ENAM PULUH

29 5 0
                                    

Empat minggu kemudian,

Perempuan rambut panjang berwarna cokelat terang dengan jaket dingin yang menutupi seluruh tubuhnya saat ini sedang berjalan menyusuri jalanan yang sangat sibuk dan ada beberapa orang yang sedang berkumpul untuk mendengarkan nyanyian dari penyanyi jalanan yang begitu indah di pagi hari ini. Perempuan itu tersenyum ketika bertemu dengan beberapa orang yang juga ikut tersenyum melihatnya. Ia sangat menyukai kota ramah ini. Ketika ia berhenti di depan sebuah toko buku tua dengan papan nama yang begitu usang, perempuan itu langsung mengeluarkan kamera polaroidnya dan mengabadikan papan nama toko itu beserta interior toko yang menggantung disampingnya. Ada sepasang burung merpati dengan tulisan Evermore disana.

Evermore, ia sangat menyukai definisi dari kalimat itu.

Selama masa penyesuaiannya di Liverpool, satu hal yang ia sadari adalah warga yang tinggal di lingkungannya sangatlah ramah dan seringkali bercerita mengenai kota Liverpool ataupun kehidupan mereka. Bagi seseorang yang lebih memilih untuk tidak berbicara dengan tetangganya di Jakarta, Jade secara tidak sadar merasa bahwa dirinya sudah keluar dari zona nyamannya, sekali lagi.

"Jade, malam ini aku akan membuat Cornish Pasty. You should come," seorang wanita paruh baya baru saja keluar dari cafe yang berada di sebelah toko buku tua yang Jade foto tadi.

"Hi, Elsa. That would be great! I will come to your house after my afternoon class," Jade menyapanya dengan penuh senyuman. Ia dan Elsa sudah berteman dan seringkali mengobrol bersama karena perempuan paruh baya itu menyediakan kopi dan teh yang begitu enak di area tempat tinggalnya. Selain itu, perempuan asal Amsterdam itu pun suka sekali bercerita mengenai kehidupannya yang begitu berbeda dan tidak pernah ia dengar dari orang-orang sebelumnya. Perlu Jade akui kalau Elsa memiliki daya tariknya sendiri ketika sedang bercerita, tidak heran kalau cafenya sangat ramai ketika di jam-jam sibuk karena perempuan paruh baya itu tidak hanya menyajikan minuman yang enak, ia juga melibatkan dampak emosional dibaliknya.

"Joe juga akan datang malam ini dengan Patrick untuk menonton tanding bola di cafe," Elsa memberitahu, ia mengulum bibirnya dengan canggung dan sesekali menyunggingkan senyumannya dengan malu-malu.

"Tidak heran, kamu pasti memasak Cornish Pasty karena Joe sangat menyukainya. Seingat aku, Joe sangat mengidam-idamkan Cornish Pasty buatanmu," ujar Jade yang membuat pipi Elsa begitu merah padam, tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Jade untuk mengabadikan Elsa dengan kamera polaroid miliknya. "Gotcha!"

"Oh my god! You and your camera," Elsa tertawa dan menggelengkan kepalanya, baginya sangatlah tidak heran ketika Jade berjalan dan mengabadikan setiap momen dengan kameranya karena ia tau asal muasal dan latar belakangnya. "Aku harus segera kembali karena harus membuat pesanan teh pelanggan, tapi intinya kamu harus datang malam ini karena aku lagi mempertimbangkan untuk masak makanan yang banyak nanti."

"Of course! You know me, aku selalu datang kalau berkaitan dengan makanan," Jade menganggukan kepalanya karena meski harus menerjang dinginnya Liverpool ketika malam hari di musim dingin, ia tetap akan datang untuk setiap makanan yang dibuatkan oleh Elsa. She is a good cook, batinnya.

Kemudian ia pamit pada Elsa dan kembali meneruskan perjalanannya pada pagi hari ini karena ia harus bertemu dengan teman sekamarnya yang sudah mencapai titik gilanya karena harus mengerjakan tugas semalaman dan sampai detik ini masih belum tidur. Jade melangkahkan kakinya pelan-pelan untuk menikmati waktunya dan melihat ke arah sekeliling. Ah, ia sangat amat bersyukur untuk mengambil kesempatan yang diberikan oleh Kian dan sayang sekali pria itu tidak diijinkan untuk mengikuti program ini.

Baginya, berada di Liverpool sangat membuka matanya. Ia jadi belajar ada banyaknya perspektif dan pengalaman dari pembelajaran kehidupan yang sama sekali tidak diajarkan di kampus ataupun di Indonesia karena adanya perbedaan kasus dan permasalahan konflik.

Tidak lama kemudian, Jade sudah sampai di perpustakaan kampusnya selama satu tahun kedepan, ia melepaskan jaket dingin yang ia pakai dan menggantungnya di tempat penitipan di gerbang depan karena perpustakaan Liverpooladalah perpustakaan terbaik dan sangat memikirkan mahasiswanya. Buktinya, mereka juga menyediakan kopi panas yang dapat diambil oleh para mahasiswa selama berada disana dan ada mesin pemanas yang selalu dinyalakan setiap harinya di musim dingin. Jade mengetikkan buku yang ingin ia baca hari ini, buku anatomi tubuh adalah pilihannya. Entah kenapa, sejak Mave mengirimkan beberapa postcard mengenai hal-hal yang berbau medis, Jade jadi makin tertarik dengan hal tersebut.

Setelah ia memilih buku dan mengambilnya di rak yang sudah tertera di komputer perpustakaan, Jade berjalan ke arah private 2:1 room yang berada diantara rak buku medis dan filsafat. Ia membuka pintu ruangan tersebut dan menemukan Castella dengan posisi yang ... mengenaskan. Kepala perempuan itu sudah berada di meja hitam yang berisikan laptop, lima buku tebal dengan berbagai pembatas buku, 6 gelas kopi kosong dan banyaknya kertas catatan yang berserakan.

"Ella, El," panggil Jade, berusaha untuk membangunkan Castella dengan suara yang lembut, tapi hasilnya adalah nihil. Jadi, Jade memutuskan untuk membiarkan perempuan itu untuk beristirahat sebentar dan akan membangunkan Ella dalam setengah jam lagi karena perempuan itu memiliki jadwal bimbingan dengan salah satu dosen di University of Liverpool.

Ketika matanya menjelajah seisi ruangan, ia menemukan kotak hitam yang dilapisi oleh bubblewrap yang sangat ia tau kalau itu adalah miliknya. Sudah empat minggu berturut-turut, kotak hitam dikirimkan dari Indonesia untuknya dan tebakannya adalah Castella membawanya dari dorm mereka untuk diberikan langsung untuk Jade. Ia dapat melihat namanya diatas kotak tersebut sebagai penerima, dengan cepat ia merobek dan membuka kotak itu tanpa menunggu lama.

Betapa terkejut dirinya ketika menemukan ada foto perempuan yang begitu asing di matanya di salah satu kumpulan polaroid yang dikirimkan. "Siapa?" matanya mendadak membulat sempurna, senyumannya mendadak runtuh dan ketika ia membalikkan polaroid tersebut, ia dapat melihat tulisan tangan dari pria yang menjadi manusia favoritnya selama beberapa minggu ini. I can't do this anymore, kalimat yang tertulis di polaroid tersebut.

Jade mengerutkan dahinya, ia tidak mengerti. Apa yang salah? Dimana yang salah? Tiga minggu, tiga kotak, ia kira sudah cukup dan berjalan dengan lancar tanpa adanya permasalahan. Ia juga selalu menerima foto-foto yang saat ini telah mengisi album fotonya dan ketika ia merindukan Mave, ia juga akan menggunakan foto pria itu yang diambil oleh entah siapa, dan ditaruh dibalik casing ponselnya. Tidak mau berlarut-larut dengan emosinya, Jade mengeluarkan ponselnya yang ada dikantung celana panjangnya dan mendial nomor yang ia hindari selama di Liverpool.

Empat detik, waktu yang digunakan bagi si penerima telepon untuk mengangkat panggilan dari Jade.

"Siapa," belum selesai Jade mengatakan apa yang ia inginkan dengan suara yang keras, ia malah mendengar kalimat yang membuatnya terdiam dan seketika emosinya menjadi lebih reda dibandingkan sebelumnya.

"I miss you, Jade. I am on my way to see you."

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang