DUA PULUH SATU

22 3 0
                                    

Sesuai dengan arahan Ethan, Jade dan Mave sudah pulang dengan sebuah informasi bahwa besok akan diadakannya pemakaman. Namun sebelum pulang ke hotel, Mave lebih dulu memarkirkan mobilnya di sebuah kios dengan gerobak rawon di bagian depan yang sudah sangat sepi mengingat saat ini sudah jam dua belas malam.

"We are going to eat," Mave memberitahu, ia kemudian mengambil hoodie hitam yang ada di bangku belakang dan memberikannya pada Jade. "Di luar dingin."

"Okay," Jade tidak menolak karena ia tau mereka berdua tidak mempunyai tenaga untuk memulai dan menyelesaikan perdebatan. Energi mereka sudah terkuras sejak tadi pagi meskipun korban yang terlibat bukanlah kerabat dekat mereka.

Setelah keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Jade, meskipun perempuan itu tidak meminta, kemudian Mave berjalan menuju kios tujuannya dan memesan satu-satunya menu yang memang terjual disana, "Mas, rawonnya dua ya."

"Baik, sebentar ya, Mas," jawab si pedagang rawon tersebut. Ia kemudian langsung saja mempersilahkan kedua tamunya itu untuk duduk, lalu ia menyiapkan makanannya.

"Sepi ya," Jade menyadari bahwa tidak ada orang selain mereka berdua yang makan disana. Sembari merapatkan kedua tangannya dibalik kantung hoodie hitam milik Mave yang begitu hangat dan nyaman, Jade mengedarkan pandangannya dan tatapannya terjatuh pada seorang anak kecil dengan pakaian lusuh sedang tertidur dengan sangat nyenyak bersama kedua orangtuanya dan hanya menggunakan kertas koran untuk alas dan selimut mereka.

Mave yang sedari tadi mengikuti pandangan Jade pun ikut berbicara, "Shit happens daily. To everyone. The difference is in how people deal with it."

"Gue nggak kebayang kalau gue ada diposisi mereka. I don't even know how to deal with my past, apalagi harus ngelaluin hal seperti mereka," Jade menundukkan kepalanya dan menatap lantai putih yang sangat bersih namun ada goresan diujung ubin tempat ia menginjakkan kakinya. Anehnya, di setiap ubin lantai tersebut semuanya memiliki ukuran goresan dan persis di tempat yang sama.

"Bukan cuman lo aja kok. It is okay not to let go of your past, yet," ujar Mave.

Tidak ada jawaban dari Jade, ia hanya mengangkat dagunya dan menatap lurus ke arah Mave, memperhatikan struktur wajah pria itu dengan diam. Meskipun begitu, telinganya sudah siap untuk menampung apapun yang dikatakan oleh Mave.

"You know ... my mom, waktu ia berusaha untuk let go bokap gue setelah dia meninggal," Mave menarik nafasnya pelan, ia ragu untuk menceritakan hal ini, tapi akhirnya ia memutuskan untuk melakukan hal sebaliknya, "she walked to the other side of the bridge and burned it down so that my dad could no longer reach her in the present. That is how she lived her life and survived the pain she had."

"Kalau lo?"

"Ya?"

"Melakukan hal yang sama?"

"Nggak, gue melakukan hal yang sebaliknya. Gue membiarkan bokap untuk terus ada dibenak gue and sometimes, not to be mean, kadang dia menghancurkan kehidupan gue di masa kini. Karena gue stuck sama dia dan memilih untuk menjadi tertutup di beberapa kesempatan."

"Lo marah nggak sama dia?"

"Nggak."

"Kenapa?"

"Karena kalau dipikir dengan otak yang waras, bukan dia yang seharusnya disalahkan. Gue yang masih belum bisa lepasin dia. Mungkin aja dia udah lepasin gue, we never know karena dia udah meninggal. Tapi, kita sebagai orang yang masih hidup, kita masih bisa memilih dan pilihan gue adalah untuk tidak melepaskan dia. It does not mean I do not want to let him go. It's not now because I am not ready to face them."

"Lo masih ditahap denial, ya?"

"You could say so," tatapan mata Mave menjadi lebih hangat dibanding sebelumnya, tangannya ia angkat ke udara dan meletakannya diatas kepala Jade, ia kemudian mengelusnya pelan, "nggak apa-apa kalau belum bisa lepasin masa lalu. Gue juga belum. Setiap orang punya waktu dan caranya masing-masing dihidupnya."

"Mungkin ini jadi kesamaan antara kita berdua kali ya? Kita sama-sama masih belum bisa melangkah jauh dari masa lalu kita."

"Yeah," Mave menganggukan kepalanya singkat dan menarik tangannya dari atas kepala Jade.

"Maaf kalau saya terkesan ikut campur. Tapi, saya mendengar seluruh percakapan kalian berdua dan hati saya tergelitik untuk ikut nimbrung. Kalian berdua orang baik, saya yakin hal itu, dan saya hanya bisa mendoakan bahwa kalian akan terus bahagia meskipun belum bisa lepas dari masa lalu. Saya yakin kalian akan menemukan cara untuk bahagia di masa kini meski harus berpura-pura sudah melupakan masa lalu," Pedagang rawon yang sudah meletakkan kedua mangkuk rawon diatas meja Mave dan Jade pun berkata.

Jade dan Mave yang mendengar hal tersebut pun terdiam untuk mencerna kalimat panjang tersebut. Butuh beberapa detik untuk akhirnya bisa menjawabnya dengan, "Let's pretend we are okay and not falling into pieces deep inside. Let's fool ourselves together and be happy," Jade menyarankan.

"Tapi kita nggak bisa selamanya pretending, Jade."

"Yeah. Tapi bisa kan kalau kita hanya pikirin tentang masa kini aja? Udah cukup kita pusingin tentang masa lalu dan kini, jangan sampai masa depan juga ikut turut serta dalam hal ini," Jade berbicara dengan sedikit antusias. "So ... are you in? Will you take a chance to be happy with me by pretending?" Jade bertanya.

Mave sempat ragu karena ini bukan dirinya. Ia belum pernah harus berpura-pura membohongi perasaannya di masa lalu demi kebahagiaan di masa kini. Namun, akhirnya ia menjawabnya dengan, "Okay. We are both going to be liars. White lies would never hurt, right?"

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang