TIGA PULUH SATU

20 3 0
                                    

Setelah mengunjungi Ian di rumah sakit dan menemani pria itu menjalani kemotrapi, ia ijin pamit untuk pergi dari sana dengan alasan pulang ke rumah. Namun, hal yang dilakukan oleh Jade bukanlah pulang ke rumah, melainkan ia pergi mengunjungi cafe favoritnya yang sudah lama tidak ia kunjungi itu. Labrinth. Cafe yang menyimpan jutaan memori antara dirinya dan Ian, tempat yang mengingatkannya kembali bahwa perjuangannya akan terbayarkan kalau ia tidak ragu akan dirinya sendiri.

            "Kapan bisa hidup buat diri lo sendiri sih, Jade?" Kyla berjalan mendekat ke arah meja yang berada di tengah-tengah cafe dengan sebuah gelas latte hangat yang dipesankannya untuk Jade lima menit lalu.

            Jade menyunggingkan senyumannya singkat, sekenanya saja, karena ia sama sekali tidak ada mood untuk tersenyum.

            "Ian dan Mave, mereka berdua kan yang ada di otak lo sekarang?" Kyla bertanya yang tanpa dijawab oleh lawan bicaranya pun ia sudah tau jawabannya.

            Ian dan Mave. Dua laki-laki yang saat ini sedang ada di dalamh hidupnya. Yang satu baru saja kembali dan secara perlahan mengisi kembali ruang di hatinya yang selama ini kosong. Dan satu lagi? Mave sudah menetap di salah satu ruangan yang ada di hatinya, ruangan yang seharusnya ditempati oleh Ian. Masuk akal?

            "Gue selalu berpikiran kalau Ian nggak akan kembali. Cowok brengsek kayak dia, gue nggak pernah ngira dia punya keberanian untuk kembali dan mencoba untuk balikin semua yang dia tinggalin ke tempat semula," Kyla berbicara.

            "Nggak, dia nggak pernah sekalipun mencoba untuk balikin semuanya ke tempat semula, Ky."

            "Ya?"

            "Gue, gue yang secara paksa meminta dia untuk balik ke tempatnya semula. Dan, ternyata sepertinya pilihan itu salah?" ujar Jade yang dilanjutkan dengan, "nggak, gue yakin sebenarnya tindakan gue itu benar. Ian, cowok itu pergi dan sudah seharusnya kembali ke tempat semula ketika dia memutuskan untuk balik kan?"

            "Sumpah, gue bingung banget harus balas apa dari omongan nggak masuk akal lo itu."

            "Gue nggak masuk akal ya?" Jade menghela nafasnya panjang, ia pun bingung.

            "Sebenarnya, ini perkara mudah, Jade."

            "Mudah?"

            "Lo masih cinta sama Ian?"

            "Masih, seharusnya memang begitu kan? Selama bertahun-tahun gue selalu nunggu dia balik dan meminta sama Tuhan untuk mengembalikan dia ke gue. Dan, seharusnya perasaan gue harus tetap sama kan? Nggak, harus sama. Perasaan gue sama Ian tetap sama kok."

            "What about Mave?"

            "What about him?"

            "Lo nggak bahagia sama dia?"

            "Bohong kalau gue bilang gue nggak bahagia sama dia, Ky."

            "Do you love him?"

            "Love?" Jade terkekeh, meyakinkan dirinya sendiri, "cinta adalah hal terakhir yang harusnya gue rasain ketika bersama Mave. Bener, kan? Ian is my priority, Ky. He is and will always be."

            "Ya udah, kalau itu mau lo. Lo pastinya akan pilih Ian kan?" Kyla bertanya dan mendapatkan anggukan kepala dari sahabatnya itu, "Gue nggak akan mendebat apapun. Kalau lo udah yakin sama diri lo sendiri mengenai pilihan lo. Go for it dan lupain Mave. Lepasin dia. Jangan kasih dia harapan apapun lagi. Fokus dengan pengobatan Ian. Fokus untuk mendapatkan Ian kembali."

            "That is totally what I want," ujar Jade, secara tidak sadar ada perasaan tidak enak ketika ia berbicara, "Gue nggak akan peduli tentang apapun yang menyangkut Mave, semuanya akan tentang Ian saat ini," ia berusaha memantapkan hatinya meskipun ada perasaan yang mengganjal disana.

            "Lo nangis?" Kyla menyadari ada tetesan air mata yang membasahi pipi Jade.

            "I think I love him, Mave, I think I love him," pertahanan Jade perlahan runtuh, air matanya mengalir begitu saja dan perasaan yang sudah ia tahan, lepas begitu saja. "I need to prioritize Ian karena gue akan menjadi manusia paling jahat sama Tuhan yang sudah memberikan kembali orang yang gue butuhkan, orang yang selama ini gue tunggu. Tapi, gue sadar kalau sumber bahagia gue kayaknya bukan disana, bukan dari orang yang tidak memprioritaskan gue juga, Ky."

            "Jade," Kyla mendekat dan memeluk sahabatnya dengan erat, mengusap puncak kepalanya untuk menenangkannya. Hatinya teriris melihat Jade menangis kebingungan seperti ini. Biasanya, sahabatnya itu selalu yakin dengan keputusannya dan selalu memilih Ian diatas apapun. Namun, sepertinya kali ini ia sudah tidak bisa menjadi Jade yang dulu karena semuanya begitu rumit dan harus diputuskan. Dan, keputusan itulah yang akan menjadi penentu bagi semuanya. Penentu apakah hubungannya dengan kedua laki-laki itu akan berakhir ataupun berlanjut.

            "Mana yang harus gue pilih Ky?" tangisan Jade semakin menjadi dan mengundang beberapa pasang mata ke arahnya. "Pilihan yang mana? Yang membuat gue bahagia dan menjadi orang paling egois sedunia, atau pilihan yang satu lagi?"

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang