030. Sahabat

169 26 0
                                    

"Sahabat adalah dia yang jadi support system dan selalu ada baik suka maupun duka."

~FEARFUL~

•••

Kedatangan tiga pemuda disambut ramah oleh seorang wanita tua. Ia menuntun mereka menuju lantai atas, ke kamar gadis yang sudah beberapa hari mengurung diri di dalam sana.

"Oma nggak tau dia ada masalah apa. Soalnya anak itu gak mau cerita kalau ditanya." Oma Sarah mengutarakan kekhawatirannya.

"Mungkin dia butuh waktu sendiri, Oma," ucap Raka berusaha menenangkan.

Gurat kesedihan nampak di wajah keriput wanita tua itu. "Masalahnya dia berdiam diri sudah hampir seminggu. Setiap pulang sekolah dia tidak keluar lagi setelahnya."

Perbincangan mereka berhenti di depan pintu kamar gadis itu. Oma Sarah meninggalkan mereka, izin ke dapur untuk memasak.

"Gue mau kita berbaikan hari ini juga. Allea butuh support system," ucap Raka pada dua orang di dekatnya.

Ia mengetuk pintu kamar bercat pink yang tertutup rapat. Beberapa saat menunggu, pintu belum juga terbuka. Raka mengeraskan ketukannya. Baru saat itu pintu terbuka, menampakan seorang gadis yang begitu berantakan. Mata sembab beserta kantung mata yang kentara, rambutnya mencuat kemana-mana karena diikat asal, dan baju tidurnya yang acak-acakan. Tampak sangat menyedihkan.

"Lea, kami ingin meminta maaf." Raka mewakili yang lain. "Maaf karena mengabaikan lo beberapa hari ini."

Kepala Allea menunduk, menatap nanar lantai marmer kamarnya. "Harusnya gue yang minta maaf, tapi gue terlalu pengecut untuk ngakuin kesalahan lebih dulu. Gue ga pantas jadi sahabat kalian!"

Gadis itu langsung menutup pintu, tapi tertahan saat Jeff maju dan memaksa membuka pintu itu lebar. Menatap lurus gadis keras kepala di depannya.

"Mau sampai kapan lo begini?" bentak Jeff kesal.

Pandangan gadis itu kembali beralih ke lantai, tidak berani melihat ketiganya. "Mending kalian pergi saja dari sini."

"Dengan lo menghindar dan menjauh dari semua orang, emang masalah lo akan selesai?"

"Gue cuman mau nenangin diri."

"Kami udah ngasih lo kesempatan hampir seminggu. Emang lo mau begini terus? Jangan kekanak-kanakan Lea."

"Bodoh amat! Gue pusing, capek, stress, dan mau gila rasanya."

Allea memegangi kepalanya yang terasa ingin meledak, sambil menjambak rambutnya untuk mengurangi rasa pusing karena memikirkan segala permasalahannya. Kemudian memukul kepalanya sendiri berulang kali, kebiasaan yang selalu dilakukannya saat kesal pada diri sendiri.

Raka menahan tangannya. "Jangan nyakitin diri sendiri, Lea!"

Tak mendengar, Allea masih berusaha memukul kepalanya membabi buta dengan tangannya yang satu. Hingga akhirnya Jeff merengkuh tubuhnya, memeluknya erat. Membuat Allea diam membeku.

"Maaf karena sudah menampar lo. Gue menyesal." Jeff berbisik pelan padanya. "Lo nyakitin gue kalau begini, Lea."

"Maaf," balas gadis itu pelan. "Semuanya salah gue."

Tentang kepergian orang tuanya, tentang masalahnya dengan ketiga sahabatnya, tentang Nando yang hilang tanpa kabar, tentang uang yang diambil bibinya, dan tentang dirinya sendiri. Allea merasa itu semua kesalahannya.

"Ga ada yang salah, semuanya karena keadaan." Raka mendekat dan mengelus punggungnya. "Jangan membebankan semua masalah pada diri sendiri."

"Makasih." Allea melepas pelukan Jeff. "Perasaan gue mulai membaik."

Di liriknya pemuda yang sejak tadi diam di belakang.

"Maaf, Riko."

"Maafin gue juga, Lea."

***

Tiga anak laki-laki sedang bermain bersama sambil makan ice cream di taman komplek perumahan tempat mereka tinggal, saat suara tangisan anak perempuan menarik perhatian mereka.

Di pinggir taman, seorang gadis berjongkok sambil menutupi wajahnya dengan telapak tangan.

Ketiganya mendekat penasaran, berdiri mengelilinginya.

"Dasar cengeng! Ga malu nangis diliatin banyak orang?" Anak dengan tubuh berisi menunjuknya dengan tawa mengejek.

Gadis itu mendongak menatap mereka bergantian dengan mata berair.

"Kamu kenapa?" tanya anak bertubuh kurus, berjongkok di sampingnya.

Gadis itu berhenti menangis, menelan ludah melirik ice cream milik ketiga anak itu.

Anak yang bertubuh gemuk segera menyembunyikan ice cream miliknya di belakang tubuh saat menyadari tatapannya. Sedangkan dua anak lainnya saling tatap sejenak.

"Mau?" tawar anak paling tinggi diantara mereka sambil menyodorkan makanannya dan ikut jongkok.

"Ambil aja punyaku!" Anak kurus tadi ikut menawarkan ice cream-nya.

"Eh, ini ambil punyaku aja." Si gendut tak mau kalah dari dua temannya.

Gadis itu menatap kebingungan tiga tangan yang terarah padanya. Ia segan menerimanya, tapi ice cream adalah hal paling sulit ditolaknya. Dengan malu-malu tapi malu-maluin, langsung mengambil semuanya dan mengucapkan terima kasih tanpa suara.

Ketiga anak itu memperhatikannya saat mulai menjilati ice cream pemberian mereka satu-persatu. Membuat pipi si gadis memerah menahan salah tingkah. Ia tidak lagi menjilatnya, melainkan menggigitnya dengan ukuran besar agar cepat habis. Pipinya sampai mengembung karena kepenuhan.

"Santai aja makannya, ga akan aku minta balik, kok." Anak laki-laki kurus itu tertawa geli melihatnya. Dua lainnya ikut tertawa karena kerakusannya.

Tidak butuh waktu lama sampai tiga ice creamnya habis ia santap. Bibirnya sampai belepotan dengan sisa-sisa makanan disertai bekas air mata di pipinya yang belum kering. Dengan cepat gadis itu menyeka wajahnya dengan ujung baju saat mereka bertiga semakin menertawakan wajah cemongnya.

"Kamu kenapa nangis tadi?" tanya anak kurus yang tampak paling ramah.

"Aku ... lupa jalan ke rumahku," ucapnya dengan suara sangat pelan.

"Kamu tersesat?" tanya anak paling tinggi.

Gadis itu hanya mengangguk.

"Kamu baru tinggal di daerah sini?"

Ia kembali mengangguk.

"Mau aku bantuin cari rumah kamu?" tawar anak kurus itu.

Anggukan pelan gadis itu, membuat si anak tersenyum lebar. Ia menarik lengan gadis di depannya dan membantunya berdiri, lalu menuntunnya mengikuti langkahnya.

"Ikut!" teriak yang lainnya.

Mereka berempat menjelajahi kompleks perumahan itu untuk mencari keberadaan rumah si gadis. Mereka begitu bersenang-senang. Kadang saling menjahili dan berlarian di jalanan. Hingga mereka menemukan rumah tingkat dua dengan pagar pendek.

"Itu rumahku!" soraknya bahagia.

"Wah, dekat sama rumahku." Mata anak kurus itu berbinar senang.

"Lebih dekat dengan rumahku," timpal anak tinggi sambil menunjuk rumahnya yang tepat berada di sampingnya.

"Is, kok, ga dekat sama rumahku aja," gerutu si gendut. "Nanti aku suruh mama pindahin rumah ke sini."

Setelah sedikit perdebatan, mereka akhirnya berpisah di depan rumah gadis itu.

Pertemuan yang menjadi awal pertemanan mereka. Gadis itu bertemu dua diantaranya setelah masuk SMP. Takdir membawa mereka di sekolah dan kelas yang sama. Namun, selama SMP gadis itu tak pernah lagi melihat anak gendut yang pernah mengejeknya.












FEARFUL (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang