"Dari informasi yang saya dapatkan, Tamari berada di Yogyakarta. Lima hari lagi akan melakukan penerbangan keluar negeri."
"Kamu tahu negara mana yang akan dia tuju?"
"Maaf tuan, untuk itu saya belum tahu."
"Cari lagi informasinya, saya tunggu segera!"
"Baik, tuan."
Rafael menghembuskan napasnya lelah, menyugar rambutnya frustasi. Cowok itu bertumpu pada meja, sesak didadanya lagi lagi datang. Dia pergi, tidak ada kabar dan akan pergi jauh meninggalkannya. Luruh Rafael terduduk pada kursi, memejamkan matanya seraya memijat pangkal hidung mancungnya. Kepalanya berdenyut nyeri.
"Jangan pergi," Rafael melirih. Terbayang wajah Tamara dengan berbagai ekspresi. Rafael terlampau tidak sadar jikalau ada seseorang yang selalu memerhatikan, yang selalu ada untuknya diam-diam dan yang selalu mendukungnya diberbagai keadaan, baik ketika bersedih ataupun bahagia . Yaa, dia yang selalu berteriak dengan kencang menyemangatinya itu Tamara.
"Tamara.. pertahanan aku, ya?" Kata itu, permintaan konyol untuk sekarang. Terlambat dan tidak akan terkabul.
Tamara pergi. Dan kabar Tamara sudah tidak dianggap anak oleh ibunya sudah terdengar oleh Rafael, bahkan keluarga Rafael. Rafael makin merasa bersalah. Menjadi Tamara pasti sangat menyakitkan, dan sialnya Rafael ikut menyumbang sakit juga. Bodohnya dia tidak pernah memberikan Tamara sedikitpun kebahagiaan. Rafael menyesal, jika ia ditakdirkan kembali untuk bertemu Tamara, Rafael berjanji akan memberikan Tamara kebahagian, dengan cinta juga kasihnya.
Terhapus nama seseorang yang sedari awal menetap dihatinya saat tahu kebusukan orang itu. Nama itu sirna dalam hatinya, dan tanpa sadar sudah sedari lama ada nama seseorang yang tersempil dibagian tersempit dalam hati. Terhapusnya nama dan cinta untuk seseorang, nama yang sedari awal bersembunyi dihatinya muncul kepermukaan. Sayangnya, nama itu sudah muak dan akhirnya pergi. Tanpa pamit secara langsung atau bahkan pelukan singkat.
Tangis dia waktu itu, masih terlihat jelas. Kesakitan yang tersirat dimatanya masih terlihat. Dan kata yang keluar itu, masih terngiang-ngiang.
"Ayo bertemu lagi, takdir kita masih bersama Tamara." Rafael bergumam lagi.
....
"RAFAEL! RAFAEL! AYOOOO RAFAEL! ELL KAMU PASTI MENANG! RAFAEL---!"
"BERBISIK WOYY!"
"GANGGU AJA! PERGI LO DARI SINI!!"
Tamara mengatupkan bibirnya, mendelik pelan, membernarkan kacamatanya lalu berjalan ke tribun depan, supaya lebih luas melihat sang pujaan hati. Tamara tidak peduli dengan desas desus yang lain yang mengatakan ini itu padanya. Tamara sudah didepan, dia mengacungkan tangannya mengepal. "AYOOO RAFAEL SEMANGAT CETAK POIN!" kembali berteriak, dan penonton lain kembali menyoraki dirinya.
Tamara di dorong-dorong hingga keluar dari tribun paling depan. Tidak ada tempat untuknya. Tamara menghela napasnya, "maaf, bisa minggir gak? Itu tempat aku!"
"Tempat, Lo? Yang bener? Bukannya tempat Lo disana?" Orang itu menunjuk tempat sampah yang berada di ujung tribun, tertawa, dan yang lain ikut tertawa menertawakan Tamara. Wajah Tamara memerah, merasa malu. Mata Tamara berkaca-kaca dan dia pergi dari sana dengan dada bergemuruh, emosi.
Mata Tamara mengeluarkan air mata, dia menjauhi lapangan. Duduk pada kursi dibawah pohon yang rindang, Tamara menangis disana seorang diri. Tamara hanya ingin memberikan semangat pada Rafael yang sedang bertanding futsal, memberikan dukungan untuk cowok taksirannya. Hanya itu.
Mengapa orang-orang seperti itu? Mereka saja bisa berteriak menyoraki memberi dukungan, tapi tidak ada yang melarang. Sedangkan dirinya? Baru saja berteriak sebentar sudah menjadi permasalahan. Menyebalkan dan tidak adil.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAMARA; Ugly and Selfish [Selesai]
Teen Fictionegois Tamara skynay gadis jelek dengan sifat egoisnya yang mendarah daging, karena sifat egoisnya juga dia masuk kedalam lubang hitam. permintaannya pada sang ayah membawa dia pada kekerasan fisik juga mental. keinginan yang menjerumuskan dirinya se...