TIGA PULUH SEMBILAN

19 3 0
                                    

Satu hari setelah Jade dinyatakan koma di rumah sakit,

Jade melangkahkan kakinya diatas lembutnya pasir-pasir pantai dengan matahari yang sebentar lagi terbenam. Ia tersenyum lebar ketika burung-burung berkicauan dan terbang bersama-sama mengitari langit. Kedamaian dan ketenangan dari suara deru ombak yang saling menghantam. Semuanya indah. Semuanya sesuai dengan apa yang selalu ia inginkan. Sesekali Jade juga mengedarkan pandangannya ke arah cafe kecil dan satu rumah yang berada di pinggir pantai. Ia mengernyitkan keningnya ketika mendapati ada dua burung merpati yang sedang bersantai di meja kecil yang ada di depan rumah tersebut. Bukan rumah yang mewah, melainkan rumah sederhana dengan interior vintage yang membuat Jade menyukainya di pandangan pertama.

Jade kembali menyunggingkan senyumannya ketika matanya bertemu dengan papan tulisan, "It's always you," ia menjadi kembali ingat dengan yang dikatakan oleh Mave ketika pria itu menyatakan perasaannya padanya. Ah, ia jadi kangen dengan pria itu. Pria menyebalkan yang pada awalnya begitu sombong dan malah melunak ketika ia bertemu dan saling berbicara di rooftop hotel Surabaya. Betapa lucunya pertemuan mereka berdua itu.

"Jade," panggil seseorang yang baru saja melintas di pikirannya.

"Why are you here?" tanya Jade dengan kerutan yang ada dikeningnya. Bahkan, ia saja tidak tau kenapa saat ini ia sedang berada di pantai, bukannya kamar di rumahnya sendiri.

"I don't know," Mave mengangkat kedua bahunya dan kemudian terkekeh, "mungkin karena lo memikirkan gue? I don't know," ia dengan malu-malu mengatakannya. Belum pernah sekalipun ia mengatakan hal tersebut sebelumnya dengan perempuan ataupun orang lainnya, namun kalau berkaitan dengan Jade, semuanya akan menjadi berbeda.

Jade ikut tertawa, "Pede banget ya lo," tawanya sekali lagi.

"Yeah, only when it comes to you," Mave mengatakannya dengan penuh tekanan dan tetap dengan tawanya yang begitu khas, mengundang orang lain juga ikut tertawa.

"Ya udah, kalau begitu mending lo temenin gue keliling deh. Gue bener-bener penasaran sama interior yang ada di rumah ini," Jade menunjuk pintu rumah yang ada dibelakangnya dengan telunjuknya, mengundang Mave untuk masuk ke dalam rumah tersebut bersamanya seakan ia adalah pemilik rumah tersebut.

"Gue suka sama pembawaan rumahnya. Sederhana tapi nggak murahan juga," ujar Mave.

"Mau tau nggak? Gue baru sadar kalau pernah gambar rumah ini dulu pas masih kecil. Lo percaya?"

"Hah! Nggak mungkin," Mave menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Beneran, Mave! Sumpah!" seru Jade, berusaha untuk membuat lawan bicaranya percaya. Ia kemudian berjalan ke arah meja makan untuk lebih membuktikan bahwa omongannya adalah hal yang benar. Ia ingat kalau dulu di gambar tersebut, ia berencana untuk membuat sendok dan alat makan lainnya dengan ukiran bunga matahari karena dulu ada Mamanya pernah mengatakan, "Jade, sometimes in life you cross path with someone who instantly makes you feel calm, refreshed, alive and wholesome. They encourage your dreams and celebrate your wins without an ounce of jealousy. They just want what's best for you, and you for them; there isn't much more to it. They are warm and bright, loving and loyal. You can't help but feel authentically happy in their presence, like the best version of yourself. With that, I wish that you found your sunflower, Jade," ujar Mamanya ketika masih kecil dulu dan sampai saat ini ia masih mencari siapa bunga matahari hidupnya setelah Ian.

"Bunga matahari?" Mave mengerutkan dahinya, entah sejak kapan ia sudah berada di dekat Jade dan melihat alat-alat makan itu. "Lo suka sama bunga matahari, Jade?"

"I want to be like a sunflower, Mave. So, that even on the darkest days I will stand tall and find the sunlight," Jade tersenyum, lebih tepatnya mencoba untuk tersenyum meskipun tenggorokannya berasa pahit ketika mengatakan harapannya karena ia baru saja menyadari bahwa apa yang ia lakukan selama ini terhadap kepulangan Ian adalah hal yang berbanding terbalik. Ia tidak memilih jalan untuk menjadi bunga matahari.

"I will help you to be one, Jade," Mave mengatakannya dengan sungguh-sungguh seakan mimpi dan harapannya menjadi seorang dokter telah ia turunkan levelnya menjadi bukan prioritas. "Let's grow like sunflowers that are not afraid to look at the sun every day, Jade."

"Gue nggak yakin sama diri gue sendiri, Mave."

"Maksud lo?"

"Gue kayaknya nggak bisa jadi bunga matahari yang selalu dibicarakan sama Mama gue ataupun versi bunga matahari yang gue mau."

"Kenapa?"

"Karena ..."

"Kalau lo berfikir selama ini lo bukan bunga matahari, lo salah, Jade."

Tidak ada balasan dari Jade. Hanya ada decakan kesal dari Mave.

"Gue nggak akan kasih tau alasan apa yang membuat gue yakin kalau lo adalah bunga matahari versinya lo sendiri," Mave ingin perempuan itu menyadarinya sendiri, tanpa bantuan siapapun. Namun, ia akan mengatakan satu hal yang memang harus ia kasih tau sejak awal, " I am going to tell you another one, Jade. Supaya lo benar-benar bisa sadar. Do you know why you are hurting? It is because you are attached to people who have been distant with you. You're paying attention to people who ignore you. You make time for people who are too busy for you. You're too caring to people who are careless when it comes to you. Please, let those people go."

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang