005. Absen Sekolah

589 56 2
                                    

"Aku hanyalah seorang pengamat yang berkamukflase menjadi orang pendiam."

~FEARFUL~


•••

Ruang keluarga yang diisi oleh seorang gadis terlihat begitu sepi. Ia berbaring di sofa dengan tangan memegangi handphone. Matanya terus memandangi layar ponsel, sedangkan televisi di depannya ia biarkan menyala dengan suara kecil.

Jarinya dengan lincah membuka satu akun ke akun lain. Menonton story Instagram beberapa siswa dari kelasnya menggunakan second akun. Mereka begitu menikmati suasana sekolah hari ini, berbeda dengan Allea yang memilih mengurung diri di rumah seharian.

Notifikasi pesan secara beruntun tiba-tiba muncul. Saat diperiksa, ternyata berasal dari puluhan pesan grup kelas.

"Kasian banget lo Lea!" ucapnya pada diri sendiri.

Dirinya baru saja dimasukkan ke dalam grup kelas yang sudah dibuat sekitar dua bulan lalu. Jempolnya langsung membisukan notifikasi yang terus bermunculan.

Tok tok tok ...

Suara ketukan pintu tidak membuatnya bergerak, hanya melirik jam dinding yang menunjukan pukul tujuh malam. Saat ini dirinya sendirian karena orangtua dan adiknya sedang tidak di rumah.

"Apa ada orang di dalam?" Suara dari luar terdengar samar-samar.

Bukannya memeriksa siapa tamu yang datang, Allea malah mematikan televisi dan juga lampu di ruang keluarga, kemudian berlari menaiki tangga menuju kamar, mengunci pintu dan berbaring di kasur. Tidak mau mengambil pusing tentang siapa yang datang. Terlalu malas bertemu dengan orang.

|Gue tau lo di dalam. Buka pintu cepat! Banyak nyamuk disini!|

Pesan WhatsApp muncul dari seseorang, membuatnya seketika berdiri. Meski malas, Allea langsung ke luar kamar menuju pintu utama.

Pintu terbuka menampakan dua sosok pemuda yang nampak jengkel karena dibiarkan menunggu lama. Keduanya masuk tanpa dipersilahkan, sesekali menggaruk badan yang gatal karena dikerubungi nyamuk saat menunggu.

Mau semalas apapun, jika kedua sahabatnya yang datang, ia akan menyambutnya dengan senang hati.

"Gelap amat rumah lo. Kayak rumah kosong aja."

Allea menekan sakelar lampu, membuatnya bisa melihat tamunya dengan jelas. Dua pemuda yang seumuran dengannya menatap dengan ekspresi berbeda. Salah satu di antara mereka maju mendekat, lalu menoyor kepalanya dengan telunjuk. Gemas setengah dongkol dengan tingkah gadis itu.

"Lo bikin khawatir tau gak. Soalnya kata nyokap lo sendirian di rumah. Kirain ada apa-apa karena rumah lo kayak kosong gitu."

"Maaf Aka," balasnya, lalu melirik pemuda satunya lagi yang berdiri di belakang menatap mereka datar. "Maaf juga, Jeff!"

Pemuda yang dipanggil Jeff membuang muka dan berjalan melewati mereka berdua menuju ruang tamu. Allea dan Raka mengikuti dari belakang dan ketiganya duduk bersama di sofa panjang, dengan Allea yang berada di tengah.

Allea mengambil cemilan di meja, tapi Jeff malah menarik dan menyimpannya kembali.

"Ada apa?" keluhnya keheranan.

"Kenapa nggak pergi sekolah hari ini?" tanya Jeff penuh penekanan.

Allea diam sejenak mencari alasan yang tepat.

"Jawab cepat!!"

"Gue sakit."

Memang benar dirinya tidak datang sekolah dengan alasan sakit. Namun, jika benar sakit, tidak mungkin orang tuanya berani meninggalkannta sendirian. Untung saja orang tua Allea orang yang mengerti anaknya dan sengaja memberinya ruang sejenak. Yakin putrinya pasti punya alasan kuat mengapa tidak mau pergi sekolah.

Raka menarik pipi gadis itu kesal. "Mana ada, sehat gini ngakunya sakit. Dosa kalau bohong."

Allea memukul tangan Raka agar melepas cubitannya. "Emang gue sakit, kok. Kalau gak percaya gak usah!"

"Emang gak percaya," balas Raka cepat. "Lo harus sekolah besok!"

"Malas!!"

"Anggap saja lo beneran sakit, tapi besok harus sekolah. Kalau ngga, gue seret lo!"

Ancaman Jeff berhasil membuatnya bungkam sekaligus bergidik ngeri. Menunduk sembari menghela nafas panjang. Tentu ia tidak bisa terus-terusan beralasan sakit untuk menghindari orang-orang.

"Apa karena kejadian waktu itu, lo jadi ga mau sekolah?" Raka memelankan suaranya, teringat cerita Riko mengenai kejadian Allea diganggu kakak kelas. "Maaf! Gue nggak ada saat lo butuh," ungkapnya penuh penyesalan.

Allea menunduk sedih, teringat masa-masa dulu. Ketika Raka dan Jeff selalu menjadi malaikat penjaganya. Keduanya tidak akan membiarkan orang lain mengganggunya dan selalu disisinya agar tidak terluka. Sekarang semuanya terasa berbeda, mereka tidak bisa selalu bersama seperti dulu.

"Jeff, tau juga??" tanya Allea penasaran.

Pemuda yang ditanya hanya berdehem pelan.

"Gue tau kita ga bisa sama seperti dulu lagi. Kalian tentu punya kehidupan masing-masing. Raka sibuk daftar OSIS yang tes aja berbagai macam, daftar ekskul basket juga, belum lagi ikut bimbel. Jeff yang beda kelas dan masuk kelas unggulan pasti belajar terus untuk persiapan Olimpiade. Meski begitu, kalian tenang aja. Gue pasti bisa jaga diri sendiri!" tutur Allea dengan senyum lebar yang sedikit dipaksakan.

Saat bersama orang terdekat, Allea bisa jadi orang yang banyak bicara.

Raka mengelus puncak kepalanya. "Gue sama Jeff ga akan biarin lo sendiri terus, Lea."

Terdengar begitu meyakinkan, tapi Allea merasa kalimatnya hanya sebagai penenang sejenak. Sebab, pada kenyataannya cukup sulit untuk selalu ada. Jelas berbeda saat SMP, mereka sekelas, masuk ekskul yang sama dan berangkat sekolah bersama menggunakan sepeda.

"Oh, ya, soal Riko —"

"Gak usah bahas dia!"

"Nggak boleh gitu, Lea! Itu bukan salahnya."

"Lo pasti bela dia. Dia 'kan SAHABAT lo."

Raka menghela nafas mendengar ucapannya. Mengerti kemarahan Allea beralasan, tapi menurutnya Riko tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena kejadian itu.

Jeff berdiri dari sofa setelah cukup lama diam. Membuat Raka dan Allea mendongak menatapnya. Tanpa kata berjalan meninggalkan ruang tamu.

"Kemana lo?" teriak Raka saat ia mulai menjauh.

"Pulang."

"Lah terus ini anak, gimana?" tanya Raka sambil menunjuk Allea.

"Lo yang jagain!"

Mereka berdua menatap kepergiannya, sampai menghilang di balik pintu. Terdiam cukup lama, hingga Allea menarik nafas panjang.

"Jujur, sebenarnya gue ga berani ke sekolah tadi karena ... takut ga punya kelompok di pelajaran bahasa."

Tepukan jidat Raka terdengar nyaring saat baru tersadar tentang itu. Kesibukan membuat dirinya lupa Allea belum punya teman dekat dan akan kesulitan mencari teman kelompok.

"Padahal ada yang kekurangan anggota."

"Masalahnya nggak ada yang ngajak gue gabung," sahutnya dengan suara pelan.

"Lo bisa gabung sama gue kalau memang lo ga punya kelompok."

"Kelompok lo pasti cowok semua. Gua ga mau jadi bahan perbincangan cewek-cewek kelas."

"Ribet!"

"Makanya gue ga pergi sekolah, supaya ga ribet."

Helaan nafas Raka terdengar panjang. Ikut pusing memikirkan permasalahan sahabatnya. Dulu pun dirinya cukup sulit berteman dengan Allea yang sulit bergaul.

"Kayaknya gue harus cariin lo teman!"









•••

Sejauh ini, gimana tanggapanmu tentang Allea?

FEARFUL (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang