DUA PULUH DELAPAN

21 4 0
                                    

Saat ini,

Jade baru saja mendengar apa yang ia ingin Mave katakan padanya, membuatnya seperti dirinya sendiri pada saat Ian meninggalkannya dan pergi untuk berobat. Ia menyesali semuanya, namun apa boleh buat? Nasi sudah menjadi bubur dan ia harus melaksanakan apa yang dikatakan oleh Gia tiga hari. Saat ini, Ian adalah prioritasnya. Kesembuhan pria itu, kesehatan pria itu, dan segalanya adalah prioritas bagi Jade meskipun Ian sama sekali tidak menginginkannya kembali.

"You know what's funny?"

"Apa?"

Jade menelan ludahnya kembali, ia rasa dapat mengatakan ini pada Mave sebagai seorang teman, "I want him back, yet he doesn't want me at all."

"Siapa?"

"My priorities."

"Ian si cowok brengsek itu?"

"No, you can not call him like that."

"Kenyataannya memang brengsek sih."

Jade menaruh gelas wine yang sebelumnya ia habiskan ke atas meja, mengambil satu potong pizza yang dipesan oleh Mave sebelumnya, "Lucu nggak sih? Kita baru aja debat hebat dan lo bilang kalau benci sama gue. Tapi, salah satu dari kita nggak ada yang pergi dari tempat ini dan saling meninggalkan."

"That's what true love is."

Kalau saja ia dapat percaya dengan yang dikatakan oleh Mave, ia pastinya akan tertawa, namun hatinya begitu mati saat ini untuk percaya pada apapun. "It would be nice kalau gue dengarnya sebelum Gia ketemu sama gue dan way before I knew everything about Ian."

Mave mendengus, "Kalau itu yang terjadi, kemungkinan besar hubungan lo dan gue udah ganti status karena rencananya hari ini gue mau nyatain perasaan gue."

"What a shame," ledek Jade. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Mave, akan menjadi hal yang baik kalau misalkan ia tidak tau mengenai Ian karena ia percaya tiga atau empat bulan kedepan ia akan siap untuk menerima orang baru dan melepaskan Ian beserta masa lalunya. Ah, kalau saja itu terjadi semuanya akan jauh lebih mudah.

"Yeah, sekarang apa yang bakalan lo lakuin? He shuts you off, and what? You also do the same thing to me?"

"I am not shutting you off."

"You are."

"Gue cuman menghentikan perasaan antata kita berdua karena kita nggak akan berhasil, Mave. Don't you see it? You want me, but do I want you back?" Jade berusaha untuk kembali menjelaskan agar permasalahan yang mengganjal diantara mereka benar-benar usai, bukan hanya sesaat saja baikannya dan dia sangat berharap dapat berbicara dengan Mave layaknya seorang teman baik.

"Ah, that hurtful words, again," Mave berkata dengan maksud menyindir. Ia dapat menyadari apa yang sedang Jade coba lakukan pada dirinya, hanya saja ia tidak akan memberikannya dengan mudah. Tidak setelah apa yang terjadi.

"Mave, come on," Jade mengerutkan dahinya, kemudian mengubah raut wajahnya menjadi lebih meyakinkan, "we can be friends again dan melupakan perasaan masing-masing karena ada banyak banget alasan untuk itu."

"Alasan apa lagi yang mau lo pakai, Jade?"

"Jeez, I am tired of all this, this back and forth conversation is not going to solved," Jade menghela nafasnya panjang.

"Fine. I will be your friend just for tonight. Only friend. Bukan seseorang yang ingin menyatakan perasaannya sama lo dan bukan seseorang yang mencoba untuk benci sama perkataan bullshit yang selalu lo katakan terus-menerus," Mave memilih untuk menyerah.

"Look at us," Jade menyunggingkan senyuman puas dan bangganya, "two grown ups yang memutuskan untuk menjadi dewasa dalam mengatasi permasalahannya," ia berkata seakan-akan tidak menyangka apa yang sedang terjadi saat ini.

"You heard me. Just for tonight. Untuk besok kita semua tau kalau gue akan terus memperjuangkan lo meskipun gue akan terus denger kalimat bullshit dari mulut lo, I will fight for getting you," Mave meneguk minuman non-alkoholnya. Ia memutuskan untuk tidak minum karena ia merasa bertanggung jawab untuk memulangkan Jade ke rumah dengan selamat dan nyaman serta aman. Jadi, tidak ada alkohol untuknya malam ini dan lagipula ia tidak begitu suka dengan minuman yang kata banyak orang adalah minuman pemecah masalah berat.

"Sure, no problem at all," Jade mengambil sendok dan menaruh brokoli yang ada dipiringnya ke piring yang ada didepan Mave, "lo selalu suka brokoli padahal brokoli adalah salah satu sayuran yang paling menjijikan."

"It is because of you."

"Hah?" Jade terkejut dengan pernyataan lawan bicaranya, namun dengan segera ia mengontrol raut wajahnya. Wajahnya tidak boleh merah saat ini, tidak dihadapan Mave.

"For you, I would love everything, Jade."

"Mave."

Mave tidak berbicara apapun dan membiarkan Jade untuk kembali melanjutkan perkataannya. Hanya saja, tatapannya berubah menjadi lebih lembut secara tidak sadar.

"I think I gave wrong people the right pieces of me."

Mave terdiam. Tidak tau harus membalas apapun. Seketika kemampuan berbicaranya menurun pesat, aneh bukan? Seorang remaja tidak tau bagaimana caranya berbicara seakan otaknya lumpuh dan tidak dapat bekerja dengan baik.

"It's pathetic really, how much I still hope it's you and me in the end, tapi kenyataannya bukan begitu dan tidak akan pernah bisa juga kan? Ian is here and he," Jade mengambil jedanya, air matanya hampir saja lolos, "he turned my world upside down, Mave."

Mave tidak membuka mulutnya, ia hanya berjalan mendekat dan berjongkok di depan Jade, membawa perempuan itu kepelukannya sebelum air mata mereka berdua menetes. "We play dumb but we know exactly how this ends."

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang