DUA PULUH ENAM

15 4 0
                                    

"A million times over, I will always choose to be with you. Whenever, wherever and whatever the situation is. I will always be with you. Forever and always," Jade meneguk habis wine yang ada digelasnya, "he promised that to me."

Maverick menarik nafasnya panjang setelah mendengar salah satu kisah cinta yang Jade miliki dengan laki-laki yang bernama Ian. Cemburu? Sedikti. Tapi, ia akan menahan itu semua dan memilih untuk menjadi pendengar yang baik hari ini.

"Ian adalah satu dari sejuta orang yang banyak buat janji sama gue dan sayangnya nggak pernah ada satupun yang ia tepatin," Jade menyunggingkan senyuman sinisnya. "Forever and always? Always be with me for the rest of my life?" ia mengisi kembali gelas kosongnya dengan botol wine yang ada tepat didepannya, sesuai permintaan Jade kepada pelayan tadi.

"Where is he now?" Maverick memberanikan diri untuk bertanya.

"No, no, no," Jade menggelengkan kepalanya, "kita belum ada di fase jawaban akan pertanyaan lo barusan. Biarin gue untuk ceritain semua hal terlebih dahulu, khususnya pas dia ninggalin gue atau mungkin pas dia lamar gue sebelum sosok Gia akhirnya datang? There are a lot of things to tell, Mave. Trust me."

"Fine, go ahead and tell me more about him," Mave pasrah, ia akan kembali mendengarkan kisah yang membuat darahnya mendidih.

"Good, sekarang saatnya gue bawa lo ke cerita pada saat dia lamar gue," Jade terkekeh, mungkin efek dari minuman alkohol yang ia minum, "he proposed me." ia kembali tertawa, "bisa bayangin nggak lo? Kalau misalkan gue terima lamaran dia pada saat itu, gue sekarang bisa jadi apa ya? Janda tanpa anak kali ya?" ia membayangkan.

"Nggak, because I will marry you whatever condition you have," ujar Mave dengan tegas dan lugas.

Jade kembali tertawa mendengarkan apa yang dikatakan oleh Mave, "So, you see, you and Ian are the same. Nikah? Terima gue dalam kondisi apapun? Such a bullshit."

"Ya."

"Nggak akan ada orang di dunia ini yang mau terima seseorang dalam kondisi yang cacat, Mave."

"Lo nggak cacat."

"Kalau gue nikah sama Ian pada saat gue ketemu sama lo, Mave, gue cacat," ujar Jade. "Kita tinggal di negara yang dimana setiap janda ataupun seseorang yang udah bukan sosok yang suci, akan selalu dinobatkan sebagai cacat, bekas, or whatever you named it by youself. So, deal with it. Accept that fact."

"I don't give a shit about what people says."

Jade tertawa pelan, hanya itu reaksi yang diberikan.

"Seriously. Gue sama sekali nggak peduli."

"Sayangnya, nggak semua orang kayak lo. Gue salah satunya. Gue sangat amat peduli dengan apa yang dikatakan oleh orang lain. Jadi, ketika apapun yang gue lakukan pada ujungnya hanya akan jadi bahan pembicaraan, gue lebih memilih untuk nggak ngelakuin itu."

"Liar."

"Liar?"

"Memilih untuk bahagia sama gue dibandingkan meratapi nasib di cafe favorit lo dan Ian adalah satu dari banyak hal yang lo lakuin, meskipun gue yakin lo sendiri tau kalau pasti bakalan ada banyak orang yang ngomongin lo. Lo yang melupakan cinta pertama lo dan memilih untuk moving on with me. But, guess what? You did it anyway and here we are," ujar Mave

Jade nampak berpikir sebelum akhirnya ia meneguk winenya kembali. "That is a mistake."

"A mistake?" Mave tidak percaya dengan pendengarannya saat ini. Ingatkan Mave untuk pergi ke dokter THT dan mengecek kondisi telinganya. "Sebuah kesalahan kata lo?"

"Ya. Sebuah kesalahan bagi gue untuk menawarkan kesempatan untuk bahagia dengan lo, memilih jalan pintas untuk mencoba bagaia dengan cara berpura-pura. That is what I said to you ketika kita masih di Surabaya kemarin. And, now, I realize that is a mistake. Jalan pintas untuk bahagia dengan berpura-pura?" Jade mendengus, mengalihkan pandangannya pada piano yang ada disebelahnya. "Kita, orang yang nggak pernah bisa lepas dari masa lalu itu sama sekali nggak pantas untuk dapat jalan pintas, Mave."

Mave menatap mata perempuan yang tidak menatapnya balik dengan seksama. Ia dapat menyadari bahwa ada tatapan kosong dari balik mata indah itu. Dulu, ia sangat amat menyukai tatapan Jade ketika bersamanya. Selalu terisi dan penuh dengan kebahagiaan. Canda dan tawa selalu mereka rasakan setiap harinya sampai hari ini. Hari ini hanya ada kekosongan dan penuh kebohongan di mata indah itu.

"Apa yang lo bilang waktu itu bener, Mave. Harusnya lo nggak memilih untuk mengikuti saran gue dengan berpura-pura untuk bahagia. Harusnya gue nggak menyarankan itu," Jade menyalahkan dirinya, "intinya, kita nggak akan pernah bisa bahagia. Kita berdua nggak akan bisa saling membahagiakan lagi, Mave."

Jade melanjutkan, "This," ia menunjuk dirinya dan Mave bergantian, "will never work."

"Why?" Mave sebetulnya tidak mau menanyakan pertanyaan bodoh tersebut, namun mulutnya secara kurang ajar dan spontan menyebutkan tiga kata itu. Ia merutuki dirinya dalam hati dan bersiap untuk menebalkan kupingnya karena ia yakin kalau hanya akan ada alasan tidak masuk akal dan menyakitkan yang akan keluar dari mulut Jade.

"Because you are not him. Lo bukan Ian yang bisa selalu buat gue bahagia. Lo bukan pemeran utama laki-laki yang diciptakan sama Tuhan buat gue."

"Terus siapa? Ian? Cowok brengsek yang bikin lo nangis selama dua tahun? Yang ninggalin lo demi perempuan lain? Iya? Itu pemeran utama laki-laki yang lo inginkan?"

"Dia nggak brengsek!" seru Jade, tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh Mave.

"Wake up, Jade! You choose me karena memang gue adalah satu-satunya jalan untuk lo bahagia, bukan kesalahan."

Jade terdiam.

"Kita bukan kesalahan, Jade."

Jade masih terdiam.

"Ya, kan? Lo diam karena percaya kan kalau kita bukan kesalahan?"

"Mave," Jade menggelengkan kepalanya pelan, menahan air matanya. "We are a mistake. Itu yang harus lo percaya karena setelah ini gue akan kembali sama Ian. Lo harus terima fakta bahwa kita adalah sebuah kesalahan and now? You have to move on. Lupain gue. Lupain buat beberapa bulan ini. Lupain semuanya, Mave. You need to."

Mave sekarang paham kenapa Jade memaksanya untuk menerima hal yang sebetulnya berbanding terbalik dengan kenyataan. Perempuan itu hanya ingin memudahkan jalan Mave untuk membencinya dan melupakannya. Namun, Mave tidak akan menerima semua itu. Ia hanya akan semakin memperjuangkan apa yang sudah ia lakukan, hubungan apapun yang ia sudah lakukan dengan Jade selama beberapa bulan ini. Karena, semua itu nyata. "Lo harus berhenti sih. Berhenti ngerasa kalau Ian adalah segalanya."

"Why? Bukannya itu kenyataan? He is my everything since the very beginning, Mave."

"He is not."

"Terserah, gue nggak peduli sama apapun yang akan lo ngomongin setelah ini. Yang pada intinya dan yang harus lo pahamin dan terima adalah nggak akan pernah ada kata kita diantara lo dan gue. Gue akan kembali dengan Ian. Lupain gue. Let's go back to reality, Mave."

"Enak ya? Gampang ya?"

"Apa?"

"Iya, gampang dan enak kan ngatur-ngatur perasaan orang?"

"Mave?"

"Menit sebelumnya lo buat gue jatuh cinta, bahagia, merasa terisi, selalu yakinin gue kalau apa yang kita punya itu nyata dan selanjutnya ketika Ian datang? Lo seenaknya nyuruh gue untuk lupain lo dan mundur? Itu kan maunya lo supaya lo bisa balik lagi sama Ian?"

Jade terdiam.

"Gue benci sama lo, Jade. Kalau itu yang dari tadi lo mau dengar, you got them."

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang