"Tahu nggak, kita cukup dekat untuk kemudian jadi terlalu jauh."ㅡLevian Danu Gunadharma
Yang Danu tahu, siang itu terasa lebih pengap daripada biasanya. Terik mentari rasanya tidak hanya membakar kulitnya, tapi juga hatinya. Membakar habis hingga menyesakkan dadanya.
Gila. Seharusnya bukan Danu yang salah kan? Danu sangat tahu itu. Tapi sebagai laki-laki waras yang pada hakikatnya harus menjaga kaum yang lebih lemah, nuraninya memberontak. Rasa manusianya didobrak habis-habisan hingga membuatnya semakin ingin merengkuh gadis itu.
Mendekap. Menjaganya.
Danu bukannya ingin tamasya mendadak di Kota Lama, kakinya hanya berusaha sebisa mungkin menjauhkan raganya dari seonggok manusia dengan label tidak berguna yang bernama Danu Aryadana.
Iya, Danu muak. Kalau saja Danu sama tidak warasnya, Danu mungkin sudah melayangkan tinju dan membuat keributan yang lebih besar dari angin puting beliung di halte merah tadi.
Hanya saja, akal sehatnya menolak gila.
Jadi Danu hanya melangkah tanpa arah di sepanjang Kota Lama. Hiruk-pikuk turis lokal pun juga mancanegara yang tengah asik mengabadikan tiap sudut Kota Lama sama sekali tidak menarik perhatian Danu. Seluruh isi kepalanya masih terpusat pada satu titik semesta bernama Kanina Mila Jihantara.
Berkali-kali Danu menarik napas, menghela, menarik napas lagi, menghela lagi dengan harap timbunan rasa bersalah bisa luruh begitu saja. Tapi sejauh Danu sudah mengelilingi Kota Lama hingga Danu hampir menghafal seluruh jalannya, rasa bersalah itu tak kunjung pergi.
Laki-laki itu kemudian terduduk di jajaran kursi yang tertata rapi di persimpangan jalan tak jauh dari tengah Kota Lama. Rakus sekali ia menenggak mineral yang baru saja dibelinya. Setelahnya, Danu kembali menghela berat menatap layar ponselnya.
Ada berduyun panggilan tak terjawab di sana. Oh, tidak! Bukannya tak terjawab, tapi sengaja tak dijawab.
Danu tahu betul apa yang akan dikatakan gadis itu. Dan Danu hanya ingin menata isi kepalanya dulu. Takut-takut akan salah bereaksi jika ia terburu bercakap dengan gadis itu usai perbincangan gilanya beberapa waktu yang lalu.
Tapi, Danu tahu, ia tidak bisa membiarkan gadis itu gelisah. Jadi, pada nada sambung kedua, laki-laki itu tersenyum mendengar suara panik yang masih terdengar begitu lembut pada rungunya, "Kak! Ada apa? Tadi kok ada suarane Danu?"
Hening. Sungguh, tidak ada yang ingin dikatakannya selain daripada rasa ingin yang begitu membuncah. Rasa ingin mendekapnya selagi berucap, "Sorry ya, Nin."
KAMU SEDANG MEMBACA
(in)complete [COMPLETE][✓]
BeletrieKadang, sebuah cerita sengaja ditulis tanpa memiliki akhir. Cerita yang sengaja dibiarkan menggantung, terbang, melayang, dan hinggap, lalu kembali menggelayut di tepian hati. Seperti kisah kita. Kisah tentang aku dan kamu. Kisah yang belum berakhir...