EPILOG

66 6 1
                                    

Tidak pernah terpikirkan oleh Jade kalau ada orang yang akan menghampirinya ke luar negeri hanya karena kangen,kecuali keluarganya. Ia tau kalau keluarganya akan melakukan apapun termasuk terbang setiap satu bulan sekali untuk berkunjung selama satu minggu di Liverpool. Jade masih berada di private room kampusnya bersama dengan Castella yang saat ini sudah bangun dan merapikan diri karena ia harus bergegas melakukan bimbingan.

"Jadi, maksud lo adalah Mave akan datang kesini?" Castella bertanya disela-sela kesibukannya untuk merapikan rambut dan wajahnya yang berantakan serta pucat layaknya orang sakit. Ia juga mengeluarkan alat catokan portable yang selalu ia masukkan ke dalam tas bawaannya.

"Yes."

"No uh," Castella berhenti dan mengarahkan pandangannya pada Jade yang saat ini sedang panik? Bagaimana tidak, raut wajah Jade saat ini seperti sedang menahan pipis dan sangat mengkhawatirkan menurut Castella. "Why are we freaking out? Remind me again," ia tidak paham, namun satu hal yang pasti adalah setiap permasalahan yang terjadi pada salah satu diantara mereka adalah masalah bersama. Setidaknya itu adalah satu dari belasan pelajaran tentang tinggal di luar negeri yang telah mereka sadari dan mengerti.

Jade mengulum bibirnya cemas, mengambil jedanya dan mengeluarkan polaroid berbentuk postcard dari dalam kotak hitam. "Gue menemukan ini dan akhirnya gue telepon dia."

"You called him?!" seru Castella, tentu saja ia tau aturan main dari Jade dan Mave mengenai tidak saling berhubungan dan berkomunikasi selain dari postcard. "Are you out of your mind? What about the communication rules that you've made with him?"

"Lo kira gue khawatir karena peraturan itu?"

"Terus apa yang lo khawatirin?"

"I don't know how to talk with him. He said that he missed me."

"Wh-what?" Castella hampir saja tertawa, tapi ia dengan baik menahannya karena ia tau Jade benar-benar panik dan sedang tidak bercanda. Ia kemudian melanjutkan perkataannya dengan, "gue percaya akan satu hal di dunia ini sih, Jade. Kalau memang he is the one, then lo nggak perlu mengkhawatirkan sesuatu karena semuanya akan terjadi secara natural. Nggak perlu mengeluarkan usaha yang extra kalau memang lo bersama dengan orang yang tepat. Trust me."

Dengan apa yang dikatakan oleh Castella, setengah jam kemudian Jade sudah berada di salah satu kedai kopi yang pernah menjadi objek foto postacardnya dan saat ini dipilih menjadi tempat bertemunya mereka berdua. Jade sudah dikabari oleh Mave kalau pria itu sedang dalam perjalanan dari bandara dan membutuhkan waktu sekitar lima menit lagi. Jade membuang nafasnya resah, berkali-kali ia mengikuti lomba debat internasional dan tidak pernah sekalipun ia gugup.

"It's your go-to hot chocolate. Aku tau kalau kamu sedang gugup dan menunggunya datang, tapi kamu bisa mati kedinginan kalau tidak menghangatkan tubuhmu," Kayna, pelayan cafe yang merupakan salah satu teman di kelas hukum bisnisnya pun menghampiri dengan secangkir gelas berwarna merah. "You don't need to be nervous, Baby J."

"Thanks, Kay. I know. I just ... I couldn't hold this feelings," Jade terkekeh pelan, menerima cokelat panas yang dibawakan oleh Kayna dan langsung meneguknya tanpa sadar kalau minuman tersebut masih panas. "O-oh," ia dengan panik menaruh kembali gelas merah tersebut dan buru-buru mengambil tisu kering. Tenggorokan dan lidahnya begitu panas dan terbakar saat ini. Bodoh, gerutunya dalam hati.

Raut wajah Kayna yang panik pun dapat terlihat oleh Jade ketika ia menengadah dan melihat Kayna, "No, it's okay. Nothing serious happened," ia memastikan agar temannya itu tidak perlu merasa bersalah.

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang