EMPAT PULUH TUJUH

20 5 0
                                    

"Ya, sekarang kalian tau semuanya. Kalian berdua adalah penyebab kenapa aku harus mengkonsumsi obat tidur dan harus menghadiri sesi konseling selama dua kali dalam seminggu," Jade kemudian melebarkan senyuman pahitnya, menatap kedua orangtuanya, "aku juga nggak akan menutup kemungkinan ada faktor percintaan dari semua yang udah pernah terjadi. Tapi, ya, kalian berdua adalah faktor utamanya." Jade tau kalau ia akan terkesan terlalu menyalahkan kedua orangtuanya dan menjadi pilihan yang salah, tapi ia juga tau kalau hanya ini satu-satunya jalan agar kedua orangtuanya paham dengan apa yang terjadi.

Mave menutup matanya, ia tau apa yang sedang terjadi saat ini dan cukup paham kalau ia membiarkan Jade untuk meledakkan semua perasaan yang ia pendam, ia takut kalau hubungan keluarga perempuan itu akan itu hancur akibat ledakan tersebut. Ia kemudian melangkahkan kakinya mendekat, menggengam tangan Jade untuk mengambil perhatiannya. Mave menggelengkan kepalanya, "You will blow everything up, Jade."

"I'm done with them anyway, Mave," Jade menatap Mave dengan penuh luka, luka yang sebelumnya pernah Mave sadari namun tidak ia dalami. "Gue ... gue cape kalau harus menutupi ini semua."

"Gue paham, tapi gue rasa mereka udah cukup paham dengan apa yang lo rasain," Mave berharap tatapannya cukup untuk meyakini perempuan penuh luka dihadapannya itu, "trust me, Jade. Gue yakin mereka paham."

"Nggak, Mave. Mereka sama sekali nggak paham! Lo nggak denger? Sedari tadi mereka menyalahkan obat-obatan gue, memprioritaskan orang lain dibandingkan gue, anak mereka? Don't you understand that?!" seru Jade, ia menoleh ke kedua orangtuanya dan berkata, "kalian berdua,"

"Jade, listen to me," Mave memotong apapun yang hampir saja dikatakan oleh Jade, ia mendorong pelan wajah Jade yang tadinya mengarah ke kedua orangtuanya, menjadi ke arahnya sendiri. "Apapun kesalahan yang mereka buat ... mereka tetap orangtua lo, Jade. I am not taking anyone's sides, tapi biarkan gue untuk ingatin lo supaya lo nggak menyesal di kemudian hari, Jade."

Mendengar semua yang dikatakan oleh anak perempuannya, Jocelyn menundukkan wajahnya, tak kuasa untuk menahan tangisannya karena setiap omongan yang dikatakan oleh Jade, ia menjadi terbayang akan penderitaan yang selama ini tidak pernah diungkapkan. "Mama minta maaf, Jade," ia mencoba untuk mencari cara untuk bernafas karena tangisannya membuat dirinya sesak. "Mama minta maaf," ujarnya sekali lagi.

Jade menoleh, perhatiannya teralihkan kepada Jocelyn. Ia sedikit merasa bersalah, namun ia memilih untuk tetap mengutarakan perasaannya, "Baru sekarang minta maaf? Kemana aja selama ini, Ma? Anak mama harus melakukan percobaan bunuh diri dan menjelaskan semuanya dengan teriakan baru bisa paham ya, Ma?" sindirnya. Ia berdecak pelan, "I don't need you to apologize. I've never needed that. Now or later. Nggak ada gunanya juga untuk minta maaf. Emangnya bisa mengembalikan masa lalu? Nggak kan?"

"Jade," Mave menggelengkan kepalanya sekali lagi, berharap perempuan itu mengerti. "They are still your parents, terlepas dari apapun yang pernah terjadi di masa lalu."

"Berhenti, Mave!" Jade melepaskan secara paksa genggaman tangan mereka, "lo nggak perlu ikut campur dalam permasalahan ini. You are not my family and will never be!" ia kemudian melampiaskan amarahnya kepada semua orang dan tanpa memedulikan apapun ia berkata, "I hate when people keep saying that they're still my parents no matter what happened. The truth is, just because they are my family doesn't mean I have to keep them in my life if they are too toxic. Blood means nothing sometimes."

"This is your anger speaking, right?" Mave bertanya, ia tidak akan merasa tersakiti dan membawa semua perkataan kejam Jade ke dalam pikiran dan hatinya. Ia akan menganggapnya sebagai angin lalu karena ia tau bahwa emosi perempuan itu sedang mendominasi segalanya dan yang keluar dari mulutnya hanyalah omong kosong. Ia juga mendengar dari perkataan dokter serta bacaan artikel yang ia lihat tadi pagi mengenai emosi yang kurang stabil bagi pasien yang baru saja melewati koma.

"Nggak, Mave. This is me. Sepenuhnya adalah gue yang berbicara, bukan perasaan emosi," jawab Jade dengan suaranya yang begitu lantang, "toxic is toxic. Whether it's family or not. I am allowed to walk away from people who constantly hurt me," ia menelan kepahitan dari apa yang baru saja ia ucapkan, sangat berat baginya untuk berbicara sekasar dan sekejam ini, namun ia berharap bahwa tindakannya hari ini dapat menyadarkan kedua orangtuanya yang begitu sibuk tanpa memedulikan dirinya. "I am allowed to do that," ulangnya.

"Enough, Jade," Julian menghentikan anak perempuannya sebelum ia berbicara lebih jauh. "Kami berdua mengerti kesalahan kami. Tapi, kamu juga harus menyadari kesalahan kamu. Kamu kira dengan mengatakan semuanya, kami juga tidak tersakiti?" nada bicaranya tiba-tiba berubah menjadi sangat ketus dan formal, tidak seperti biasanya.

"You know what," Jade mendadak teringat sesuatu, kenyataan yang ia sadari sejak ia menginjakkan bangku sekolah menengah atas, "I have a father and mother, but never had a dad and mom. Both of you are just ... there and doing nothing."

"Are you done?" tanya Julian.

"Kenapa memangnya? Mau membantah semuanya, Pa? Memangnya Papa bisa melawan fakta? I don't think anyone could," ia kemudian menunjuk Julian dan tersenyum sinis, "you are included, Pa,"

"Cukup, Jade! Sudah cukup!" seru Julian, menatap anak perempuannya dengan tatapan yang begitu tajam dan penuh amarah. "Ada banyak hal yang belum kamu ketahui dan sepertinya tidak akan pernah kamu ketahui mengenai kami berdua. Tapi ada satu hal Jade, we acted so strong for you, that we often forget how fragile we are. Jadi, jangan menyimpulkan sesuatunya sendiri. Coba pikirkan dari berbagai sudut pandang dan mungkin ... mungkin, kamu dapat mengerti."

"Apa yang nggak aku mengerti? Papa dan Mama pergi untuk mendahulukan orang lain. Memangnya aku bukan prioritas kalian?!" seru Jade.

Lalu, Julian menoleh ke istrinya dan berkata, "We are going home. Nggak ada yang bisa kita lakukan disini tanpa dipandang bersalah. We are going home."

"If ... kalau kalian pergi dari sini tanpa menjelaskan semuanya," tatapan mata Jade menunjukkan bahwa dirinya dipenuhi dengan keraguan, namun emosinya mendominasi segala perkataan dan perbuatannya sehingga ia berani untuk mengatakan, "aku nggak akan pernah memaafkan kalian, not now or ever," ia menggeleng sekali.

Julian berdecak, "Kami tidak akan menjelaskan apapun kepada orang yang tidak ingin mendengarkan, Jade. Memangnya kamu siap untuk mendengarkan alasan kami?"

"Aku siap untuk dengerin apapun!" balas Jade.

"Papa dan Mama memang jarang sekali bertemu dengan kamu, lebih sering menghabiskan waktu di luar dan bersama dengan orang lain. Tapi, bukan berarti Papa nggak mengenal kamu, Jade," Julian menjawabnya dengan penuh ketenangan, "kabari kami kalau kamu sudah siap untuk mendengarkan kami tanpa membantah apapun. Until then ... we are going home, go to our seperate ways like what we always do."

"Then, I guess our story ends here, Pa. I am not going to wait for you to explain everything when you have my time, now."

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang