DUA PULUH TUJUH

13 4 0
                                    

Tiga hari yang lalu,

Kalau Tuhan ada di hadapan Jade saat ini, mungkin ia akan langsung menanyakan kenapa Tuhan seringkali mempermainkan dirinya dan perasaannya? Saat ini, Jade sedang duduk berhadap-hadapan dengan perempuan tinggi, berambut panjang dan bermata hijau yang tidak lain adalah Georgina Ario, perempuan yang awalnya hanya ia lihat dalam sebuah foto berukuran A4 yang selalu dibingkai oleh Ian dan dipajang di rumahnya, sekarang ada di hadapannya dengan sebuah cangkir kopi yang ada ditangannya.

Pagi ini, Jade dihubungi oleh satu nomor asing yang mengaku sebagai Georgina Ario dan mengajaknya untuk bertemu. Tanpa mencurigai apapun, Jade menyetujui dan membatalkan janji temunya dengan Mave untuk menemani pria itu mencari teman bagi ikan peliharaannya itu.

"Jadi, apa yang mau lo bicarakan?" Jade menggulung lengan hoodie yang ia pakai dan melipat kedua tangannya di depan dada.

"Lo nggak mau pesen minum or apapun gitu?"

"Gue rasa kita nggak akan ngobrol lama. Jadi, buat apaan gue pesen minum?" sinis Jade.

"Fine, whatever," Gia tidak peduli.

Jade mengamati dengan teliti bentukan wajah Gia yang nampak begitu ... sempurna. Kalau Ian meninggalkannya karena Gia, ada kemungkinan kecil Jade akan menerimanya. "Ian mana? Kenapa cuman lo sendiri yang balik ke Indonesia? It has been two years since he left me, maksud gue Indonesia. Meninggalkan Indonesia."

"Nggak perlu dikoreksi. Emang bener dia tinggalin lo juga kan."

"Whatever."

"Sebetulnya, bukan keinginan dia untuk ninggalin lo. Dia punya situasinya sendiri yang pada akhirnya memaksa dia untuk mengambil keputusan sulit itu."

"Kenapa? Karena gue yang paling mudah ditinggalin ya?"

"Bukan. Bukan karena itu."

"Karena dia yakin kalau lo adalah satu-satunya orang yang akan terluka begitu mendengar kabar mengenai kesehatan dia. Dia ngebuat dirinya menjadi sosok yang dapat dibenci sama lo, sosok yang pantas untuk dibenci. Dia lakuin itu karena dia pengen ninggalin lo dengan tenang. Tapi, gue yakin dia melakukan hal bodoh karena itu," Gia mendengus kesal, "meninggalkan lo hanya akan membuat lo semakin sayang sama dia. Bukan benci. Ya, meskipun gue nggak kenal sama lo, gue yakin mayoritas perempuan seperti itu."

"Maksudnya? Bisa nggak usah berbelit-belit dan langsung ceritain dari awal aja nggak?"

"Ian, dia adalah salah satu pasien kanker darah di Baerta Hospital Sydney sejak dua tahun yang lalu."

"Ian? Kanker?"

"Ya, saat ini gue udah pindahin dia ke salah satu kamar VVIP yang ada di Baerta Hospital Jakarta. Meskipun dia menentang pilihan untuk perawatan di Indonesia dan tentunya melarang gue untuk cerita sama lo mengenai kesehatan dia yang terus menurun itu, gue tetap akan lakuin apa yang menurut gue benar."

Nafas Jade langsung tercekat seoalah ia lupa bagaimana caranya menarik dan membuang nafas.

"He is sick, Jade. Ketika dia ninggalin lo dan pakai gue sebagai alasan, dia bohong, Jade," Gia menahan air matanya, tidak akan ia gunakan untuk hari ini, katanya pada dirinya sendiri. "Faktanya gue nggak pernah hilang dari kehidupan Ian, dia hanya menggunakan gue sebagai alasan untuk pergi dari kehidupan lo dan keluarganya. Dia memilih untuk menjalani perawatannya sendiri, Jade."

"Keluarganya nggak tau?"

"Satu tahun yang lalu gue kasih tau mereka dan tentunya mereka marah besar. Tapi, akhirnya mereka bisa nerima itu dan saat ini terus-terusan terbang ke Australia ketika ada waktu dan nemenin Ian untuk kemotrapi."

"Kenapa nggak ada satupun keluarga Ian yang kasih tau gue? Gue selalu luangin waktu untuk pergi ke rumah mereka dan nemenin dinner setiap bulan. Mereka nggak pernah kasih tau apapun ke gue," raut wajahnya begitu tertekan, marah dan sedih secara bersamaan. Jade begitu kecewa.

"Karena Ian mengancam mereka, Jade."

"Mengancam?"

"Dia bilang kalau salah satu dari kita, keluarganya dan gue, ada yang kasih tau kondisi dia ke lo, dia nggak bakalan mau lanjutin perawatannya dan memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Itulah alasan kenapa kita nggak pernah mau buka mulut sampai hari ini, Jade."

"He wants to end his life?"

Gia mengerti arti kerutan yang ada di dahi perempuan didepannya saat ini, "Yeah, kedengerannya kayak bukan dia banget kan? Truth is he changed, Jade. Ian yang kita kenal itu udah nggak ada. Cancer changed him into someone we don't even recognize anymore."

"Where is he now?" Jade bertanya, ia harus bertemu dengan Ian. Ia harus mendengar semuanya dari pria yang meninggalkannya dua tahun yang lalu, bukan dengan juru bicaranya.

"Dia nggak akan terima lo sebagai pengunjung rumah sakitnya, Jade. Dia aja bahkan nggak tau kalau gue samperin lo dan cerita mengenai ini semua," Gia menggelengkan kepalanya.

"Lo bilang kalau lo mau ngelakuin hal yang benar tanpa peduli dengan apa yang dikatakan oleh orang lain. Ini salah satunya, Gia. Mengantarkan gue ke tempat Ian adalah hal benar yang harus lo lakuin," ujar Jade yang dilanjutkan dengan, "udah dua tahun Ian menghilang dan bertindak seperti pengecut dengan menghindari semua orang. Bukannya ini saatnya dia man up?"

"Fine, gue akan bawa lo kesana," Gia mendesah, mengalah karena merasa apa yang dikatakan Jade adalah hal yang benar. Temannya itu sudah lama berlindung dibalik penyakitnya.

"Hari ini, Gia. Hari ini kita akan kesana."

"Hari ini? Lo gila?!" seru Gia yang nampak terkejut.

"Mau kapan emang? Emangnya kita tau seberapa lama Ian bakalan bertahan di rumah sakit? Nggak kan?" ada kepahitan yang terasa di mulut Jade ketika mengatakan hal tersebut. Namun, ia berusaha untuk menelannya dan menerima.

Gia nampak menimbang-nimbang keputusannya sebelum akhirnya dia berkata, "Ya, hari ini kita kesana. Tapi, ada satu hal yang harus lo lakuin dulu sebelum kita kesana."

"Apa?"

"Lo harus janji sama gue untuk balik lagi sama dia. Terima dia dalam kondisi apapun yang dia hadapi sekarang. Tinggalin siapapun yang saat ini lagi berhubungan sama lo karena ketika lo bertemu dengan Ian, lo harus tetap ada disamping dia sampai kapanpun, Jade. He needs you."

Jade tidak bisa memberikan reaksi apapun. Pikirannya melayang pada Mave yang pastinya akan kecewa dengan keputusannya hari ini. Tapi, apa boleh buat? Ian jauh lebih penting daripada Mave. Ya, kan?

"Gimana? Lo akan lakuin itu kan?"

"Do I have a choice?"

"No."

"Okay, then, I will put everyone behind because Ian is everything. He is my priorities."

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang