Goresan 34 : Traumatic

219 29 7
                                    

Traumatic /trəˈmadik/
(n') mengganggu atau menyedihkan secara emosional.

.
.
.
.

Ayah menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang FKIP. Ya, hari ini Ayah memang sengaja menyempatkan diri untuk mengantarkan Cacha ---putri bungsu kesayangannya--- terlebih dahulu ke fakultasnya. Semuanya disebabkan karena Cacha yang tidak bisa menggowes sepedanya dalam keadaan lututnya yang terluka lumayan parah. Meskipun begitu sebenarnya Cacha masih mampu mengendarai mobilnya sendiri, tapi dengan alasan sudah sepakat dengan Sang Pacar untuk pulang bersama, alhasil Ayah pun rela mengalah untuk mengantarkan Cacha di pagi hari ini.

Ngomong-ngomong Ayah memang sudah tahu perihal Cacha yang berpacaran dengan Ilham. Kemarin selepas Ayah keluar dari perpustakaan saat Melinda mengajaknya untuk makan siang, bertepatan dengan Cacha yang datang dituntun oleh Ilham. Awalnya Ayah tidak merasa curiga sebab memang sejak awal Ilham dan Cacha bersahabat. Melihat mereka sedekat itu tentu saja tidak aneh baginya. Ayah justru sibuk dengan kepanikannya saat tahu bahwa kaki Cacha terluka. Ayah pun langsung meminta Melinda menyiapkan perlengkapan untuk mengobati luka di lutut Cacha sementara Ayah sibuk mengecek kondisi kaki Cacha, melihat apakah lukanya terlalu parah atau tidak. Karena jika terdapat luka sobek, Cacha harus tetap dibawa ke rumah sakit. Ayah tidak memiliki perlengkapan untuk melakukan tindakan medis seperti menjahit luka di rumah.

Selama pemeriksaan, utamanya saat Ayah mengobati luka Cacha, Ayah dibuat keheranan dengan tingkah Cacha. Pasalnya Cacha justru tersenyum-senyum sendiri sembari menatap Ilham yang sejak tadi tidak hentinya meringis kesakitan sembari menatap luka Cacha. Seolah reaksi mereka terbalik.

Mulai dari situlah timbul kecurigaan dalam diri Ayah. Bukannya apa-apa, setahu Ayah Cacha digigit nyamuk saja heboh, tapi sekarang saat Cacha mendapatkan luka sebegini parahnya dia hanya tersenyum-senyum seperti itu seolah tidak merasakan sakit. Padahal khusus untuk pengobatan kali ini Ayah tidak memberikan obat bius atau pereda nyeri dulu sebelumnya, seharusnya jika Cacha dalam keadaan seperti Cacha pada biasanya, Cacha pasti tetap merasakan sakit yang teramat sangat sampai berteriak-teriak heboh.

"Cha" panggil Ayah sembari mengambil obat merah dari dalam kotak yang diisi oleh banyak peralatan medis milik Ayah.

"Iya" jawab Cacha tanpa mengalihkan perhatiannya dari Ilham.

Ayah melirik sekilas ke arah Cacha yang menjawab panggilannya tapi tidak sedikitpun mengalihkan perhatiannya ke arahnya. "kenapa liatin Ilham begitu banget, hem? Suka ya sama Ilham?" Canda Ayah.

"Banget" jawab Cacha sembari menganggukkan kepalanya cepat. Yang seketika berhasil membuat Ilham merasa terkejut, sama halnya seperti Ayah.

Ayah kemudian menolehkan kepalanya ke arah Ilham yang langsung berubah panik saat ditatap oleh Ayah Cacha. Ilham bukannya takut pada Ayah Cacha, Ilham hanya merasa segan dan kurang enak hati saja. Rasanya seperti Ilham sudah mengajak pergi Cacha tanpa seizin Ayahnya saja.

Melihat Ilham yang bereaksi seperti itu membuat Ayah merasa bahwa Ilham sepertinya sudah tahu bahwa Cacha menyukainya. Tapi kenapa Ilham harus terlihat panik seperti itu? Seolah-olah Ilham tidak bisa membalas perasaan Cacha saja dan Ilham merasa takut jika dirinya tahu fakta tersebut.

"Kalau Ilhamnya, suka Cacha?" Tanya Ayah to the point pada Ilham yang membuat Ilham menatapnya terkejut bukan main.

Alih-alih jawaban dari Ilham yang Ayah dapat. Cacha lah yang justru bersuara menjawab pertanyaan Ayahnya. "iya. Makannya Ilham tembak Cacha tadi" kata Cacha disusul senyuman lebarnya.

Ilham meringis pelan saat sahabat berubah gelar menjadi pacar sejak beberapa menit yang lalu ---bahkan kurang dari satu jam--- kelewat jujur pada Ayahnya sendiri tanpa menyadari seberapa tegang dan paniknya Ilham sekarang.

COLORS (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang