"Kadang orang terdekat lah yang menyakiti kita lebih dari orang lain."
~FEARFUL~
•••
Motor ninja milik Riko berhenti tepat di depan gerbang rumah Allea. Setelah gadis itu turun dari motor, pemuda itu mematikan mesin kendaraannya.
"Makasih, tumpangannya."
Riko membuka kaca helm yang digunakannya. "Gue ga ditawarin masuk?"
"Gak usah! Langsung pulang aja," tolak Allea tidak mau Riko mampir ke rumahnya karena setelah berganti pakaian ia akan langsung ke kafe untuk bekerja.
"Dih, tega amat! Gue haus mau minum," keluhnya sambil memegangi leher.
"Gue sibuk, ada urusan!"
"Alasan. Bilang aja gak suka gue mampir. Cukup tau, kok, gue belum diakui sebagai sahabat lo.
Allea menghela nafas. "Bukan gitu, Riko."
Riko memanyunkan bibirnya di balik helm yang menutupi wajahnya. "Gue tau posisi gue ga sespesial Raka atau Jeff. Makanya lo kayak ogah banget gue mampir."
Tangan Allea memukul pelan helm pemuda itu, "Udah, sana pulang! Ga usah drama."
Riko memberenggut kesal karena diusir paksa. Ia menjalankan motornya dengan perasaan jengkel. Allea sebenarnya merasa bersalah mengusirnya. Padahal pemuda itu telah mengantar dirinya pulang. Namun, tidak ada pilihan lain selain menyuruhnya pergi secepatnya.
Pintu gerbang ia buka setelah motor Riko sudah tak terlihat oleh pandangannya. Keningnya mengerut bingung saat melihat banyak kendaraan terparkir di halaman rumahnya.
Ketika pintu rumah terbuka, suara ribut terdengar dari dalam. Allea berjalan menuju ruang keluarga yang ramai oleh orang-orang.
"Kak Lea sudah datang!" teriakan Jevan terdengar saat melihat kakaknya.
Gadis itu tersenyum lebar melihat adiknya yang tengah sibuk bermain mobil-mobilan dengan beberapa keponakannya yang masih kecil.
Oma Sarah berdiri menyambut kedatangan cucunya. Ia merangkul dan mengajaknya duduk bersama di sofa. Di mana paman dan bibinya berkumpul. Allea kebingungan melihat banyak orang di rumahnya. Di dapur pun terdengar ramai orang.
"Mulai hari ini, Oma akan tinggal sama kamu dan Jevan di rumah ini. Kalau tinggal di rumah Oma, kamu pasti kesulitan beradaptasi, kan?" tanya wanita tua itu.
"Iya, Oma." Senyumnya terbit karena ternyata neneknya mengerti dirinya meski mereka tidak dekat.
"Jangan sampai nyusahin Oma kamu. Rajin bantu-bantu beberes, jangan cuman mendekam di dalam kamar," nasehat Jamilah ketus pada ponakannya.
Allea hanya meliriknya sekilas. Terlalu malas menanggapi ocehan tante-tante rempong itu.
"Sana ke dapur bantuin sepupu-sepupumu bikin kue!" perintah paman Allea yang merupakan kakak dari ayahnya.
"Aku harus pergi kerja, Om," beritahunya sesopan mungkin.
"Kerja apa kamu?"
Allea diam, tisak berani memberitahu. Keluarga Ayahnya berasal dari kalangan berada. Takut jika mendapat cemooh saat mereka tahu pekerjaannya.
"Lea kerja di cafe salah satu kenalan Oma," jelas Oma Sarah membantu memberitahu.
"Jadi pelayan??" tebak Jamilah terdengar meremehkan.
Anggukan Allea berhasil membuat alis tebal Jamilah menukik tajam.
"Malu-maluin keluarga besar kamu! Apa kata orang kalau tahu salah satu keturunan keluarga ini ada yang jadi pelayan cafe." Anna yang merupakan adik ayahnya, ikut bersuara.
Ayah Allea enam bersaudara. Beliau anak kedua, satu kakak laki-laki dan empat adik perempuan. Mereka memiliki pekerjaan yang mentereng, seperti polisi, dokter dan pengusaha.
"Gak kamu, gak ibumu, sama-sama aib keluarga. Heran aku sama almarhum ayahmu yang mau saja nikah sama ibu kamu yang hanya tamatan SMA," sindir Jamilah mengungkap masalah lalu.
Mata Allea memanas menahan sesak dan kekesalannya. Ia ingin membalas ucapan mereka, tapi mereka adalah orang tua yang harus tetap dihormatinya. Tidak akan ada ujungnya jika melawan.
"Biarkan Allea bekerja senyamannya. Dia ingin hidup mandiri dan tidak hanya bergantung pada uang peninggalan orang tuanya," ucap Oma membela cucunya.
"Sebaiknya dia berhenti bekerja saja!"
"Sudah! Kalian jangan bicara sembarangan!" tegur Oma pada anak-anaknya. "Lea, sana ganti seragam kamu terus pergi kerja."
Ia mengangguk lalu meninggalkan ruang keluarga yang terasa menyesakkan baginya.
"Eh, lain kali kalau ada acara kumpul keluarga, ga ada alasan kerja atau apalah. Kamu harus ikut bantu-bantu masak, karena mulai hari ini acara keluarga diadakan di rumah ini!" ucap Jamilah sebelum Allea pergi.
Allea segera menuju kamar setelah bibinya berbicara.
Keluarga besar ayahnya memang selalu mengadakan kumpul keluarga satu atau dua bulan sekali.
"Keluarga besar yang merepotkan," pikir Allea.
***
Setelah memarkirkan motornya, Allea berlari memasuki cafe karena sudah sangat terlambat. Ia segera menuju loker untuk mengambil seragam. Setelah selesai mengenakannya, Allea menuju tempat pelayanan pelanggan.
Gadis itu bertemu pemilik kafe yang sedang berbincang dengan pemuda yang mengenakan seragam sama dengan Allea.
"Allea, kamu baru datang?"
"Maaf, Bu Arumi! Aku datang terlambat."
Wanita itu tersenyum maklum. "Ga apa-apa, kok. Ada Nando yang gantiin kamu."
Diliriknya pemuda itu, tapi Nando malah membuang muka dan pergi meninggalkannya. Sepertinya marah karena kejadian tadi.
"Saya ke dalam dulu!" pamit Arumi pada karyawannya.
Setelah kepergian pemilik kafe, Allea segera melayani pelanggan yang baru datang. Ia mencatat pesanan dan Nando yang akan membawakan pesanan pelanggan yang sudah jadi.
Keduanya beberapa kali berpapasan, tapi Nando hanya melaluinya. Tidak seperti biasanya yang selalu tersenyum dan ramah pada Allea meski sesibuk apapun mereka saat bekerja.
Sebenarnya ia ingin meminta maaf Sola kejadian tadi, tapi karena sifatnya yang pemalu, membuatnya tidak berani bertanya atau menyapa Nando lebih dulu. Ia malah ikut diam dan tidak memperdulikan keberadaannya. Keduanya malah terlihat seakan tidak saling kenal.
"Allea, tolong bawa ini!" Pemilik cafe menyerahkan empat bungkusan plastik kresek. "Ini pesanan online pelanggan, tapi kurirnya ada kendala di jalan. Bisa tolong kamu antar ini bareng Nando!?"
Nando mendekat saat mendengar namanya disebut. Ia mengambil alih semuah kantongan yang dipegang oleh Allea.
"Biar aku saja yang antar sendiri, Bun." Nando berlalu pergi keluar dari kafe dan tetap tidak memperdulikan gadis itu.
Ia menatap kepergian Nando dengan tatapan kebingungan. "Bun? Bunda??" tanya Allea memastikannya pada diri sendiri.
Arumi yang mendengar itu terkekeh pelan, "memang kenapa? Kamu gak tau kalau Nando anak tante?"
Allea mengangguk dengan bibir yang sedikit menganga karena tidak menyangka.
"Nando itu anak semata wayang tante. Dia di sini cuma bantu-bantu kalau lagi enggak ada urusan."
Fakta itu membuat Allea paham tentang pertemuan pertama mereka di cafe ini. Saat Nando yang mengaku bekerja di tempat ini, tapi bukannya melayani pelanggan malah dengan santainya duduk dan memainkan laptopnya.
"Kayaknya Nando ada masalah di sekolah." Curhat Arumi melihat kejanggalan pada anaknya. "Pulang sekolah tadi dia kelihatan cemberut."
"Mungkin kecapean," timpal Allea pelan.
"Kayaknya enggak, deh. Nando, itu anaknya ceria dan jarang menunjukan masalahnya. Tante jadi khawatir."
Allea jadi ikut penasaran karenanya. Apa mungkin Nando marah karena ia meninggalkannya sendiri di taman atau ada masalah lain?
KAMU SEDANG MEMBACA
FEARFUL (Revisi)
Novela JuvenilAlleana Zanara dengan segala permasalahan sosialnya. Si gadis introvert, pendiam, dan anti sosial. Perpaduan sempurna yang membuatnya tidak bisa bergaul. Beruntungnya ia masih memiliki sahabat. Sebagai orang yang sulit bersosialisasi, kehidupan Alle...