"Bagaimana para saksi, sahh?"
"Sahhh!"
Mata hitam legam itu tertutup dengan hembusan napas tertahan juga tangan yang terkepal. Tidak pernah terbayangkan hal ini akan terjadi, kesalahan itu membuahkan bukti nyata yang tidak bisa dielakkan memang dia yang melakukannya. Rafael menunduk, tiba-tiba teringat dengan Tamara. Dada Rafael bergemuruh, sesak dan matanya tiba-tiba memanas. Rasa bersalah itu menyelimuti dirinya. Rafael merasa telah mengkhianati Tamara yang sebagai tunangannya.
"Maaf...." Gumamnya yang hanya dia sendiri yang dapat mendengar.
"Fael.."
Tidak dilanjutkan karena sang empu sudah berdiri, menyingkirkan kain putih yang tersampir dikepalanya. Rafael pergi, meninggalkan Tamari yang kini sudah menjadi istrinya, meninggalkan keluarganya yang menatapnya dengan tatapan bingung juga khawatir. Rafael berlari keluar dari gedung itu, sekuat tenaga menepuk dadanya yang benar-benar sangat sesak.
Tangannya bergetar, Rafael mengambil handphonenya dan mencari nomer seseorang, ia telpon namun tidak diangkat meski tersambung, aktif. Tidak mau menyerahkan berkali-kali terus dilakukan, menelpon dia yang menjadi sumber Rafael merasa tidak enak hati, merasa bersalah. Tamara.
Enam belas kali memanggil tapi tidak ada satupun yang diangkat, tersambung. Kemana dia? Kenapa tidak mengangkat telponnya? Marah? Sibuk? Atau sedang berjauhan dengan handphonnya? Sepertinya, dia kecewa dan enggan hanya untuk mengangkat telpon darinya.
Terakhir masih tidak diangkat, berakhir dengan mengirim pesan.
Hey...
Maaf, i love you baby......
"iPhone 14 pro max."
"Langsung kami daftarkan kartu perdananya ya, kak."
"Oke."
"Tidak sayang kak itu dibuang?"
"Saya sudah tidak butuh, kalau mau bisa kamu ambil."
"Wah, yang benar kak?"
"Buat kamu aja, masih bagus."
"Wahhh terimakasih kakak, kebetulan adik saya butuh ponsel."
Tamara menunggu ponsel barunya didaftarkan kartu perdana. Matanya berkeliling mengamati toko ponsel itu, sesekali membenarkan tudung hoodie yang menutupi kepalanya. Ini pilihannya, Tamara ingin melupakan masa lalunya dan merajut masa depannya. Yang dulu terlalu menyakitkan meski tidak semuanya. Ya, yang buruk lebih baik dibuang dari pada dipertahankan, teringat kembali dan lagi-lagi menyakiti hati.
"Ini kak, sudah selesai."
"Oke, terimakasih." Tamara mengambil ponsel barunya, dia keluar dari toko itu setelah membayar. Bersih, tidak belum ada nomor lain di ponsel itu selain nomernya. Ponsel berlogo Apple digigit sedikit berwarna biru itu masuk kedalam saku hoodie, sang pemilik mengayunkan kakinya masuk kedalam kafe yang bersebrangan dengan toko yang barusan dikunjungi.
"Permisi, ada yang mau dipesan?"
"Nasi goreng, jus melon."
"Baik kakak, ditunggu yaa." Pramusaji itu pergi. Tamara bersidekap dada, orang-orang melirik padanya namun Tamara tidak peduli. Tidak ada yang salah padanya apa lagi pada pakaiannya. Celana bahan pendek dengan hoodie over size juga kacamata bening dan sendal jepit ando. Ya, tidak ada yang salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAMARA; Ugly and Selfish [Selesai]
Teen Fictionegois Tamara skynay gadis jelek dengan sifat egoisnya yang mendarah daging, karena sifat egoisnya juga dia masuk kedalam lubang hitam. permintaannya pada sang ayah membawa dia pada kekerasan fisik juga mental. keinginan yang menjerumuskan dirinya se...