TIGA PULUH EMPAT

16 3 0
                                    

Sudah tiga puluh menit Jade berjalan tanpa arah dan tujuan, ia bahkan sudah tidak tau dirinya ada dimana. Ia hanya berjalan, berjalan dan berjalan saja sedari tadi. Satu hal yang ia sadari adalah saat ini ia sudah sangat jauh dari tempat yang ia benci, rumah sakit. Tempat dimana semuanya terjadi, dari mengawali pertemuan dua tahun yang lalu dan berakhir dalam dua puluh menit perdebatan.

Ketika ia berhenti di depan sebuah photo studio, ia mendapati ada sepasang kekasih yang sedang bersenang-senang mengambil foto mereka berdua. Si laki-laki menaruh tangannya di pinggang kekasihnya dan perempuan itu nampak memberikan ekspresi terkejut ke kamera. Jade tanpa sadar tersenyum pahit, dulu ia pernah berada di posisi perempuan itu karena Ian selalu membuatnya terkejut dan melakukan pergerakan yang tidak biasa.

Tiga menit pertama ia habiskan untuk memperhatikan pasangan itu dari depan photo studio dan menit selanjutnya ia kembali berjalan. Tidak lama kemudian, ponselnya berbunyi dan terlintas nama Kyla disana. Tanpa berpikir panjang, Jade mengangkatnya dan mendengarkan teriakan dari sahabatnya itu. Teriakan yang dilanjutkan oleh pertanyaan yang membuatnya ingin menangis.

"Cowo brengsek!" teriak Kyla, "are you okay? Lo dimana? Gue jemput ya," Kyla berkata dari balik sambungan telepon. Ia sudah mendengarkan kabar dari Gia yang panik dan khawatir dengan kondisi Jade setelah perdebatan di rumah sakit tadi.

"Gue ... gue baik-baik aja, Ky," balas Jade. Matanya memanas, menahan seluruh air matanya yang siap untuk turun kapan saja.

"Lo dimana sekarang?"

"Gue ... gue nggak tau ini ada dimana. Gue cuman jalan, gue jalan terus lurus buat menjauh dari rumah sakit, Ky," Jade menoleh ke arah kanan dan kiri, mencari tempat yang bisa ia beritahu kepada sahabatnya itu.

"Gue pokoknya akan jemput lo. Sekarang lo share location ya. Jangan kemana-mana dan tunggu gue jemput lo. Setelah Pak Artiya tutup kelasnya, gue bakalan langsung kesana ya, tunggu gue, Jade," Kyla kemudian mengakhiri teleponnya karena ia harus kembali ke kelas malamnya itu.

Sedangkan Jade memilih untuk duduk di salah satu cafe yang terletak tidak jauh dari photo studio tadi dan memutuskan untuk menunggu jemputan dari sahabatnya itu. Apapun yang terjadi, ia pasti akan membutuhkan dukungan dari Kyla karena jujur saja ia sudah tidak sanggup untuk menghadapinya sendirian.

Kalau kalian mengira Jade adalah sosok yang tangguh, percaya diri dan tidak mudah rapuh maka selamat, kalian telah ditipu habis-habisan karena perempuan itu hanya berpura-pura selama dua tahun belakangan ini.

"Mau pesan apa, Mbaknya?" tanya seorang pelayan yang menghampiri meja yang ditempati Jade.

"Matcha latte, jangan pakai es," Suara yang berdiri dibelakang pelayan itu tiba-tiba saja mengagetkan semua orang, termasuk Jade. Pria yang baru saja tiba itu pun mengatur nafasnya dan menaruh kedua telapak tangannya di pahanya sembari berdiri dan kelelahan seakan ia baru saja lari maraton. "Ah, sama pesan es teh manis dengan gula cair. Ada kan, Mbak?"

"Ada, Mas," ujar pelayan perempuan tersebut.

"Saya minta chocolate cake dengan gula 70 persen ya. Jangan terlalu manis dan jangan terlalu hambar juga," ujar pria itu lagi.

"Chocolate cakenya mau berapa ya?"

"5, bawain saya 5 chocolate cake yang kamu punya ya," ujar pria itu lagi.

Jade yang sedari tadi mendengarkan pesanan hanya bisa membulatkan matanya terkejut dan membiarkan Mave untuk memesan.

"Baik, apa ada lagi yang mau ditambahkan?" tanya pelayan itu dengan sopan.

"Aqua, tolong bawain saya 1 botol aqua," ujar Mave.

"Baik, ditunggu pesanannya."

"Mave, what are you doing? Lo tau dari mana gue ada disini?" Akhirnya Jade bertanya setelah pelayan tadi melenggang pergi dan meninggalkan mejanya. "Dan kenapa bisa lo ada disini? Buat apa?"

"For you," jawab Mave enteng, ia kemudian mengambil tempat duduk yang berada persis diseberang Jade dan menatapnya dengan diam. Kemudian ia berkata, "Gue nggak pintar buat rangkai kata. Jadi, gue cuman akan duduk disini sama lo dan menyiapkan ini," ia menunjuk lima piring kue yang dibawakan oleh pelayan perempuan tadi. "Kue cokelat, kata nyokap sih cokelat terbukti bisa hilangin stres. Gue koreksi, bukan hilangin tapi meredakan," ia menyunggingkan senyuman manisnya itu.

Jade terdiam, membiarkan pria yang ada didepannya itu untuk menata piring-piring yang berisikan kue jenis yang sama. Entah kenapa pikirannya jadi membayangkan hal yang tidak-tidak seperti bagaimana kalau yang ada di hadapannya saat ini adalah Ian karena pria itu merasa bersalah padanya dan mencoba untuk berbaikan? Kalau seperti itu skenarionya, mungkin ia akan kembali jatuh hati lagi bukan?

"Nah, udah, ayo dimakan," Mave dengan tulus menyunggingkan senyumannya dan mempersilahkan Jade untuk memakan kue pesanannya.

"I am not going to talk about what happened. Jadi, gue harap lo nggak akan nanya apapun," ujar Jade sembari mengambil garpu yang diberikan oleh Mave dan ia mulai memakan kue cokelat di piring yang tidak jauh dihadapannya. Ia mendongak ke arah Mave yang diam, "Let's talk about something else, Mave."

"Will it helps? Kalau emang nggak ngebantu, I am fine with silent, Jade," balas Mave. Ia tidak akan melakukan apapun kalau memang itu yang terbaik untuk Jade saat ini karena tugasnya yang paling penting adalah untuk menaikkan mood Jade dan tidak membiarkan perempuan yang ia cintai itu sedih sendirian. Ia tidak akan membiarkannya meskipun sebetulnya ia ingin sekali pergi ke rumah sakit dan menghabisi pria tidak tahu diri yang membuat Jade kecewa dan sedih setiap harinya.

"Silent it is."

"Okay," Ian menyilangkan tangannya di depan dadanya dan menatap lurus kedepan, ke arah Jade, memastikan kalau perempuan itu tau kalau dirinya ada disisinya. Dan, akan selalu seperti itu. Selalu.

Tiga puluh menit kemudian berlalu dengan penuh keheningan, sesekali Jade menghela nafasnya panjang dan menghapus air matanya yang sesekali keluar begitu pikirannya kembali pada Ian dan akhir dari hubungannya yang sudah hancur sedari dua tahun yang lalu. Sedangkan Mave tetap di bangkunya dengan mulutnya yang terkunci rapat serta tangannya yang secara refleks menyediakan tisu kering untuk Jade ketika perempuan itu butuh.

Setelah Jade merasa siap, ia pun meminta Mave untuk mengantarnya pulang dan tetap dengan keheningan. Setidaknya, Jade tau ada orang yang ada untuknya kapanpun dan dimanapun ia butuhkan. "Thank you, Mave. Thank you for being here."

"Anytime, Jade. I maybe not a therapist, but I can promise you this; I will care and I will listen."

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang