Goresan 6 : Orange

494 57 0
                                    

Kriieett~

Cacha membuka pintu kamarnya dalam tempo lambat agar tidak menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Dia kemudian keluar dari kamarnya sudah dalam keadaan rapi sekali bahkan sebuah tas selempang terlihat terselempang di badannya. Tidak ada yang aneh sejujurnya, satu-satunya yang terlihat aneh dari Cacha adalah gerak-geriknya yang sedikit mencurigakan.

Cacha mengedarkan pandangannya ke sekeliling, ke area ruang keluarga yang berada tepat di seberang kamarnya, ke sisi kiri kamarnya di mana kamar Raya berada, melihat jauh ke lorong panjang di sisi kiri kamar Raya yang nantinya mengarah ke kamar Ayahnya dan area perpustakan mini yang terletak di seberang kamar Ayahnya, dan terakhir adalah ke sisi kanan kamarnya di mana kamar Melinda berada. Di rasa rumahnya ini sepi-sepi saja Cacha pun segera melangkah ke sisi kanan, melewati kamar Melinda, lalu dia segera menaiki tiap undakan tangga rumahnya menuju ke lantai dua.

Begitu dia berhasil menginjak lantai dua, Cacha segera melewati dua kamar bersisian yang merupakan kamar Ambar ---yang terletak paling dekat dengan tangga--- juga kamar Sita. Cacha menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar yang terletak di paling ujung, kamar yang tidak pernah diisi oleh siapapun sejak tujuh tahun yang lalu yang kini diisi oleh wanita bernama Kanaya. Cacha terlihat menyunggingkan senyuman manisnya karena rencananya sejauh ini berjalan dengan mulus, sebelum dia mengetuk pintu kamar tersebut.

Tok! Tok! Tok!

"Mbak Nay" bisik Cacha.

Tok! Tok! Tok!

Cklek!

Cacha melambaikan tangannya antusias bukan main saat Kanaya membuka pintu kamarnya.

Kanaya sendiri justru menatap Cacha keheranan. Satu hal yang memenuhi pikiran Kanaya adalah untuk apa Cacha datang ke kamarnya, "Gue nggak lagi butuh bantuan lo" gumam Kanaya yang dibalas tawa pelan Cacha.

"Cacha juga tau kali, Mbak"

Kanaya jadi semakin merasa bingung sekarang, "Terus?"

"Cacha itu hari ini mau ajak Mbak Kanaya ke mall, mau beli papan nama kaya yang kemarin Cacha bilang sama Mbak"

Kanaya mengernyitkan keningnya risih lantaran Cacha terus berbicara dengan berbisik, "Cha, kenapa bisik-bisik gitu sih ngomongnya?"

Cacha menunjuk ke bawah di mana letak kamar Melinda berada, "ada Mbak Mel di bawah" ujar Cacha singkat.

"Ya, terus kenapa?"

"Kata Ayah, Cacha itu kalau pergi-pergi harus izin dulu sama Mbak-mbak Cacha, ya minimal itu izin sama Mbak Mel. Cacha hari ini mau ajak Mbak Kanaya ke mall, tadi malam Cacha udah izin, tapi Mbak Mel kayanya nggak suka gitu, dia diem aja Mbak, nggak bilang 'iya', nggak bilang 'enggak juga'. Cacha nggak tau deh kenapa"

Kanaya menghela napasnya berat mendengar penjelasan Cacha. Tentu saja tanpa perlu dijelaskan lebih rinci oleh Melinda langsung, Kanaya bisa tahu jawabannya. Faktanya wanita yang terlihat ramah pada Kanaya dan Raya sejak awal kedatangan mereka itu nyatanya belum benar-benar bisa menerimanya. Sama halnya seperti apa yang Kanaya dan Raya alami, hanya saja perbedaannya adalah Raya dan Kanaya memilih berusaha menutupi itu semua karena amanah dari Ibu mereka.

"Yang jelas Mbak Mel nggak boleh tau kalau Cacha hari ini tetep mau ajak Mbak Kanaya pergi. Makanya bisik-bisik ngomongnya. Mbak juga dong"

Kanaya menganggukkan kepalanya patuh saja dengan permintaan Cacha, "kalau lo tau Mbak lo nggak suka dan nggak kasih izin, terus kenapa lo tetep nekat ajak gue ke mall?"

Cacha berdecak pelan karena menurutnya Kanaya tidak benar-benar mendengarkan perkataannya yang sebelumnya, "ih, Mbak Kanaya gimana sih. Kan kata Ayah kalau Cacha mau pergi Cacha harus izin sama Mbak-mbak Cacha, tapi kalau Cacha perginya sama Mbaknya Cacha, ya kenapa Cacha harus izin dulu, iya kan?"

COLORS (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang