EMPAT PULUH SATU

16 4 0
                                    

Malam hari tiba, Mave sudah mengganti bajunya menjadi baju yang lebih nyaman dan bersiap untuk tidur setelah memastikan dokter dan para suster sudah melakukan tugasnya dengan mengecek kondisi Jade. Sebelum ia merebahkan tubuhnya, ia menyempatkan diri untuk duduk di ranjang dengan ponsel yang ada ditangannya. Orangtua Jade akan tiba di Indonesia besok pagi dan berkata akan segera datang ke rumah sakit, bahkan mereka seringkali menanyakan kabar Jade melalui panggilan telepon, meskipun orang yang lebih sering hadir di rumah sakit adalah Bi Haya.

Pernah sekali perempuan paruh baya yang katanya sering menemani Jade sedari kecil pun datang dengan mata bengkak dan merah sehingga mengundang pertanyaan dari Asher yang pada saat itu juga berada di tempat yang sama dengan Mave.

"Bi Haya habis nangis?" Asher bertanya dengan raut wajah heran yang membuat Bi Haya ingin memukul kepala teman majikannya itu dengan rantang yang ia bawa. Siapa yang tidak mungkin menangis ketika melihat perempuan yang biasanya selalu ceria dan tertawa bersamanya di dapur sekarang malah terbaring lemah di rumah sakit tanpa kepastian?

"Nggak. Habis potong bombai," jawab Bi Haya sekenanya sembari berjalan mendekat ke arah ranjang rumah sakit dan memperhatikan Jade dengan seksama. Yang pada awalnya ia berusaha untuk tegar malah menjadi batal ketika ia melihat betapa mirisnya Jade, anak majikan perempuannya yang selalu ada bersamanya, "Kapan bangun sih, Non? Bibi kangen masakin susu hangat setiap malamnya ataupun buatin soto ayam pas lagi nggak mood untuk makan," kemudian perempuan itu menangis kembali tanpa memedulikan kehadiran Mave dan Asher.

Ah, rasanya Mave sudah melihat tangisan semua orang yang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Jade. Suasana sepi kecuali bunyi hujan yang sedang membasahi Jakarta pun menyambut malam hari ini. Hari kedua pun sudah terlewatkan karena jam saat ini menunjukkan pukul dua belas lewat satu menit. Dan, seperti biasanya Mave akan sulit untuk tidur kecuali ketika ayam sudah berkokok, ia akan dengan sendirinya tertidur.

"Jade, gue berharap kalau lo mimpiin gue di saat tidur panjang kayak gini. Gue juga berharap kalau lo cepat-cepat bangun dari semua ini," Mave berbicara, "you are still the only one I want because I don't care how complicated this gets, I want you. I want you to wake up ... for me, your family, and all of us, Jade."

Mencoba untuk terus berkomunikasi dengan Jade, Mave berinisiatif untuk menyalakan musik kesukaan perempuan itu. Talking to the moon dari Bruno Mars pun mulai mengalun.

'I know you're somewhere out there, somewhere far away.

I want you back, I want you back.'

Naas bukan? Ternyata, lagu yang selama ini selalu dinyanyikan oleh Jade ketika di dalam mobil ataupun yang tiap hari mengalun di airpods milik perempuan itu adalah lagu yang mengambarkan kondisinya dengan Mave saat ini. "In hopes you're on the other side talking to me too. Or am I a fool who sits alone talking to the moon?" Mave menyanyikan sebait dari lirik penyanyi favorit wanitanya. Ia menghela nafasnya panjang, mendongak ke atas langit-langit rumah sakit, dan mengganti perhatiannya ke arah jendela rumah sakit.

"I love you and I don't want to lose you. Because my life has been better since the day I found you, Jade."

Mave dapat hujan yang membasahi Jakarta dan juga pantulan dari lampu-lampu yang menyala disepanjang jalan rumah sakit. Kembali ia menyunggingkan senyumannya pada kondisi tidak adil yang Tuhan berikan padanya dan Jade. Kurang cukup kah Tuhan setelah mengambil Ayahnya? Haruskah Tuhan juga mengambil Jade? "Tuhan, aku yakin banyak sekali orang disekitarmu diatas sana. Boleh nggak kalau Jade tetap ada disini? You know that I can not live without her by my side," ia tidak tau apakah Tuhan akan mendengar doanya karena sepengalamannya, Tuhan tetap mengambil Ayahnya pada saat itu dan membuatnya kesulitan dalam menata kembali hidupnya yang hancur pada saat itu.

Pada saat Mave sedang berdoa dan menatap Jade dengan air mata yang hampir saja menetes, ada dua orang yang sedang menatap mereka berdua dari depan pintu kamar dengan perasaan yang sama. Mereka adalah Ian dan Gia yang baru saja bertemu dengan dokter Harry mengenai kepulangan Ian. "He is suffering, Yan," Gia berkata, turut bersedih dengan apa yang terjadi.

"He is," Ian mengangguk-angguk, "the way he looks at her ... i know that he loves her so much."

"As much as you do?"

"No, it's a lot bigger than mine. He really loves her because to him she is the world."

"Kalau apa yang lo bilang itu benar ... gue nggak kebayang seberapa terpukulnya dia kalau sampai Jade nggak kembali," Gia kemudian menoleh kesamping, ia juga menyadari bahwa ada raut sedih dari sahabatnya. "How about you? Will you be okay?"

"Nope, my mother taught me everything except how to live without seeing her karena ketika gue di Australia, gue tetap mendapatkan kabar tentang dia dari keluarga terdekatnya. I can't imagine living without hearing news about her,Gia. She used to be my world."

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang