025. Ghosting

185 21 0
                                    

"Rasa takut akan kehilangan membuatku bertingkah berlebihan, padahal memilikimu saja tidak."

~FEARFUL~

•••

Nando seakan hilang ditelan bumi. Biasanya Allea sering berpapasan atau melihatnya di kantin, lapangan ataupun parkiran. Entah pemuda itu sengaja menghindarinya atau dia memang tak datang ke sekolah.

Ingin tak peduli, tapi hati dan otaknya berkata lain. Bayang-bayang pemuda itu selalu muncul di benaknya. Bahkan ia membuang gengsi dan rasa malunya dengan mengirim pesan pada Nando, tapi berhari-hari belum juga dibalas.

"Padahal aku mau jujur padanya," ucapnya pada diri sendiri.

Seperti biasa, Allea tidur di bangkunya. Hanya ada ia di kelas karena siswa lain memilih mengisi perut di kantin.

Allea menegakkan punggung saat sebuah ide muncul di otaknya. Setelah memikirkannya cukup lama, ia melangkah keluar kelas menuju kelas sebelas. Keluar dari zona nyamannya, Allea memilih untuk lebih berani.

Ketika sampai di depan kelas 11 Ips 1, gadis itu menarik nafas sedalam-dalamnya untuk menetralkan rasa takut dan gugupnya. Ia mengintip ke dalam kelas lalu mengedarkan pandangan mencari keberadaan Nando. Sayangnya pemuda itu tak terlihat di dalam kelas.

"Ngapain lo??"

Terdengar suara dari belakangnya, membuat Allea berbalik dan menemukan Anisa yang menatap sinis padanya.

"Lo cari Nando?" tebak Anisa saat Allea hanya diam. "Padahal gue udah bilang jauhi dia. Dasar ga tau malu!"

Anisa langsung masuk kelas setelah mengucapkan kalimat itu. Meninggalkan Allea yang menghela nafas lega karena sempat ketakutan melihatnya.

Ia terdiam di depan kelas, membuat seorang siswa perempuan menyapanya ramah.

"Cari siapa, dek?"

"Ee ..." Allea kikuk dibuatnya. "Kak Nando ..."

"Nando sudah lama nggak masuk sekolah. Aku gak tahu alasannya absen, tapi orang tuanya sudah minta izin sama pihak sekolah," jelasnya tanpa diminta.

Allea mengangguk mengerti. "Makasih, Kak."

"Kalau mau tau, mungkin kamu bisa ke rumahnya," usul orang tersebut.

Tak pernah memikirkan untuk melakukannya, tapi rasa penasaran membangkitkan keberaniannya.

"Kakak tau alamat rumahnya?"

***

Pandangan Allea mengarah keluar jendela mobil. Duduk dengan gelisah di kursi penumpang sebuah taksi. Hal paling gila yang pernah ia lakukan selama hidupnya. Sepulang sekolah langsung berlari keluar sekolah mencari tumpangan. Entah apa yang merasukinya sehingga nekat seperti ini.

"Mau kemana neng?" tanya supir taksi.

Allea menunjukan alamat rumah yang ditulisnya di catatan.

Dengan bermodal keberanian, ia akan mengunjungi kediaman Nando. Sebenarnya, selain karena pemuda itu, Allea juga akan menemui Arumi, ibu Nando yang merupakan bosnya. Cafe masih tutup sampai saat ini, membuatnya tidak bisa bekerja. Bermaksud mengkonfirmasi alasan cafe ditutup dan nasibnya sebagai pekerja. Ia sangat bergantung pada pekerjaannya mengingat tabungannya menipis karena perbuatan bibinya.

Ponselnya ia silent agar tak mendapat notif dari sahabat-sahabatnya. Toh, mereka mungkin akan sibuk dengan urusan masing-masing. Jeff tak bisa mengantarnya pulang, mungkin dia mengira Allea pulang bersama Riko atau Raka. Sedangkan Raka ataupun Riko pasti mengira ia pulang bersama Jeff. Jadi, tidak perlu khawatir mereka akan mencarinya.

Mereka pasti sibuk dengan dunianya masing-masing.

Taksi memasuki sebuah kompleks perumahan mewah. Membuat jantung Allea semakin berdetak cepat dan tangannya terasa sangat dingin. Taksi berhenti di depan rumah mewah dengan gerbang tinggi. Allea segera turun dari taksi setelah membayarnya.

Langit gelap karena cuaca mendung tak menyurutkan niatnya untuk bertamu. Rumah itu sepi, tak ada mobil atau motor yang terparkir. Allea memencet bel beberapa kali. Cukup lama menunggu, hingga muncul seorang wanita paruh baya mengenakan daster.

"Cari siapa, neng?" tanyanya setelah membuka gerbang.

"Kak Nando, ada?"

"Oh ... Den Nando beserta keluarga sedang tidak di rumah."

"Mereka kemana, ya?"

"Saya kurang tau, neng."

Allea menghela nafas. "Makasih, Bi."

Wanita itu hanya mengangguk lalu menutup kembali gerbang.

Meninggalkan Allea yang menatap nanar gerbang yang perlahan tertutup rapat. Matanya terasa panas dan dadanya sesak menahan tangis. Seakan langit ikut merasakan kesedihan gadis itu, hujan turun dengan deras. Ia menatap jalan kompleks yang kosong. Diam membeku di tengah hujan. Pikirannya kosong, bingung harus berbuat apa.

Deru suara motor terdengar beradu dengan suara hujan. Ia memicing memastikan pengendara motor yang mulai mendekat.

"Mungkinkah itu Kak Nando?" Senyumnya terbit saat melihat seragam yang digunakan pengendara motor sama dengan miliknya.

Sayangnya tak sesuai kenyataan saat motor tersebut berlalu melewatinya. Jalanan sangat sepi tidak ada lagi kendaraan yang lewat.

"ALLEA, BEGOO!!" teriaknya pada diri sendiri saat tersada, tidak mungkin ada taksi atau angkutan umum lainnya di jalanan kompleks.

Harus bagaimana ia pulang? Allea tidak punya aplikasi gojek, grab ataupun sejenisnya. Menggunakannya saja tidak pernah.

Ia merogoh ponsel di saku. Terdapat lima puluh panggilan tak terjawab dari tiga orang berbeda. Berusaha menutupi ponselnya agar tidak basah kuyup, tapi sialnya ponsel itu malah terjun sampai ke tanah. Allea sigap memungut dan memeriksa keadaannya dan sesuai dugaan ponselnya mati total.

Inikah yang dinamakan sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Tangis Allea sudah tak bisa terbendung lagi. Menangis sejadi-jadinya di tengah hujan. Ia berjongkok di depan gerbang rumah Nando. Meratapi nasib buruknya.

"LEA!!"

Gadis itu mendongak.

Seseorang berjalan mendekat ke arahnya. Pandangan Allea kabur karena tangis dan juga hujan, membuatnya tak bisa melihat dengan jelas.

"Lea, lo gak apa-apa, kan?"

Orang itu menarik Allea berdiri lalu memeluknya erat seakan takut kehilangan.

"Raka," ucapnya lirih sambil menangis sesegukan.

Raka mengeratkan pelukannya. "Iya, gue di sini."

"Kenapa sakit rasanya saat Kak Nando menghilang tanpa kabar?"

Raka mengelus punggungnya. "Ssttt, Udah! Nggak usah nangis lagi, ada gue."

"Dia nggak ada kabar setelah bilang—suka sama gue." Allea melepas pelukannya. "D-dia ... dia hilang tanpa kabar."

Allea berbicara tersendat-sendat. Meluapkan emosi, sesak dan kesal sambil menangis.

Raka memegang kedua bahu Allea. Membuat gadis itu menatapnya. "Gue ngerti perasaan lo, tapi jangan pernah kayak gini lagi Lea! Gue takut lo kenapa-napa. Gue takut kehilangan lo," ucapnya tegas tapi pelan.

Allea menunduk, merasa bersalah. Ia bisa melihat kemarahan di mata Raka, tapi pemuda itu tak sanggup marah atau berbicara kasar padanya.

"Lain kali kalau emang mau pergi ke tempat yang nggak lo tau, lo bisa ajak gue. Jangan pernah berfikir pergi sendirian lagi. Gue ngerasa nggak berguna banget jadi sahabat. Gue gagal jadi sahabat yang baik buat lo."

Allea menggeleng keras.

Ia merasa dirinya lah yang egois dan keras kepala. Hanya bisa menyusahkan orang terdekat yang berada di sekitarnya. Jadi benalu dalam kehidupan mereka.

"Maaf ... cuma bisa nyusahin lo. Gue ngga bisa jadi sahabat yang baik," ucap Allea masih dengan tangisnya.

"Lo baik-baik aja, itu udah cukup bagi gue."









FEARFUL (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang