DUA BELAS

28 4 0
                                    

Dua piring nasi goreng, dua es teh manis dengan gula cair sesuai dengan apa yang Jade sukai, dan dua orang yang saat ini sedang menikmati indahnya pemandangan kota pada saat malam hari. Jade menatap lurus pemandangan yang dapat ia lihat dengan matanya yang begitu berbinar. Berbeda dengan Mave yang sepertinya fokus memandang hal yang lain.

"It's beautiful," Jade berkata, matanya tidak lepas dari pemandangan yang tersuguhkan didepannya. Angin malam juga dapat terasa dari tempat duduk di Teras Cafe yang buka dua puluh empat jam dan sedang mereka berdua gunakan sebagai tempat makan karena sepinya pengunjung.

"It is," Mave mengiyakan pernyataan yang baru saja disebut oleh Jade. Pemandangan betulan dan bukan wajah Jade yang sedari tadi ia pandangi.

"Kok lo nggak ikut anak-anak makan bebek sih?" Jade berdeham untuk mengatasi kecanggungannya karena tidak menggunakan formalitas dan juga senioritas yang seharusnya terbentuk antara dirinya dan Mave, ia memutuskan untuk tidak memanggil Mave sebagai seniornya.

Mave menyeruput es teh manis yang dibuatkan oleh Jade ketika dirinya menyiapkan nasi goreng tadi, "Karena gue tau lo bakalan keluar kamar dan request open kitchen?"

"Hah? Seriusan? Lo udah bisa nebak kayak gitu? I mean like," Jade berkata dengan penuh kehati-hatian dan dengan polosnya ia melanjutkan pembicaraannya, "lo dukun?"

Mendengar respon bodoh yang dikatakan oleh Jade, Mave langsung saja tertawa dengan sangat keras, "Lo beneran percaya akan hal mistis itu?"

"Sialan, lo nipu gue?" Jade dengan nada suara marahnya itu berbicara. Meskipun suaranya terkesan marah, wajahnya sangatlah tidak mendukung. Lihatlah, Mave masih tertawa ketika melihat wajah bodohnya itu. "Sial," umpatnya sekali lagi.

"Lagian, lo aneh banget sih kalau percaya sama apa yang barusan gue bilang," Maverick memperjelas, tangannya sembari menyendokkan nasi goreng buatannya itu ke dalam mulutnya, "nggak lah. Gue lagi malas aja buat keluar. Besok soalnya bakalan padat juga kan."

"Setuju," Jade mengiyakan, kemudian ia kembali melanjutkan pembicaraannya, "Gue mau nggak mau setuju sama apa yang lo bilang karena emang kenyataannya gitu. Besok bakalan benar-benar padat jadwalnya."

"Ya."

"Gue boleh nanya sesuatu?"

"Apa?"

"Kejadian di bis tadi," Jade ragu-ragu mengatakan pertanyaannya, "maksudnya apa ya?"

"Maksudnya?"

"Ya, maksud gue tuh kenapa sampai kayak gitu?"

"Kayak gitu?" Alis Mave mengerut, tidak paham dengan pertanyaan singkat yang diberikan itu.

"Ya, maksud gue tuh kenapa sampai harus mempermasalahkan masalah yang sepele. I am fine with everythingkok, apalagi mengenai hadiah tadi. Sama sekali nggak membebani," bohong Jade.

"Lo sama sekali nggak bisa bohong," Mave menggelengkan kepalanya dan tertawa.

"Gue nggak bohong."

"Gue tau kalau hadiah dari Kian itu ngebebanin lo. Gue tau kalau hadiah Kian itu punya banyak makna yang sebenarnya lo sendiri paham."

"Apa?"

"Mengambil hadiah Kian sama aja kasih dia lampu hijau untuk terus dekatin lo. Kenapa? Karena yang biasanya ditolak sama lo dan ditegasin pakai lampu merah, tiba-tiba diberi kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan lo. Itu memangnya bukan lampu hijau?"

Jade terdiam, menelan pernyataan yang baru saja dilantangkan oleh Mave. Tragisnya adalah semua yang dikatakan adalah hal yang benar dan ia sadari baru-baru ini. Namun, apa daya? Ia tidak mungkin mengembalikan semuanya kan? Semua itu sudah terjadi. Jade tidak bisa apa-apa kalau begitu.

"Jade, lo emang beneran udah siap buat hubungan sama orang lain? I have heard about you and your past."

"Can we not talk about this? I don't feel comfortable around you kalau memang lo masih terus ngomongin masalah yang menurut gue udah nggak bisa diapa-apain lagi. It's too late to talk about that, isn't it?"

"Okay."

Sepuluh menit selanjutnya, hanya ada suara tokek yang menghiasi pembicaraan dari kedua orang yang saat ini sedang menikmati makan malam mereka dengan sunyi. Ketika angin malam sudah mulai menusuk tubuh mereka, Mave melepas jaket yang ia pakai dan menaruhnya diatas paha Jade yang terbuka karena ia menggunakan celana pendek.

Jade menoleh dan mengerutkan keningnya begitu pahanya yang dingin itu ditutupi dengan hangatnya jaket milik Mave, "You don't need to take off your jacket."

"Gue nggak kedinginan, jadi lebih baik kasih ke orang yang kedinginan. Lebih bermanfaat," Mave menggoyang-goyangkan kedua kakinya sembari menyesap kopi yang baru saja diantarkan oleh pelayan.

"Okay," Jade mengiyakan, tidak berkeinginan untuk mendebat apapun.

"Talk to me about yourself, please," pinta Mave, "I want to know you better than before."

Jade tertawa pelan, belum pernah ada yang berani dengan terang-terangan untuk memintanya bercerita mengenai dirinya sendiri. "Apa ya," ia nampak berpikir sebentar. Ironisnya tidak ada yang dapat ia ceritakan pada Mave mengenai dirinya. Ah, mungkin hanya satu? Ia adalah perempuan yang gagal dalam percintaan.

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang