SEBELAS

34 5 0
                                    

Malam hari tiba, Jade memutuskan untuk tidak keluar hotel dan tidak mengikuti rencana yang sudah disusun oleh Samanta dengan alasan dirinya lelah dan sangat membutuhkan istirahat sebelum menghadapi jadwal yang padat esok hari. Jade menghembuskan nafasnya panjang, matanya mengarah pada ponsel miliknya yang saat ini menunjukan ruang chatmiliknya dan juga Ian, pria yang sudah tidak pernah membalas semua pesannya sejak meninggalkan Indonesia.

Sebelumnya, Jade sudah mengetikkan sebuah kalimat yang kemudian membuatnya mempertimbangkan keputusannya. "Ian, udah dua tahun. Aku harus nungguin kamu sampai kapan?" Jade paham betul resiko apa yang akan ia terima ketika mengirim pesan tersebut. Ia tau kalau hubungannya akan hancur begitu saja tanpa adanya perjuangan.

Jade kembali menghembuskan nafasnya panjang, entah sudah ke berapa kalinya ia melakukan ini. Matanya mengarah pada pemandangan kota yang dapat ia lihat dari balik jendela kamar hotelnya. Dua menit kemudian, Jade menaruh kepalanya diatas meja yang ada didepannya dengan mata yang masih menatap ke arah luar. Jalanan di luar masih begitu ramai, mungkin karena masih jam sepuluh malam?

"I love you, Ian," Jade menarik kepalanya dari atas meja dan mulai mengetikkan sesuatu kembali di ponselnya. Menit selanjutnya Jade menghapus tiga kalimat penuh makna tersebut. Frustasi apa yang sedang dia hadapi saat ini, Jade kemudian melemparkan ponsel miliknya ke ranjang tidurnya dan berjalan menuju koper hitam miliknya untuk mengeluarkan hoodie hitamnya. Ia memutuskan untuk keluar dari kamar dan menjauhkan diri dari ponselnya agar tidak membuat keputusan yang bodoh dan tergesa-gesa akan hubungan percintaannya itu.

Hal yang seringkali dilakukan oleh Jade ketika sedang pergi ke luar kota adalah mengunjungi bagian dapur hotel itu sendiri. Tidak, bukan untuk memesan makanan, melainkan untuk berkunjung dan memasak disana. "Pak, open kitchennggak ya?" Jade bertanya pada seseorang yang berada di meja restaurant hotel.

"Sebetulnya kita belum open kitchen sih, Mbak. Hanya beberapa hotel saja yang menyediakan open kitchen untuk tamunya," jawab seorang yang bername-tag Agung dengan posisi pelayan restaurant. "Tapi, karena ada yang sudah minta ijin untuk open kitchen duluan sebelum Mbaknya, jadi saya dan team mengijikannya."

"Oh? Udah ada yang minta ijin open kitchen, Pak?"

"Ya, Mbak. Orangnya sudah didalam sih," Agung kemudian menengok ke arah dapur dari balik jendela kecil pintu yang membatasi antara dapur dan restaurant, "lagi masak sih kayaknya, Mbak. Orang-orang kitchen juga udah saya istirahatkan semua jadi kondisi dapur sedang kosong dan hanya Mas yang ada didalam saja."

"Nggak apa-apa kalau saya gabung ke dalam?" Jade bertanya.

Agung menggelengkan kepalanya, "Menurut saya sih nggak apa-apa, Mbak. Tapi, saya coba tanyakan dulu ya ke dalam."

"Ya."

Tiga menit kemudian, Agung pun keluar dari balik dapur dengan sepiring pasta yang sepertinya baru saja matang, "Nggak apa-apa, Mbak. Masnya juga udah selesai masak dan hanya sedang duduk-duduk saja didalam."

"Okay," Jade menganggukan kepalanya dan segera masuk ke dalam dapur dengan perasaan gembira. Ia sudah sangat sering melakukan open kitchen di setiap hotel yang ia tuju. Open kitchen adalah satu kondisi dimana ruangan dapur dikosongkan tanpa adanya profesional chef di dalam dan kita dibiarkan masak makanan kita sendiri dengan alat dan bahan-bahan yang ada di dalam selama beberapa waktu. Biasanya hanya diperbolehkan pada saat jam malam.

"Lo mau masak?"

Jade begitu terkejut ketika matanya menemukan orang yang saat ini sedang duduk diatas meja stainless yang bersebelahan dengan working table yang biasanya dijadikan tempat untuk melakukan berbagai macam kegiatan memasak dan pengolahan makanan. "Kak Mave?" Jade tidak percaya bahwa ia bertemu dengan Maverick di dalam dapur.

"Nggak usah panggil Kak, terlalu formal, gue nggak suka," ujar Maverick yang masih mengunyah pastabuatannya.

"Ah, okay," Jade cepat-cepat mengangguk. Tidak mau lama-lama menatap Maverick dan bertekad akan kabur secepat mungkin setelah memasak, Jade segera mengedarkan pandangannya pada bahan-bahan yang ada diatas meja dan pilihannya hanyalah membuat nasi goreng. Simple, cepat dan mudah.

"Lo mau masak apa?" Maverick bertanya.

"Nasi goreng."

"Nasi goreng doang?"

"Ya."

"Mau gue masakin pasta aja nggak?" Maverick menyodorkan piring pastanya yang sudah tinggal sedikit itu, "aglio olio."

"Nggak usah. Gue bisa sendiri kok," tolak Jade buru-buru. Dalam beberapa saat ia sudah menyiapkan semua kebutuhannya dimulai dengan nasi, telur, sosis dan juga beberapa sayuran yang ia temukan dalam lemari sayur.

Ketika Jade sedang fokus memotong sosis miliknya, Maverick tiba-tiba bersuara, "Lo tau dari mana kalau ada beberapa hotel yang nyediain open kitchen kayak gini?"

Dari Ian, tidak mungkin kan kalau Jade menjawab seperti itu?

"Dari teman, biasa kita masak sendiri setiap malam kalau memang lagi lapar pas lagi liburan di hotel," Jade menjawab, "lo sendiri tau dari mana tentang open kitchen?"

"Dari bokap sebelum dia meninggal."

"Lo kira gue bakalan percaya sama dark jokes lo, Mave?" Jade tertawa renyah, matanya masih mengarah pada pisau yang ia gunakan untuk memotong sosis.

"Gue lagi nggak bercanda. Dulu bokap gue emang sering banget bawa gue ke kitchen dari hotel-hotel yang dia invest. Kami berdua seringkali masak pasta karena di setiap hotel yang kami datangi lebih banyak nyiapin makanan Italia," Maverick berkata dengan begitu santai sedangkan orang yang ia ajak bicara sedang membatu seperti patung dengan tangan yang masih memegang pisau. "Bahaya," ia mengambil alih pisau yang ada ditangan Jade.

"Ma-mave, gue nggak maksud," Jade yang masih membatu itu pun segera minta maaf. Ia jujur tidak tau kalau laki-laki itu sedang berbicara akan fakta dan dengan mudahnya menceritakan mengenai ayahnya yang sudah meninggal. Ia kira Maverick sedang bercanda padanya. Ah, ia begitu tidak enak saat ini hingga tidak berani menatap mata Mave.

"It's okay. Gue kalau jadi lo juga nggak akan percaya dengan apa yang gue bilang barusan," Mave mencoba untuk sesantai mungkin dan mencairkan suasana canggungnya dengan Jade, ia kemudian menaruh pisau yang sudah ditangannya ke atas meja, "lo nggak percaya kalau gue bisa ngomongin hal yang sulit ke orang yang baru aja gue kenal kan?"

Jade menurunkan pandangannya, ia saat ini hanya berani menatap lantai saja.

"It is because I feel comfortable around you, jadi gue juga ngerasa kalau bisa ngomong mengenai masalah kematian bokap gue. Nggak semua orang gue kasih tau mengenai kematian bokap, Jade."

"I am sorry."

"No need to be sorry ketika lo berhasil ngebuat gue nyaman tanpa melakukan apapun, Jade. 

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang