TIGA PULUH TIGA

18 3 0
                                    

Tidak seperti rencana awalnya, Jade memutuskan untuk mampir ke rumah sakit setelah rapat bakti sosialnya tadi dan menyempatkan diri untuk pergi ke mini market karena ia ingin membawakan biskuit kesukaan Ian. Setidaknya, meskipun dua tahun ia tidak bertemu dengan pria itu, ia tetap menjadi satu-satunya orang yang tau kalau Ian menyukai biskuit. Semua orang selalu mengira kalau Ian tidak pernah menyentuh biskuit sekalipun di sepanjang hidupnya.

Jade tersenyum bangga dengan dirinya sendiri. Ia menatap biskuit dengan bungkus merah maroon yang ada di dalam plastik mini market itu. "Ian would totally love this," ia berjalan menyusuri lorong rumah sakit sambil membayangkan reaksi dan raut wajah pria yang selalu memberikan ekspresi datar padanya.

Ketika sudah sampai di depan pintu kamar Ian, Jade dengan segera membukanya. Senyumannya tidak pernah lepas dari wajahnya, sekalipun ia mendapati Ian dan Gia yang sedang berbagai makanan, lebih tepatnya biskuit yang ia beli tadi.

"Hai, kirain nggak datang hari ini," sapa Gia, ia kemudian menelan biskuit yang disuapi oleh Ian. "Lo udah makan?"

"U-udah," bohong Jade. Ia sama sekali belum makan hari ini karena rencananya ia akan menjadikan hal tersebut sebagai alasan untuk menetap lebih lama di kamar Ian dan makan disana.

"Padahal udah bagus kalau nggak datang," sindir Ian.

"Lo diem," Gia melayangkan tatapan tajamnya pada Ian. Ia mencoba untuk memahami kalau kemungkinan besar obat dan kemotrapi yang mengakibatkan sahabat kurang ajarnya itu untuk bersikap kasar pada Jade dan memiliki moodswing layaknya perempuan yang baru saja kedatangan tamu yang tidak diundang setiap bulannya itu.

Ian tidak membalas Gia kembali, ia hanya memutar bola matanya kesal dan kembali melahap biskuit kesayangannya itu.

"Lo bawa apa itu?" Gia menunjuk kantung plastik yang ada di tangan kanan Jade, "buat Ian?"

"Eh?" Jade dengan panik menyembunyikan plastik tersebut di belakang punggungnya, "bukan apa-apa kok. Cuman beberapa barang yang mau dibawa aja buat minggu depan," bohongnya. Ia sudah tidak tau ada berapa banyak dosa yang ia ciptakan setiap kali berkunjung ke rumah sakit.

Gia yang penasaran pun bangkit dari duduknya dan menghampiri Jade yang perlahan mundur begitu ia melangkahkan kakinya mendekat. Ia menyunggingkan senyuman jahilnya dan berkata, "Buat Ian kan?"

"Bukan," ujar Jade yang mulai panik karena beberapa langkah mundur ke belakang lagi hanya akan membuatnya terbentur tembok pintu kamar rumah sakit. "Cuman barang-barang yang mau gue bawa buat visit desa minggu depan kok. Bukan buat Ian," elaknya, berharap kalau Gia akan memakan kebohongannya.

"Gue yakin banget kalau itu buat Ian,"

"Lo apaan sih, Gi? Kalau emang bukan ya berarti memang bukan. Nggak usah dipojokin gitu anaknya," raut wajahnya begitu menunjukkan kalau ia kesal, moodnya mendadak tidak enak. Ian mendengus kesal sembari melahap biskuit yang ada ditangannya, secara tidak sengaja ia jadi tersedak dan membuat kedua wanita yang ada di kamarnya itu berlari mendekat.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Gia panik.

Di saat Gia menaruh tangannya di belakang punggung Ian, Jade memiliki refleks yang berbeda karena ia malah mengambilkan gelas berisi air yang ada diatas meja dan menyodorkannya pada Ian, "Minum dulu."

"Nggak usah!" tolak Ian dengan keras, lalu ia kembali terbatuk seakan masih ada serat-serat biskuit yang tersisa ditenggorokannya.

"Kenapa lo harus batu banget sih jadi orang? Heran gue," Jade berkata secara tidak sadar dengan nada sinisnya.

Ian menyunggingkan senyumannya sembari batuk. Ini yang gue tunggu dari lo, ujarnya dalam hati.

"Jade, kayaknya ini bukan waktu yang tepat kalau lo mau ngajak ribut Ian," Gia menggelengkan kepalanya dua kali, "not right now," ujarnya pada Jade.

"Bukan maksud gue buat ngajak Ian ribut kok. Gue juga tau ini bukan waktu yang tepat, tapi," Jade kemudian menggantungkan kalimatnya, "nggak usah dilanjutin," ia menatap dan memperhatikan, "lo nggak apa-apa kan? Udah ada Gia disini jadi gue mau pulang aja," kemudian ia mengganti nada suaranya menjadi penuh kekecewaan dan kesedihan seakan semua emosi yang ia tahan selama ini akhirnya dituangkan ke dalam kalimat ini, "gue lupa, selama ini juga lo nggak butuh gue kan? Cukup ada Gia disamping lo. Gue? Gue cuman orang bodoh yang mengunjungi orang yang sama sekali nggak mau dikunjungi sama gue."

"Really, Jade? Gue nggak pernah ngira lo akan ngungkit masalah tentang kalian, terlebih lagi membawa gue ke dalamnya. Ah, selain itu setelah Ian baru saja tersedak. Lo tau kan bahaya dari tersedak?" Gia mengerutkan dahinya, menatap Jade dengan tidak percaya, "this is not you, Jade."

"Not me?" Jade mengerutkan dahinya. "Lo mau tau gue seperti apa orangnya?" ia menyunggingkan senyumannya yang menyayatkan hati. "Gue bukan orang yang sabar, suka prioritasin orang diatas diri gue sendiri, tebal muka dan telinga, dan masih banyak hal lainnya. Tapi apa? Dua tahun nungguin cowok brengsek yang nggak pernah tau diri itu mengubah kepribadian orang, gue salah satunya. Nggak percaya? Coba aja lo pacaran sama cowok terus lakuin hal yang sama kayak gue. Yakin kalau lo masih bakalan waras?" kemudian ia berdecak. "Dan, lo? Gue kira lo udah sadar dan akan berubah karena gue pantas untuk mendapatkan lo kembali. I stayed and you did not. Jadi, ketika lo kembali, harusnya lo yang ngemis ke gue dan minta maaf atas semua perlakuan yang lo lakuin gue, ninggalin gue ditengah hubungan yang masih nggak jelas, rahasiain penyakit lo seakan gue bukan orang penting dan pacar lo, lupain gue seakan-akan gue nggak pernah exist di hidup lo."

"Jade, you don't understand," Gia mencoba untuk memotong pembicaraan Jade, namun perempuan yang ada dihadapannya dengan tatapan penuh kekecewaan itupun tidak memedulikan dirinya.

"I stayed, Ian," ia kembali mengingatkan, "I stayed because you are worth to wait, I believe you are. Tapi, kalau lo balik hanya untuk menyakiti gue lagi seperti yang lo lakuin selama dua tahun ini, I will make a move to leave you dan melakukan hal yang seharusnya gue lakuin sedari lama. Leaving you and start to move on."

Ian membisu, ada rasa mual di perutnya ketika mendengarkan kalimat terakhir yang diucapkan oleh Jade. Meninggalkan dirinya adalah sepenggal kalimat yang membuat Ian hampir meneteskan air matanya. Ia mencari mata yang paling ia rindukan itu dan menemukan hanya ada kekecewaan dan kesedihan disana. Ia menelan ludahnya, "Kalau lo melakukan dua hal yang barusan lo sebut tadi, will you be happy?"

"Will I be happy?" Jade mendengus dan mengulang pertanyaan yang dilontarkan oleh Ian, "lo peduli akan itu emangnya? Jangan tanya kalau lo sama sekali nggak peduli, Ian. Lagipula, lo udah tau jawabannya sendiri kok."

"Kalau gitu, leave me alone and be happy, Jade."

Jade membulatkan matanya, hampir berteriak terkejut dan menutup mulutnya sendiri. Namun, ia menahan semuanya, terlebih lagi air matanya yang sudah dia tahan sedari awal. "Lo minta gue untuk ninggalin lo?"

"Ya. I better off alone, tanpa lo dan hanya ada Gia, keluarga gue, dokter dan perawatan. Itu yang gue butuhin sekarang, Jade," Ian berkata.

"Ian," panggil Gia, ia takut akan apa yang ia dengar saat ini. Ia takut kalau sahabatnya itu akan menyesali keputusannya sendiri. "Bisa kita bahas mengenai masalah ini nanti? Semua masalah harus diselesaiin dengan kepala dingin dan kalian berdua masih diliputi sama emosi."

"Nggak, nggak akan ngaruh sama sekali," Ian menggelengkan kepalanya pada Gia dan kembali menatap perempuan yang juga menatapnya kembali, "Lo bebas sekarang, Jade. There is no us between me and you anymore. Ah, gue lupa, memang nggak pernah ada kan sejak dua tahun yang lalu."

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang