Goresan 48 : (Sudut Pandang) Ketakutan

208 41 20
                                    

Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya, hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya.

Harper Lee
---To kill a mockingbird, 1960---

.
.
.
.

Cklek!

Krieettt!

Suara derit pintu menggema kala seorang wanita berpakaian khas perawat membuka salah satu pintu dengan angka 48 yang tertera dipusatnya.

Rama yang berdiri tepat di depan ruangan tersebut seketika tersentak terkejut saat dia melihat pemandangan dihadapannya. Di mana terdapat seorang wanita berpakaian khas pasien rumah sakit jiwa terlihat duduk ditepi brankar sembari memeluk sebuah boneka.

Ini adalah kali pertama Rama melihat Ibu Kintan lagi setelah terakhir kali mereka bertemu tujuh tahun lalu. Dan Rama tidak menyangka bahwa dia akan disambut oleh pemandangan di mana Ibu Kintan terlihat sangat memprihatinkan seperti ini. Ibu Kintan yang selama ini Rama kenal sebagai sosok Ibu yang baik, yang menyayangi anak-anaknya dengan begitu tulus, yang mengayomi anak-anaknya dengan begitu sempurna, dan menjadi sandaran ternyaman bagi anak-anaknya. Sangat sangat berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat dengan Ibunya.

Ya, takdir memang terkadang selucu itu bukan?

Ketika Ambar harus ditinggalkan oleh Ibunya, Rama justru menjadi pihak yang meninggalkan Ibunya. Mereka ada diposisi yang sama memang, namun jelas menanggung perasaan yang berbeda.

Rama yang merasa lebih bahagia ketika dia berhasil meninggalkan Ibunya, sebab apabila Rama memilih hidup bersama Ibunya Rama justru akan dijadikan boneka oleh Ibunya. Dan siapa anak didunia ini yang mau dijadikan boneka oleh Ibunya sendiri? Jika pun ada maka bukan Rama orangnya.

Sementara Ambar justru kebalikannya. Ambar akan merasa lebih bahagia ketika Ambar hidup bersama Ibunya. Namun takdir malah memberikan garis lain untuk Mami Ambar. Mami Ambar mengalami gangguan kejiwaan dan mau tidak mau harus hidup di rumah sakit jiwa. Mungkin jika dipaksakan pun, Mami Ambar masih bisa hidup bersama Ambar dan keluarganya, hanya saja sekalipun mereka bisa hidup bersama pada akhirnya pun Ambar dan keluarganya akan merasa terluka. Bahkan bukan saja luka secara mental melainkan juga luka secara fisik karena Ibu Kintan sangat mungkin melukai orang-orang didekatnya termasuk anak-anaknya selayaknya yang lebih dulu dialami oleh Cacha.

Pada akhirnya tinggal bersama atau terpisah, Ambar tetap harus menerima kenyataan bahwa takdir memang sudah lebih dulu membuat jiwa Maminya meninggalkan keluarganya termasuk Ambar. Membuat Ambar kehilangan sosok yang paling menyayanginya, membuat Ambar kehilangan sosok yang selalu bisa mengerti dirinya, dan membuat Ambar kehilangan sandaran ternyamannya.

Perlahan Rama menolehkan kepalanya ke sisi kanannya, melihat Ambar yang sejak tadi menatap lurus ke depan sana dengan tatapan sendunya. Rama mengangkat tangannya ke atas menyentuh bahu Ambar kemudian menepuknya pelan seolah tengah memberikan kekuatan untuk Ambar sebelum nantinya Ambar benar-benar masuk ke dalam sana. Sebab Rama saja yang bukan anaknya dan tidak benar-benar merasakan kasih sayang seorang Ibu tetap merasakan yang namanya sesak ketika melihat seorang Ibu ada dalam keadaan se-memprihatinkan itu. Apalagi jika dia benar-benar ada diposisi Ambar, Rama bahkan tidak yakin dia akan sekuat Ambar yang sengaja datang kemari untuk bertemu Ibunya.

Ambar menghela napasnya panjang mencoba menguatkan dirinya, sebelum dia memberanikan diri melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan dihadapannya, ruangan yang sebetulnya tidak asing lagi bagi Ambar. Beberapa kali Ambar menginjak ruangan ini ketika dia menjenguk Maminya, dan rasanya tetap sama; dingin dan hampa.

COLORS (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang