Goresan 13 : Cerita Tentang Masa Lalu

285 42 2
                                    

Tok! Tok! Tok!

"Masuk!" Teriak Ayah Senan dari dalam.

Raya mendorong ke bawah kenop pintu sebelah kanan. Ia terlihat menelan ludahnya gugup sebelum dia memberanikan diri untuk membuka pintu ruangan tersebut lalu masuk ke dalam.

Raya membuka mulutnya lebar-lebar merasa begitu takjub melihat luasnya perpustakaan pribadi di rumah Ayahnya ini. Cacha pernah bilang kalau perpustakaan ini adalah perpustakaan pribadi milik Ayah, meskipun begitu anak-anak Ayah Senan juga tetap diperkenankan masuk ke perpustakaan ini secara bebas terkecuali ruang kerja Ayahnya yang berada di dalam perpustakaan ini juga yang tidak boleh dimasuki tanpa mengantongi izin dari Ayah Senan.

Meskipun Cacha pernah mengatakan hal itu bahkan sampai menggambarkan seberapa luasnya perpustakaan Ayah, ya, Raya tetap tidak mengira akan seluas ini, tapi nyatanya---wah! Benar-benar luas. Mungkin jika diibaratkan perpustakaan ini seluas kamarnya dan kamar Ayahnya apabila disatukan belum lagi desain interior dan seluruh perabotan di dalamnya yang sudah pasti berkelas.

Tepat dihadapan Raya ada rak buku yang mengapit jendela besar yang menghadap ke arah barat atau menghadap langsung ke area taman samping rumah. Taman belakang rumah Ayah Senan memang mengelilingi rumah ini sampai ke samping rumah, memang cukup luas---oh ralat---sangat luas untuk seukuran taman rumah. Kemudian di belakang jendela itu terdapat sebuah piano yang berhasil membuat Raya merasa takjub untuk yang kesekian kalinya. Raya benar-benar tidak menyangka kalau di rumah Ayahnya juga terdapat sebuah piano, kalau boleh jujur ini adalah kali pertama Raya melihat piano yang ternyata berukuran cukup besar jika dilihat dari jarak sedekat ini.

Setelah puas melihat piano itu, Raya kemudian menggulirkan bola matanya menyapu ruangan ini. Selain piano dan rak buku yang dipenuhi ratusan buku itu, ternyata masih ada rak lain yang terletak di sisi timur. Kali ini berbeda sebab yang ada di timur adalah rak kaca tertutup setinggi bahu orang dewasa yang dipenuhi oleh piala-piala penghargaan dan juga medali sementara tepat di atas rak kaca itu diisi oleh beberapa piagam penghargaan yang terpajang di dinding.

Raya melangkah mendekati rak itu, ia terlihat sangat penasaran. Di dalam rak itu ternyata bukan hanya diisi oleh piala penghargaan milik Ayah Senan tapi juga ada piala penghargaan milik anak-anak Ayah Senan, seperti Ambar yang ternyata pernah memenangkan lomba cerdas cermat tingkat Kabupaten ketika SMA, lalu Sita dan Melinda yang pernah menerima penghargaan sebagai mahasiswi berprestasi di fakultasnya dan juga Cacha yang pernah mendapatkan sertifikat sebagai bukti dan bentuk penghargaan untuk Cacha yang pernah berpartisipasi menjadi relawan tenaga pendidik anak-anak jalanan. Semuanya lengkap, sudah seperti penghargaan-penghargaan yang terpanjang di ruang kepala sekolah ataupun koridor sekolah.

Setelah puas melihat prestasi mereka, Raya kemudian berjalan ke sisi utara. Di sana terdapat sofa empuk sementara tepat satu meter di belakang sofa itu ada dinding yang diisi oleh banyak figura foto beraneka ukuran.

Raya menghentikan langkahnya tepat di belakang sofa itu. Ia mendongakkan kepalanya ke atas melihat figura foto itu yang diisi oleh banyak foto dari keluarga Ayah Senan. Contohnya seperti yang berada tepat di hadapannya, di mana di sana ada sebuah figura foto berisi foto sepasang bayi kembar yang memakai baju yang sama yang juga sama-sama berada di atas stroller. Kalau Raya tidak salah, stroller itu juga sama, baik dari segi warna maupun tipenya.

Seulas senyuman manis terpatri di wajah Raya, 'Pasti itu Ambar dan Sita... Mereka lucu banget, dulu belum ada rambutnya' batin Raya antusias sekali bisa melihat momen-momen masa kecil mereka yang terabadikan di sana. Raya sendiri tidak memiliki foto masa kecil. Entahlah, Ibu hanya bilang kalau foto saat Raya kecil hilang, kalau foto Kanaya sendiri masih ada beberapanya meskipun agak lusuh. Tidak apa, toh Ibu tetap menceritakan segala hal tentang Raya saat dia kecil. Meskipun hanya bisa dibayangkan oleh Raya sendiri, tapi bagi Raya itu sudah cukup.

COLORS (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang