haya sampai perempuan paruh baya itu datang ke kamarnya dengan keterkejutan yang sama seperti yang dialami Mave barusan. "Tolong panggil ambulans, Bi!"

"Mas! Nona Jade kenapa bisa begini?! Satu jam yang lalu saya cek baik-baik saja!" seru Bi Haya panik.

"Benzodiazepine," Mave membaca botol obat tersebut secara sekilas. Kemudian, ia mengecek nadi Jade yang melemah. Ia memang mahasiswa kedokteran, namun menangani Jade sendiri tanpa membawanya ke rumah sakit adalah hal paling bodoh yang ia lakukan di sepanjang hidupnya. "Panggil ambulans cepetan, Bi!" Ia mengeluarkan ponselnya sendiri dan langsung menelpon pamannya yang saat ini sedang berada di Milan untuk melakukan operasi gabungan terbesar disana.

"Kalau sampai terjadi apa-apa sama lo, I will not forgive myself, Jade. Never," Mave menahan air matanya dan berbicara dalam hati. Ia kemudian mengangkat Jade dan membawanya turun dari kamar setelah tidak mendapatkan jawaban dari panggilannya dengan pamannya yang merupakan dokter itu.

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang