032. Palsu

155 25 0
                                    

"Ekspektasi memang tak seindah realita. Berharap dia akan selalu ada, nyatanya dia ada maunya."

~FEARFUL~

•••

Siswa kelas X Ipa 3 berbaris rapi di pinggir lapangan sesuai arahan dari guru. Para siswa sudah berganti pakaian dari seragam ke baju olahraga. Perhatian mereka teralihakan saat seorang siswa perempuan baru bergabung ke dalam barisan. Semua pandangan langsung tertuju padanya.

"Heh, ke sini kamu! Dari mana saja? Kenapa bisa terlambat?" Guru olahraga memanggil siswa itu maju ke depan.

Ia maju sambil menunduk ketakutan. Tak berani membalas pandagan tajam gurunya.

"Siapa nama kamu?" tanyanya saat tidak mendapat jawaban dari siswanya.

"A-allea, Pak."

"Kenapa terlambat, Allea?" tanya guru mengulang pertanyaan.

"Saya kebagian menggunakan ruang ganti paling akhir, Pak," jawabnya pelan.

Kening guru olahraga mengerut, "Bukannya ruang ganti bisa digunakan sekitar lima orang. Di kelas kamu ada sepuluh puluh siswa perempuan. Kenapa bisa hanya kamu yang terlambat saat yang lainnya sudah selesai semua?"

Allea semakin menundukan kepala. Tak berani mengatakan jika ia tidak punya teman dan terkucilkan. Siswa perempuan di kelasnya dibagi dua kelompok untuk menggunakan ruang ganti. Kelompok pertama diisi para siswa dominan seperti Via dan gengnya. Allea tidak berani bergabung dengan mereka, karena takut akan disindir atau diejek. Kelompok kedua kebanyakan diisi siswa netral. Biasanya Allea bersama Riska dan Caca ikut kelompok ini. Namun, hari ini Allea tidak ikut, karena teringat perkataan Riska yang benci melihatnya. Makanya ia memilih ke ruang ganti sendiri setelah semua selesai berganti pakaian.

"Allea!"

"M-maaf, Pak," jawab gadis itu dengan suara bergetar.

"Hah, yasudah lah! Lain kali jangan terlambat lagi."

Ia kembali ke barisan paling akhir. Allea menyempatkan diri melirik Riska dan Caca. Caca memandangnya dengan tatapan iba, sedangkan Riska membuang muka tak peduli.

"Baiklah, anak-anak! Hari ini materi kita adalah futsal."

Sorakan gembira terdengar dari barisan laki-laki. Sedangkan sahutan kecewa terdengar dari barisan perempuan.

Setelah guru olahraga memberikan penjelasan dan tata cara bermain futsal, ia membagi siswa laki-laki menjadi dua tim dan begitu pula dengan siswa perempuan. Pertandingan dimulai oleh siswa laki-laki. Mereka semua nampak mahir menggiring bola. Setelah selesai di lanjut oleh tim perempuan.

"Allea, kita satu tim," ucap Caca sambil mengajak Allea memasuki lapangan saat pertandingan mereka akan dimulai.

Senyum terbit di bibir gadis itu, saat tahu Caca masih ramah seperti biasanya. Namun, senyum itu surut saat melihat di tim lawan ada Riska yang menatapnya sinis. Allea menelan ludah, takut melihat kebencian di matanya yang seakan membara.

Saat peluit berbunyi, kedua tim langsung saling berebut bola. Seperti kebanyakan perempuan lainnya yang tak bisa main bola, mereka malah saling berkumpul di satu tempat mengerubungi bola. Seperti anak ayam yang sedang diberi makan.

Bola berhasil direbut Allea dari kaki lawan, ia menggiringnya menuju gawang lawan. Di depannya ada Riska yang siap menghadang. Allea berhenti, lalu mengedarkan pandangan mencari posisi teman setimnya untuk dioper.

"AHKK!!"

Suara kesakitan terdengar saat lutut Allea menyentuh lapangan yang terbuat dari beton. Darah segar mengalir dari kedua lututnya.

"Oh, sorry! Ga sengaja!" Riska memasang ekspresi iba ketika melihat Allea terduduk di lantai saat ia berhasil merebut bola dari kaki gadis itu.

Allea mendongak menatap Riska sambil meringis menahan perih di lututnya. Gadis yang berdiri di depannya tak niat membantu, malah sepertinya sengaja menekel kaki Allea sampai jatuh. Caca ingin membantu, tapi tertahan saat Riska meliriknya tak suka. Orang-orang di sekitar pun hanya menatap tidak peduli.

Jadi selama ini pertemanan yang ditawarkannya itu palsu?

Allea tak pernah meminta Riska menjadi temannya. Gadis itulah yang mendekatinya dan seakan ingin menjadi temannya.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya guru olahraga.

Ia hanya diam menunduk menatap lukanya.

Raka dan Riko berlari mendekati Allea saat baru menyadari gadis itu jatuh. Mereka tidak terlalu memperhatikan siswa perempuan yang sedang bertanding karena sibuk mengobrol.

"Kenapa bisa jatuh?" tanya Raka khawatir sambil berjongkok di sampingnya.

Riko melirik sekilas Riska yang hanya berdiri saja, lalu ikut berjongkok. "Berdarah-darah gini, kenapa diliatin aja. Ayo, ke UKS!"

Riko berniat menggendong Allea, tapi ditolak oleh gadis itu. Tak ingin Riska semakin membencinya karena perhatian pemuda itu.

"Gue bisa jalan sendiri!"

"Kaki lo par—"

"Please!" mohon Allea agar mereka mengerti tanpa dijelaskan.

Tanpa banyak bicara lagi, keduanya membantu Allea berdiri dan memeganginya saat berjalan menuju UKS.

***

Di ranjang UKS, Allea berbaring menutup mata sambil menahan perih di lutut. Seseorang di samping berdiri sambil mengelus lengannya lembut. Sesekali meniup luka gadis itu.

"Sabar, ya, Raka lagi nyari petugas PMR," ucapnya karena mereka tidak mengetahui letak kotak P3K.

Allea membuka mata, menatap langit-langit ruangan sejenak, lalu menatap kesal pemuda di sampingnya. Cukup lama ia memandangnya, kemudian melayangkan cubitan keras ke perutnya. Membuat si empunya meringis kesakitan.

"Sakit, Lea! Emang gue salah apa?" ucapnya sambil mengelus perut yang panas.

"Lo nyebelin!"

Gadis itu membuang muka ke sembarang arah. Mengabaikan Riko yang masih memegangi perutnya.

"Kenapa?" tanya Riko berusaha menarik atensinya.

Allea masih mengabaikannya. Ia diam memandang lurus ke depan, hingga setetes air mata lolos dari matanya. Ia menangis bukan karena luka kakinya, tapi sesak yang dirasa karena perlakuan buruk Riska padanya. Padahal Allea pernah berangan-angan mungkin suatu saat ia dan Riska akan bersahabat.

Pandangan Allea kembali ke pemuda di sampingnya. Ia merubah posisi jadi duduk lalu melayangkan pukulan berulang kali padanya.

"Aduhh, sakit, Lea."

Pemuda itu menahan pukulan Allea dengan kedua tangannya. "Lo kerasukan setan apa, sih?"

"Lo mutusin Riska dan itu berdampak sama gue. Seenggaknya lo pacaran lebih lama, kek. Sebulan atau setahun."

"Gue gak mau dia terlalu berharap sama gue!"

Allea menghentikan aksi memukulnya sambil menghela nafas panjang. Ia tidak marah pada Riko, hanya sedikit kesal dengan kelakuan pemuda itu. Apa yang ditakutkannya saat mereka pertama pacaran, akhirnya terjadi. Riska menjauhinya, bahkan membencinya.

"Kalo gak mau dia berharap, seharusnya jangan dipacarin!"

Riko mengelus tangannya yang ngilu karena dipukuli Allea. "Dia yang nembak gue! Ga tega gue nolak karena Riska teman dekat lo."

Kebekuan menguasai gadis itu. Berpikir apakah selama ini Riska baik padanya karena memiliki motif tersembunyi, yaitu berpacaran denga Riko.

"Riska marah sama lo karena gue mutusin dia?"

Allea diam mendengar pertanyaannya.

"Biar gue tegur dia."

"Eh, ga perlu!" Allea menahan Riko saat akan pergi.









FEARFUL (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang