041. Egois

169 20 1
                                    

"Katanya orang datang dan pergi, tapi kenapa lebih banyak yang pergi darinya dari pada yang datang."

~FEARFUL~

•••

Teruntuk gadis yang telah mengisi hatiku.

Kamu ...

Yang lebih banyak diam.

Yang jarang terlihat.

Yang membuat hatiku berdesir saat melihatmu.

Kamu, Alleana Zanara.

Tahukah hal yang paling kusyukuri?

Yaitu, mengenal dirimu.

Tatapan kosong yang selalu kamu tampakkan, senyum yang terbit di waktu-waktu tertentu, pandangan yang lebih sering kamu tundukkan, gerak-gerik tak nyaman yang kamu perlihatkan, dan hal-hal kecil itu yang malah berhasil membuat hatiku jungkir balik.

Hatiku berlabuh pada gadis pendiam yang berhasil menarik perhatianku dengan sikapnya. Diammu, malah menarik atensiku.

Meski pertemuan kita begitu singkat, aku sangat bahagia bisa mengenalmu.

Maaf karena membuatmu khawatir.
Maaf karena telah menyakitimu.
Maaf karena tak sempat mengucapkan salam perpisahan.

Maaf beribu maaf, jika aku tak bisa mengatakannya secara langsung.

Maukah kamu memaafkanku?

Saat membaca surat ini, berarti aku sudah pergi jauh. Jangan khawatirkan aku lagi, aku sudah baik-baik saja.

Bisakah kamu mengikhlaskan kepergianku?

Jangan terpuruk, jalani hidup dengan baik. Oke?

Lihatlah sekelilingmu!

Banyak orang yang menyanyangimu. Jangan selalu merasa sendirian dan menyiksa diri dengan terus berdiam diri.

Salam dariku,

Nando AlHadi Farendra, orang yang sangat mencintaimu.

Selamat tinggal.

***

Air mata mengalir dari pelupuk mata Allea membasahi bantal yang digunakannya. Setelah membaca surat itu, perasaan sesak di dada semakin menumpuk. Rasa sesalnya pada diri sendiri semakin besar.

Bisakah ia mengikhlaskan kepergian pemuda yang dicintainya?

***

Kakinya terus melangkah menuju kelas, tanpa memperdulikan orang-orang yang dilaluinya. Pandangan lurus ke depan dan helaan nafas yang kadang terdengar. Kedatangannya di kelas disambut tatapan berbeda-beda oleh penghuni kelas. Ia mengalihkan pandangan dan bersikap seakan tidak terjadi apa-apa.

"Allea."

Saat melewati bangku Caca, gadis itu menahannya.

Allea berusaha mengontrol ekspresinya dengan menaikan salah satu alis, seakan bertanya "Kenapa?"

Caca menggaruk tengkuk yang tak gatal. "Lo gak apa-apa?"

Keningnya ia kerutkan seakan tak tahu menahu arah pembicaraannya. Padahal mata sembabnya tak bisa menyembunyikan kesedihannya.

"Lo kenapa pergi dari ...." Caca menjeda kalimatnya saat Allea menajamkan pandangan, tampak tidak suka dengan apa yang akan diucapkannya. "Gak jadi, deh! Takut gue liat lo natap gue gitu."

Allea berlalu menuju bangku belakang. Berusaha terlihat kuat dan baik-baik saja. Saat duduk di kursinya, ia melemparkan senyum tipis pada Susan, sebagai bentuk sapaan. Kemudian melipat tangan di meja dan meletakan kepala di atasnya. Rutinitas yang selalu dilakukannya.

"Lo jadi hot topik di sekolah ini," bisik Susan. "Bahkan foto lo pakai dress putih ke pemakaman, viral di media sosial. Banyak yang bilang lo caper, tapi ada juga yang bela lo, bilang mungkin lo ga tau," lanjutnya menggebu-gebu.

Hanya decakan kasar yang terdengar. Allea tak mau peduli lagi. Biarkan mereka berbicara apapun tentangnya. Ia lelah dengan ekpektasi orang-orang padanya.

Waktu seakan berlalu begitu cepat. Ketika siswa kelasnya mulai menghambur keluar dari kelas, baru Allea menyadari jam istirahat telah tiba. Teman sebangkunya pun sudah pergi entah kemana. Raganya di sini, tapi pikirannya entah kemana.

"Allea, gue mau ngobrol bentar."

Entah sejak kapan Anisa sudah berada di dekat tempat duduknya. Karena melamun, dirinya tidak menyadari kedatangan kakak kelasnya itu.

"Apa?"

Anisa mengedarkan pandangan ke ruangan kelas yang masih ramai. "Kita bicara di luar."

Meski malas berurusan dengan orang lain, Allea terpaksa mengiyakannya. Bangkit mengikuti Anisa yang berjalan menuju lorong di ujung kelas yang lumayan sepi. Mereka bisa bicara serius tanpa gangguan orang lain.

Keduanya berdiri saling berhadapan. Anisa melipat tangan di depan dada dan memasang ekspresi tegas. Sedangkan Allea meremas jari-jarinya yang saling bertautan, gugup dan canggung berhadapan dengan gadis di depannya.

"Lo egois!" Anisa menarik nafas kesal sejenak. "Meski ga suka sama lo, gue tetap nelpon lo untuk memberitahu keadaan Nando. Gue maksain diri untuk ga memperlihatkan ketidaksukaan gue. Tapi ...."

Nafas Anisa memburu, membuatnya menjeda kalimatnya. Berusaha menahan kekesalan yang sudah di ujung tanduk.

"Sebelum Nando pergi, dia nelponin lo semalaman. Mau minta maaf karena sempat kesal sama lo masalah donor ginjal. Dia khawatir dan merasa bersalah. Bahkan maksa mau ke rumah lo. Gue sampai pusing sendiri maksa Nando istirahat, karena kondisinya tidak stabil. Sebab mikirin lo, dia ga bisa tenang. Saat tengah malam, kondisinya tiba-tiba kritis dan dia ...."

Allea menunduk sedih. "Jangan bilang Kak Nando kritis karena aku?" tanyanya meminta kepastian.

"Sejak awak kondisi Nando memang sudah parah, tapi ... lo ga tau diri Allea!" teriak Anisa emosi.

Anisa menatapnya seakan ingin menerkam dirinya. Kedua tangannya mengepal erat, berusaha menahan amarah.

"Nando sangat mencintai lo. Saat dia membutuhkan kehadiran lo di detik-detik kepergiannya, lo malah ngga ada dan bisa-bisanya lo pergi saat hari pemakamannya tanpa melihat dia untuk terakhir kalinya. Gimana perasaan Nando andai dia tahu itu?"

Air mata Anisa mengalir di pipinya. Allea tentu kehilangan Nando, tapi Anisa lebih dari sekedar kehilangan. Ia hancur sehancurnya-hancurnya. Sejak kecil mereka bersahabat dan selalu bersama.

Tangan Anisa mencengkram bahu gadis di depannya. "Gue iri sama lo, Allea. Bertahun-tahun gue menyimpan perasaan padanya, tapi sedikit pun Nando tak menganggap gue lebih dari sahabat. Tapi, lo ... dengan mudah membuatnya jatuh hati di pertemuan pertama."

"Kak ... aku ...." Allea tak tahu harus mengatakan apa.

Tangisan Anisa semakin kencang, membuat Allea mengelus lengannya. Berusaha memberi kekuatan lewat sentuhan. Meski bahunya cukup perih karena cengkraman Anisa.

"Kenapa harus lo yang dia suka, kenapa bukan gue aja?" ringis Anisa lalu memukul-mukul pelan bahu Allea.

"Aku memang tidak pantas di cintai Kak Nando. Aku egois dan hanya memikirkan diri sendiri. Tapi, perasaan seseorang tidak bisa di paksa-"

Kalimat Allea tertahan saat Anisa mendorongnya menjauh darinya.

Senyum ketus terbit di bibir gadis itu. "Lo mau merendah untuk meroket? Hah! Najis!"

"Bukan gitu, Kak!"

"Lo emang cewek munafik dan paling ga tau diri yang gue kenal."

Anisa pergi meninggalkan Allea.

Gadis itu hanya memandangi kepergiannya. Ia mengerti kesedihan yang dirasakan kakak kelasnya itu. Kehilangan sahabat satu-satunya dan cintanya yang bertepuk sebelah tangan.

Rasa Kehilangan Allea tidak ada apa-apanya dibanding Anisa.











FEARFUL (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang