043. Parasit

158 20 0
                                    

"Terbiasa melihatnya diam, tapi saat marah bisa lebih kejam daripada mereka yang banyak bicara."

~FEARFUL~

•••

"Hi!"

Gadis itu mendongak menatap Caca yang menghampirinya di tempat duduknya. Saat ini jam kosong karena guru yang mengajar berhalangan hadir dan tidak memberi tugas, membuat kelas begitu ribut.

Ia melirik ke tempat Riska yang sedang bercanda ria bersama beberapa temannya.

Caca duduk di sebelahnya, di kursi Susan yang kosong karena pemiliknya sedang keluar.

"Gue mau bicara sama lo. Boleh?"

Allea mengangguk.

"Sorry! Gue ...." Ia menjeda kalimatnya, "Gue nyesel mau aja nurutin kemauan Riska untuk jauhin lo. Dia selalu marah kalau gue mau ngajak lo bicara. Sekarang terserah dia, mau marah atau apapun, gue ga peduli lagi," lanjutnya dengan wajah ditekuk.

Allea memandang gadis itu. Sejauh ini, ia adalah teman perempuan paling tulus yang dikenalnya. Meski sempat menjauh, Caca tetap tersenyum ataupun menyapanya ramah saat mereka berpapasan.

"Lo maafin, gue, kan?"

Anggukan Allea membuat gadis itu memeluknya erat dan mengucapkan terima kasih.

"Tau, gak. Gue kadang kesepian kalau Riska ngajak gue gabung sama sirkel barunya. Gue sama mereka ga sefrekuensi."

Caca memulai sesi curhatnya. Berbicara panjang lebar mengenai banyak hal. Dari yang penting sampai tidak penting, ia ceritakan. Allea hanya sesekali menanggapi dan selebihnya hanya jadi pendengar yang baik.

"Oh, ya, soal Kak Nando—" Caca membekap mulutnya, keceplosan membahas hal sensitif.

Suasana yang sempat ceria, jadi muram kembali.

"Maaf, maaf! Gue ga maksud ngingetin lo soal itu."

Gadis itu menarik nafas untuk menetralkan perasaannya yang tiba-tiba terasa sesak, lalu menatap Caca dengan senyum tipis.

"Terserah lo mau bahas itu. Gue ga masalah."

"Beneran??"

Allea mengangguk pelan.

Caca menatapnya cukup lama, lalu menarik kursi lebih dekat padanya. "Ehm, gue ga tau hubungan kalian sejauh mana, tapi terlihat jelas kalau kalian saling menyukai."

"Gue dan Kak Nando ngga ada hubungan apa-apa," jelas Allea dengan tatapan sendu.

"Apa karena itu lo pulang cepat di hari pemakamannya?" bisik Caca agar tak terdengar orang lain di sekitarnya. "Orang-orang banyak bergosip tentang lo karena itu."

"Ca, gue ga maksa lo untuk mengerti keputusan gue, tapi coba bayangin di posisi gue. Kami lumayan dekat, tapi tidak akrab. Bahkan mengobrol dengannya masih bisa gue hitung pake jari. Saat tahu dia meninggal, gue sedih, hancur, dan sangat ingin melihatnya untuk terakhir kali. Sayangnya gue salah kostum, tapi gue masih punya keinginan menemuinya."

"Namun, saat melihat di sekeliling jenazah Kak Nando hanya ada keluarga dan orang terdekatnya, gue jadi ragu karena ngerasa gue hanya orang asing diantara mereka. Teman sekelas Kak Nando pun yang akrab dengannya, hanya duduk berkumpul jauh dari jenazahnya. Apalagi hampir seluruh pelayat memperhatikan gue karena pakai dress bunga-bunga di hari pemakaman. Mental gue kalah dan gue milih pergi dari sana."

Caca menganga mendengar kalimat terpanjang dari Allea yang pernah di dengarnya. Kali pertama mendengar gadis itu bicara panjang lebar.

"Meskipun baru kenal dia dalam hitungan bulan, tapi rasa yang ada untuknya membuat kehilangan itu benar-benar nyata. Apakah gue harus pergi ke pemakamanya dan nangis-nangis di samping jazadnya untuk membuktikan rasa kehilangan gue?"

Hati Caca terenyuh mendengar perkataan gadis di sampingnya. Ia sempat mengira Allea tidak begitu kehilangan dengan kepergian Nando. Nyatanya salah, Allea hanya punya caranya sendiri saat bersedih.

"Heh, Allea!"

Bentakan tiba-tiba seseorang membuat mereka berdua mendongak memandang tiga orang yang berdiri tidak jauh dari mereka.

"Lo kenapa nggak ikut acara kelas?" tanya Via berdiri di samping meja Allea dengan melipat tangan di depan dada dan memasang ekspresi jutek. Begitu pula dengan dua teman yang berdiri di sisinya.

Allea melirik Caca meminta penjelasan. "Kapan??" bisiknya pelan.

"Waktu hari libur kemarin," balas Caca ikut berbisik.

Hari Minggu lalu kelas X Ipa 3 memang sempat mengadakan acara jalan-jalan yang pernah mereka rencanakan bersama. Sayangnya beberapa orang tidak bisa hadir, tapi anehnya Via malah marah pada Allea yang memang tidak tahu jadwal acara itu karena tidak membuka grup kelas.

"Acara itu udah direncanain jauh-jauh hari. Disesuain sama jadwalnya anak-anak, tapi gara-gara lo kita gak bisa hadir dalam formasi lengkap," ucap Via sambil mukul meja.

"Gue juga ga ikut. Kenapa marahnya sama Allea aja?" Caca ikut bersuara.

"Lo ga ikut karena DIA!" tuduh salah satu teman Via, bernama Kirana.

"Kok, gue sih?" tanya Allea mulai tersulut emosi.

"Riska gak ikut karena dia kira lo bakal datang, Caca juga gak ikut karena tahu lo atau Riska gak datang, dan dua sahabat lo juga gak ikut mungkin dengan alasan yang sama. Mereka gak ikut gara-gara lo."

Pandangan Allea beralih ke sekitar kelas. Semua perhatian terpusat padanya, membuat nafasnya memburu. Nampaknya mereka sudah menunggu moment ini. Apalagi Raka dan Riko tak di kelas.

"Dasar beban! Lo cuma jadi parasit di sini!" hardik Via sambil menoyor kepala Allea.

Parasit katanya?

Allea berdiri tegak memandang ke arah Via dengan tatapan datar. Satu kalimat itu berhasil menyakiti perasaannya.

"Kenapa? Marah? Lo kan emang parasit. Parasit dalam kelas ini. Lo gak ada gun—"

Kalimat Via terhenti saat kedua tangan Allea mendorong tubuhnya keras sampai ia terjatuh menghujam lantai. Beberapa orang berteriak histeris dan ada juga yang menganga terjejut. Saat Via bangkit ingin membalas, tangan Allea sudah lebih dulu melayang ke pipinya.

Caca sampai mematung melihat perbuatan gadis itu.

"Mereka pergi atau ngga, itu urusan mereka. Kenapa malah nyalahin gue!" bentak Allea kesal.

Kirana maju mendorong bahu Allea, saat Via mematung karena syok. "Kok, lo kasar, sih? Padahal kami cuman nanya."

Senyum sinis terbit di bibir gadis itu. "Kasar? Kalian memang harus dikasarin supaya mulut nyinyir kalian bisa mingkem!"

Tangan Kirana kembali mendorong bahu Allea, tapi langsung ditahan gadis itu dengan cara menggenggam tangannya dan menancapkan kuku panjangnya pada kulit mulus Kirana. Selama ini Allea tidak pernah takut dengan mereka, ia hanya malas berurusan dengan orang tidak penting baginya. Namun, lama-kelamaan mereka malah semena-mena padanya.

"Aw, sakit!" ringis Kirana berusaha menarik tangannya.

"Gue gak ikut acara kelas kalian itu bukan karena nggak mau, tapi gue ngga tau. Jadi tolong mengerti! Dan ga semua orang nyaman berada disekitar mereka yang gak akrab dengannya, jadi jangan maksa agar semua orang hadir di acara jalan-jalan kalian!" teriakan Allea menggelegar di ruangan itu.

Tak ada yang berani membalas, karena sadar gadis itu sedang marah besar. Kelas menjadi hening tak ada yang bersuara. Allea melepas cengkeramannya pada tangan Kirana yang memerah, lalu melirik Via yang memegangi pipi.

"Gue bisa ngelakuin lebih kalau mau!"












FEARFUL (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang