TIGA PULUH LIMA

15 3 0
                                    

Keeesokan harinya, Jade memutuskan untuk tidak beranjak dari tempat tidurnya karena selain dirinya yang tidak ada kelas hari ini, ia juga malas untuk melakukan apapun kecuali rebahan di ranjangnya dengan pandangan menghadap langit-langit yang ada di kamarnya. Langit biru, kesukaan Ian yang menjadi pilihannya ketika ditanyai oleh tukang bangunan yang merenovasi rumahnya tiga tahun yang lalu. Sudahkah ia tidur? Jawabannya adalah belum. Sejak ia diantar pulang oleh Mave dengan mobil yang berada sangat jauh dari cafe karena cowok itu berlari dan meninggalkan mobilnya sembarangan, pikirannya semakin kacau dan lari kesana kemari sehingga ia kesulitan untuk memejamkan matanya.

Ponselnya sedari tadi tidak berhenti memutar nada dering yang ia benci karena tidak ada satu pun panggilan dari pria yang ia harapkan. Salahkah kalau Jade masih berharap Ian meminta maaf? Bahkan, kalau memang pria itu hanya bisa melakukan hal tersebut melalui panggilan telepon, ia sama sekali tidak masalah. Yang terpenting adalah pria itu memiliki usaha untuk menghubunginya, berjuang untuknya dan memiliki keinginan untuk bertemu di tengah jembatan hubungan antara mereka berdua. Tapi, sepertinya itu tidak akan dapat terjadi, bukan?

Sekali lagi Jade menghembuskan nafasnya panjang dan penuh amarah. Ada banyak sekali pertanyaan yang terlintas di pikirannya dan ia sangat berharap Ian dapat menjawabnya. Tapi, kembali lagi, sepertinya semua yang ia harapkan terhadap Ian tidak akan pernah terjadi. Meski dunia terbelah menjadi lima belas, seorang pria seperti Ian tidak akan menurunkan ego dan harga dirinya hanya karena Jade. Memangnya Jade siapa sampai Ian dapat melakukan hal itu, bukan? Kalau dua tahun lalu, Jade pasti akan dengan bangga menjawab pertanyaan tersebut dengan, "Soulmatenya Ian!" namun sekarang? Hanya helaan nafas yang dapat ia berikan.

"Neng, neng mau Bibi bikinin makanan apa untuk siang ini?" Bibi Haya datang menghampiri kamar Jade, sudah cukup ia membiarkan anak majikannya itu tidak makan pagi jadi setidaknya ia harus menanyakan dan mengingatkan mengenai makan siang, pikirnya.

"Mama sama Papa makan siang bareng aku hari ini?" tanya Jade pada sang Bibi, ia tidak bergerak sekalipun di tempat tidurnya.

"Nggak, Neng. Bapak dan Ibu sedang tidak di rumah," jawab Bibi yang sudah tinggal bertahun-tahun bersama Jade, bahkan bisa dibilang kalau Bi Haya lebih sering menemani Jade makan bersama dibandingkan kedua orangtuanya.

"Ah, okay," Jade menganggukan kepalanya dibalik dirinya yang sedang rebahan di kasurnya yang paling nyaman itu. Ia kemudian meminta Bi Haya untuk meninggalkannya sendirian dan berjanji akan memanggil wanita paruh baya itu ketika ia membutuhkannya.

Selepas Bi Haya pergi, pikiran Jade kembali fokus ke beberapa hal mengenai hidupnya yang terkadang membuatnya lelah. Ia tau kalau lahir di keluarganya itu adalah satu hal dari jutaan hal yang dapat ia syukuri, namun terkadang keabsenan kedua orangtuanya yang membuatnya menjadi manusia tidak tau diri dan berharap dapat terlahir di keluarga lainnya.

Jade menghembuskan nafasnya panjang, kesal dengan semuanya. Ia kemudian mengingat bahwa hari ini Papanya sedang berada di Milan untuk merayakan ulangtahun sahabatnya sedangkan Mamanya sedang melakukan konferensi pers di Bali, selalu jarang memiliki waktu untuk anaknya. Terkadang memang kedua orangtuanya akan menyempatkan waktu untuk melakukan kegiatan keluarga umumnya seperti makan bersama, belanja bersama Mamanya dan main golf serta tennis bersama sosok seorang Papa. Meskipun jarang, terkadang Jade sangat mensyukuri itu.

Ia menendang selimutnya dengan kesal. Kenapa permasalahannya jadi menumpuk seperti ini?

Tidak lama kemudian, ponselnya kembali berbunyi dan kali ini bukan nama Mave ataupun Kyla yang terpampang disana, melainkan nama Gia disana. Ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi pada Ian? Apakah laki-laki itu baik-baik saja sejak kemarin? Ia penasaran, namun ia akan mencoba untuk mengabaikan panggilan dari sahabat wanita mantan pacarnya itu. Hah! Mantan pacarnya, sepertinya Jade baru saja mulai menerima status barunya yang sebetulnya tidak berbeda sejak dua tahun yang lalu.

Dikarenakan panggilannya tidak diangkat, Gia dan beberapa temannya yang lain pun berusaha untuk mengirimkan pesan pada Jade, namun sayang sekali karena perempuan itu masih belum siap untuk menghadapi apapun. Jadi, ia memutuskan untuk menutup matanya dan kembali tertidur, menelan semua kepahitannya sendiri dan bersembunyi dibalik mimpi. 

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang