EMPAT PULUH DELAPAN

24 4 0
                                    

Satu minggu sudah berlalu dengan sangat cepat setelah pertengkaran yang terjadi diantara Jade dan kedua orangtuanya. Hari ini, Jade sudah diijinkan pulang dan hanya direkomendasikan rawat jalan jika sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kyla yang dari pagi sudah sampai di rumah sakit pun saat ini sudah berhasil membawa pulang sahabatnya dan mengurus segala administrasi yang seharusnya dilakukan oleh keluarga Jade.

"Minggu depan kita baru mulai bakti desa?" Jade bertanya pada Kyla, ia menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu bersamaan dengan helaan nafas lelahnya. Ia mengangkat kedua kakinya ke udara dan melakukan beberapa gerakan pemanasan.

"Nggak, semua kegiatan bakti desa dipindah ke tahun depan karena mendadak uang yang seharusnya dicairin dari kampus itu dihentikan. Otomatis segala aktivitas harus ditunda," jawab Kyla, ia menaruh plastik obat Jade kedalam kotak obat yang sudah disiapkan oleh Bi Haya. "What do you want to eat? Pasta?"

"Gue nggak lapar."

"Yakin? Lo belum makan apapun kan dari pagi?" Kyla bertanya dengan khawatir, ia tidak ingin melihat sahabatnya untuk kembali masuk ke rumah sakit. Lebih tepatnya ia sangat membenci hal tersebut.

"Gue mau makan di waktu yang tepat, Ky. Saat ini bukan waktu yang tepat. Lebih baik kalau memang lo mau membantu gue, lo bisa tolong ambil selimut yang ada di lemari belakang lo," ia meminta dan menunjuk lemari putih besar yang ada dibelakang Kyla, "ada beberapa selimut baru yang harusnya ada disitu."

"Ada nih," Kyla menarik keluar satu buah selimut bulu berwarna hitam yang ia yakini adalah milik Ian karena ada bordiran nama pria itu disana. Christian. Nama dari laki-laki yang saat ini pergi tanpa pamit ke Singapura untuk menjalani pengobatan khusus disana dan entah kapan dirinya akan kembali ke Indonesia. Kemudian Kyla memberikan selimut tersebut, "lo dan Ian, apa masih ada yang belum terselesaikan?"

"Ya."

"Kenapa nggak lo selesaikan?" tanya Kyla penasaran dengan jawaban dari sahabatnya. "Gue sama sekali nggak mengerti dengan apa yang terjadi dalam seminggu ini, Jade. Ada tiga pembahasan yang sepertinya harus gue luruskan."

"Tiga?" Jade mengernyitkan dahinya, "apa aja?"

"Ya, tiga topik. Yang pertama adalah mengenai lo dan Ian, gue sama sekali nggak mengerti bagaimana status, kondisi dan saat ini kalian sedang apa? Apa yang kalian tunggu?" Kyla menggelengkan kepalanya tidak paham, ia lalu menyelimuti sahabatnya yang tiduran di sofa, "Yang kedua, lo dan Mave? Terakhir kali gue ketemu sama Mave, gue bisa merasakan kalau dia mengambil jaraknya sama lo. Itu kenapa? Apa yang menyebabkan dia seperti itu dan bagaimana kedepannya dengan Mave? Are you going to have a relationship with him? Does he has a chance with you?"

"Ada banyak ya pertanyaannya," Jade memutar matanya. "Yang ketiga apa?"

Kyla menganggukan kepalanya untuk sesaat, menghela nafasnya pelan dan mengambil posisi duduk dibawah Jade, "Lo dan orangtua lo ... apa nggak ada solusi penyelesaian dari itu? Gue rasa satu minggu adalah waktu yang paling maksimal untuk seseorang menenangkan pikirannya. Gue juga rasa kalau lo dan kedua orangtua lo ... udah saatnya kalian membicarakan apa yang selama ini kalian pendam antara satu sama lain dan menyelesaikannya satu-satu."

"Huft, gue punya banyak banget masalah yang harus diselesaikan ya?"

"Ya! Gue juga sempet heran kenapa semua masalah malah jadi numpuk disaat yang nggak tepat kayak gini. Tapi, lo harus hadapin semuanya. Maksud gue, kalau lo nggak dari sekarang selesainnya, ya, pasti semuanya akan kembali numpuk, Jade. Nggak menutup kemungkinan akan menambah juga."

Jade berdeham pelan, "Ya, lo benar. Gue harus selesain semuanya pelan-pelan dan mulai dari sekarang."

"Jadi, yang mana yang akan lo selesaikan terlebih dahulu diantara ketiganya? Gue paham betul kalau ketiganya bukanlah hal yang mudah buat dilalui."

"Honestly ... gue akan ngobrol sama orangtua gue terlebih dahulu karena sepertinya gue udah terlalu menyakiti mereka dengan perkataan gue."

"Bagus, pilihan yang bagus, Jade."

"Gue berharap kalau mereka mau mendengarkan gue dan maafin gue."

"Gue yakin banget kalau mereka akan membuka tangan mereka lebar-lebar ketika lo datang, Jade. Kenapa? Karena lo anak mereka. Apapun yang mereka lakuin pasti ada alasannya, kalian hanya perlu saling berkomunikasi untuk mencari jalan tengahnya sama-sama. Bukan dengan cara berteriak, tapi dengan tenang ngobrolnya."

Jade menganggukan kepalanya, mencoba untuk memejamkan matanya sesaat sembari otaknya bekerja keras untuk merencanakan pertemuannya dengan kedua orangtuanya.

"Kalau lo mau tau ... meskipun kedua orangtua lo selama beberapa hari nggak datang ke rumah sakit, mereka tetap nanyain kabar lo setiap dua jam sekali, Jade." Mengetahui ketidakpahaman dari wajah Jade, ia lalu menjelaskan pernyataannya dengan, "Kedua orangtua lo selalu menghubungi gue ataupun Mave karena kita berdua sering banget buat standby di rumah sakit untuk nemanin lo. They always make sure kalau lo selalu mendapatkan perawatan dan dokter yang terbaik meskipun mereka juga tau kalau dokter nggak akan membantu apapun dalam proses koma lo. Mereka selalu berharap yang terbaik untuk kesembuhan lo meskipun mereka nggak ada di rumah sakit"

Seakan menelan kenyataan yang pahit, Jade menghela nafasnya dan masih memejamkan matanya. "Salah gue. Gue terlalu cepat menyimpulkan semuanya sendirian tanpa tau kenyataannya atau bahkan tanpa mau mendengarkan faktanya," ia mengambil jedanya dan melanjutkan, "Papa benar. Semua yang dikatakan mereka satu minggu lalu adalah hal yang benar. Gue ... salah."

"Bukan salah lo sepenuhnya, Jade. Salah gue dan Mave yang nggak kasih tau apapun ke lo disaat lo bangun karena kita berdua sangatlah egois dengan menginginkan lo untuk fokus sama perawatan lo sendiri."

Jade menggeleng, menahan air matanya yang hampir saja keluar. Ia tidak menyangka kalau ternyata ia telah menyakiti kedua orangtuanya dengan semua perkataan kasarnya tanpa mengetahui apapun. Ia ... menyesal. Kalau saja ia mempunyai kesempatan untuk mengulang semuanya, ia tidak akan mengucapkan sepatah kata pun dan hanya memeluk kedua orangtuanya ketika mereka berdua sampai di kamar rumah sakitnya. Dan ... ia juga tidak akan menyalahkan Mave saat pria itu mencoba untuk menengahi perdebatannya waktu itu.

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang