28. Fares, Mari bahagian bersama

42 6 4
                                    

Dua Minggu sudah terlewat dari hari kelulusan. Remaja yang baru saja keluar satu masa putih abu-abu itu sibuk menata hidupnya. Dulu yang masih main main sekarang sudah tidak. Dulu yang masih bisa bercanda sekarang sudah bukan waktunya lagi. Jenjang selanjutnya lebih menegangkan, masuk kembali kedua pendidikan, pekerjaan, atau mengambil jalan menikah. Pilihan yang sangat sulit dan berkonsekuensi. Salah pilih maka semuanya hancur, bisa saja diperbaiki tapi tidak mungkin menjadi sempurna. Pilihan menganggur pun mempunyai konsekuensi.

Apa yang harus dilakukan setelah lulus dari putih abu-abu?

Kuliah? Ia bagi mereka yang mempunyai biaya. Jika yang kekurangan ekonomi? Memaksakan? Apakah akan berhasil? Kuliah sambil kerja? Kerja saja? Apakah akan ada yang menerima? Menikah? Tapi bagaimana dengan kehidupan yang sudah ditata? Hancur? Ini sangat memusingkan! Apa yang paling berat dalam kehidupan adalah pilihan. Memilih antara dua hal, memilih antara beberapa hal, dan memilih yang dipaksa. Dan lebih parahnya tidak bisa memilih, buntu tanpa pilihan.

Pilihan.

Itu mengejutkan.

"Apa kabar lo, Ra?" Adista dengan baju ospek nya memandang sendu pada layar ponsel yang memperlihatkan room chat. Dua Minggu ini room chat itu sepi, tidak ada balas membalas, chatnya tidak ada balasan. Pemilik nomer yang menjadi tujuan pesannya itu tidak aktif sudah dua Minggu.

"Gue udah ospek, gimana sama, lo?"

"Universitas impiannya sudah tercapai?"

"Udah sembuh dari rasa sakitnya?"

"Usah bahagia?"

"Atau... Udah menemukan orang baru?"

"Ra, udah lupa ya sama teman yang gak berguna ini?"

"Ra... Gue kangen."

"Ra, jangan lupain gue, ya?"

"Lo, tahu? Mereka udah menikah. Keliatannya mereka bahagia. Bahagia banget! Tapi... Gue selalu berdoa semoga kebahagiaan mereka hanya sesaat, Lo yang berhak mendapatkan bahagia itu. Biarin aja dulu, kita liatin dulu sampai mana bahagia itu bertahan."

"Ra, mamah gue katanya kangen, ayah juga. Mereka suka nangis kalau ingat sama Lo. Katanya, apakah lo udah makan, tidurnya nyenyak atau nggak, bisa hidup mandiri atau nggak, takut ada yang jahatin lo. Kalau bisa mending pulang, jangan pergi...."

"Ra...."

"Dia hanya ingin menenangkan diri, jika sudah sembuh pasti pulang." Ocehan Adista terhenti, senyum seseorang yang sangat lebar terlukis.  "Jangan diganggu dulu, ya? Dia lagi istirahat, merehatkan hatinya yang udah hancur."

"Rafi?"

"Iya, itu gue." Rafi menaikan satu alisnya, lagi-lagi senyumnya terbit. "Dia pergi mungkin bukan hanya untuk memenangkan diri tapi juga buat memperbaiki diri. Lo yang disini jangan mau kalah. Kalian berdua pasti akan bertemu lagi kalau udah waktunya. Mari bertemu dengan versi yang udah di upgrade. Sama-sama baik dan luar biasa." Lelaki itu menepuk bahu Adista. "Ayo kumpul dilapang, udah pada koar koar itu."

Rafi pergi dengan berlari kecil, Adista masih termenung memperhatikan punggung Rafi yang lumayan lebar. Apa yang dikatan Rafi ada benarnya. Adista mengangguk menghela napasnya, tangannya mengepal, "Oke, gue harus menjadi luar biasa supaya gak malu nanti ketemu sama orang luar biasa!!"

"Tamara, mari menjadi luar biasa."

memasukkan ponselnya pada ransel. Tapi sebelum itu, Adista mencari kontak yang tidak diberi nama. Kontak seseorang, orang tujuannya, orang yang selalu Adista selipkan dalam doanya. Orang yang Adista harapkan untuk bisa melengkapi hidupnya dan bisa menjadi pasangannya kelak.

TAMARA; Ugly and Selfish [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang