Tanah becek, daun kering menjadi basah, serta angin dari barat yang bertiup cukup kuat. Menggoyangkan pepohonan yang rapuh dan menerbangkan beberapa dedaunan yang jatuh.
Naya terpaku menatap gumpalan awan hitam diatas sana. Sang mentari sudah dua hari ini hilang entah kemana. Bukan, bukan karena ini semua kiamat, ataupun cerita kehidupan yang hampir tamat. Hanya saja, ini memang cuacanya yang sedang tidak bersahabat.
Sudah satu Minggu ini hujan lebat mengguyur ibu kota. Tidak ada hangat mentari yang menemani. Mungkin mentari masih lelah dengan tugasnya. Dan kini ia melimpahkan pada awan untuk menghibur para umat manusia dengan guyuran hujannya.
Desember sudah hampir selesai dan Naya masih sama. Bertahan dalam kesakitan yang tidak kunjung usai dari tahun sebelumnya.
"Mbak?"
Naya menoleh kebelakang ketika suara lembut itu memanggilnya. Bibirnya tersenyum tipis sekali ketika mendapati sosok wanita dengan rambut pendek sebahunya.
"Hai. Gimana? Ada masalah?"
Gadis itu menggeleng pelan, lalu ikut mendudukkan dirinya tepat di samping Naya, "Semuanya baik-baik aja mbak. Aku hanya lagi cari angin dan kebetulan lihat mbak disini"
"Saya sedang menenangkan pikiran Re"
"Saya mengerti mbak"
"....."
"Bagaimana keadaan mas Dimas?"
Naya menggeleng pelan. Gadis itu kemudian bangkit dari duduknya. Berdiri membelakangi Rere dengan kedua tangannya yang memeluk tubuhnya, "Saya nggak tahu keadaan mas Dimas bagaimana"
"Maksud mbak?"
"Sudah hampir satu bulan saya nggak pernah mengunjungi dia lagi. Semenjak kejadian dimana saya melihatnya kembali dalam ambang kematian. Saya takut Re. Saya takut kalau saya harus melihat mas Dimas begitu lagi. Saya terlalu pengecut untuk menerima sekedar kabar yang tak sesuai kata hati saya"
"....."
"Tapi saya harap, dia baik-baik saja. Saya masih belum sanggup untuk menerima kenyataan kalau saya harus -- harus kehilangan dia Re"
"Mbak sudah berperan besar dalam kehidupan mas Dimas. Mbak sudah cukup berjuang dalam satu tahun ini. Mbak adalah wanita kuat yang pernah saya temui"
"Saya tidak sekuat itu Re. Kamu nggak akan pernah tahu bagaimana ketakutan saya setiap hari jika mendapatkan kabar dari rumah sakit perihal kondisi mas Dimas"
"Semuanya akan baik-baik saja mbak. Mbak nggak akan selamanya sakit sendirian. Mbak pasti sembuh"
Ddrrrt
DdrrrtRere menjeda kalimatnya. Ia menggeser cepat panggilan masuk pada ponselnya itu. Nama Damar cukup membuat keningnya berkerut heran. Pasalnya laki-laki minim ekspresi itu tak pernah menelfonnya sekalipun jika bukan karena pekerjaan disini.
"Halo mas?"
"....."
"Iya kenapa? Rere kebetulan dengan mbak Naya?"
Merasa namanya ikut andil dalam pembicaraan Rere dibelakang nya, Naya menoleh. Ia menatap Rere yang masih bertelfon entah dengan siapa. Gadis itu juga menatap dirinya.
"I-iya mas. Rere akan bilang ke mbak Nay"
Dan panggilan terputus. Rere kembali menyimpan ponsel dalam sakunya. Gadis itu menatap Kanaya dengan pandangan yang sulit di artikan. Bahkan Naya sampai menaikkan kedua alisnya untuk menunggu kalimat Rere yang hendak keluar.
"Mb-mbak ..."
"Ada apa Re? Siapa yang telfon?"
"Mas damar mbak. Dia bilang ka-kalau mas Dimas ... Mas Dimas kembali kritis. Dia mengalami gagal jantung lagi"
KAMU SEDANG MEMBACA
I LOVE YOU TETANGGA (END)
RomansWiting Tresno Jalaran Soko Kulino. Bagi Kanaya Adijaya, pepatah Jawa yang satu itu masih menjadi tanda tanya besar pada hatinya. Witing = Permulaan Tresno = Cinta Jalaran = Karena Soko = Dari Kulino = Terbiasa Pepatah yang artinya "Cinta tumbuh k...