20. Suspicion

52 2 0
                                    

Malam hari itu, Alzhery memutuskan untuk menemani Alliona di tendanya. Al bahkan rela terjaga demi memantau tenda yang ditempati adiknya itu.

Pukul 21.30

Alliona merangsek untuk menggerakkan tubuhnya. Ia melirik Alzhery yang sedang duduk bersandar disampingnya. Alliona merasa kondisinya sudah lebih baik setelah beberapa jam tertidur usai diobati.

"Bagaimana keadaanmu?"

Alzhery menoleh dan bersuara. Alliona terdiam sejenak seraya meraba lengannya yang terdapat terluka. Gadis itu merasa sedikit aneh.

"Rasa sakitnya... sudah hilang," Alliona menggerakkan kepalanya pelan. "Tapi leherku.. masih sakit."

"Luka sayatanmu cukup dalam. Nyerinya memang kuat. Mungkin satu atau dua hari lagi sakitnya akan reda."

Alliona mengangguk pelan. Lengang. Membiarkan hening melanda beberapa saat sebelum mereka kembali bersuara.

"Kau... menyerap rasa sakitku?" lirih Alliona.

"Tidak," jawab Alzhery datar.

"Lalu siapa lagi kalau bukan kau?"

"Jangan terlalu percaya diri!" tekan Alzhery tanpa melihat Alliona.

Alliona terdiam sebentar, menebak. "Apa Silva yang menyerap sakitku? Atau.." Alliona menjeda ucapannya seraya mengingat sesuatu. Gadis itu melebarkan kedua matanya. "Hero.." lanjutnya dalam hati.

Alzhery hanya diam, tak merespon. Pertanyaan itu memang tidak penting walau Alliona yakin Alzhery yang menyerap rasa sakitnya.

Alliona mengubah posisi berbaringnya jadi setengah duduk. Ia benar-benar sudah tidak lagi merasakan nyeri di kaki dan tangannya. Rasa sakit itu seperti lenyap begitu saja, hanya menyisakan perih di bagian leher.

"Alzhery, aku minta maaf telah mengabaikan laranganmu. Aku tahu kau pasti marah padaku," ucap Alliona dengan perasaan bersalah.

"Lupakan. Kembalilah tidur."

Alliona terdiam. Ia coba menoleh kearah Alzhery sebisanya karena lehernya yang masih sakit. Alliona jadi teringat masa kecilnya dengan laki-laki itu. Sejak kecil, Alzhery memang tidak pernah marah. Alzhery adalah kakak yang sabar dan bijak dalam menghadapi Alliona. Ia lebih sering memendam amarahnya sendiri dibanding melampiaskannya di depan Alliona.

Namun, Alliona tahu sejak dulu. Jika Alzhery benar-benar marah, ia akan mendiami Alliona seharian sampai membuatnya bertanya-tanya dan akhirnya tersadar, sadar bahwa Alzhery sedang marah. Tapi keesokan harinya, sikap Al kembali seperti semula. Ia seakan lupa begitu saja bahwa kemarin telah bersikap acuh pada adiknya itu.

Suasana di dalam tenda begitu hening. Menyisakan sayup-sayup suara obrolan dari tenda sebelah yang terdengar seperti dengungan. Pandangan Alzhery tetap tertuju kedepan melihat beberapa penduduk yang masih berlalu lalang di depan tenda malam itu.

Alliona menunduk, merasa bersalah. Ia yakin, mungkin Alzhery akan memaafkannya besok, sebab malam ini pria itu tidak mengeluarkan sepatah kata lagi padanya. Ia berharap sikap kakaknya akan kembali lagi seperti biasa.

Beberapa lama kemudian, Hero muncul menyibak tirai tenda. Pandangannya langsung tersorot kearah Alzhery.

"Biar aku yang akan menjaga Alliona. Mungkin kau bisa menemui tuan Eros sekarang," ujar Hero. Kedatangannya membuat Alliona terkejut.

Alzhery bangkit seraya menatap Hero dengan sedikit memicing. Ia tahu Eros memanggilnya. Baru saja ia hendak pamit untuk meninggalkan Alliona di tenda. Tapi apakah Eros yang menyuruh Hero? Atau Hero yang menguping pembicaraan Eros?

Never Forget YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang