21. Mahasiswa Baru

317 35 1
                                    

Farrel terbangun ketika langit di luar masih gelap. Hal ini sering terjadi setahun belakangan dan dia mulai jarang mendapat tidur lelap. Dia biasanya terjaga jam empat pagi dan mendapati Lukas masih tidur di sebelahnya. Kali ini pun dia melihat suaminya itu terlelap di tangannya.

Melihat wajah yang tidak pernah menua di depannya, Farrel agak dongkol. Ini benar-benar tidak adil. Diapun ingin diingat selalu tampan oleh Lukas tapi itu tidak terjadi. Tangannya menyentuh pipi suaminya dan mendapati cintanya masih meluap-luap tanpa berkurang. Karena itu, dia semakin takut berpisah. Dia ingin hidup lebih lama lagi.

"Sayang..." bisiknya. Dia sebenarnya sudah berbisik sangat pelan agar Lukas tidak terganggu. Namun, Lukas yang sensitif tetap terbangun kemudian membuka mata.

"Honey, apa ada perlu sesuatu?" Tanya Lukas. Mendengar pertanyaan itu, Farrel jengkel. Dia sudah terlalu banyak tergantung pada Lukas belakangan ini. Dulu, Lukas yang lebih banyak manja padanya.

"Aku perlu obat awet muda. Kamu bisa kasi ngga?" Tanya Farrel.

Lukas tertawa kecil, "Ngga ada obat seperti itu."

"Aku ngga percaya." Rengek Farrel sambil mencubit pipi Lukas. Wajah suaminya ini membuatnya tidak percaya obat itu tidak ada. Pasti Lukas menyimpan rahasia besar.

"Uh!" Lukas berusaha melepaskan diri dari cubitan Farrel. Tapi Farrel tidak menyerah.

"Honey, lepaskan." Keluh Lukas tapi tidak mendapat tanggapan.

"Aku ngga akan melepaskan sebelum kamu cerita apa yang kamu rahasiakan."

"Iya aku cerita. Lepaskan dulu."

Farrel menarik tangannya.

Sepasang mata rembulan Lukas menatap lurus ke pupil Farrel kemudian dia menarik nafas dalam. "Aku menemukan sesuatu ketika di Himalaya."

***

Keluarganya yang dingin selalu membuat Bian merasa tidak nyaman. Setiap mereka makan bersama, suasana dingin itu terasa memekakkan sehingga dia tidak betah. Ibunya, Selina, seringkali terlihat depresi namun anehnya masih tersenyum. Ayahnya Hans memang pendiam namun kesunyian yang dibawa selalu unik dari waktu ke waktu. Khusus hari ini, ayahnya terlihat seperti ingin membunuh seseorang. Karena itu Bian stress. Dia hanya bisa melirik adik perempuannya yang sepertinya sudah mempelajari skill paling penting di dunia yaitu 'tidak peduli'.

Karena itu, di tengah suasana yang seperti suasana rumah duka ini, Bian yang paling menderita. Dia tidak bisa mengunyah makanannya. Waktu makan ini terasa begitu panjang dan dia tidak sabar untuk melarikan diri ke sekolah.

"Gimana sekolahmu?" Tanya Hans.

Ayahnya seperti dibayangi kegelapan tapi entah kenapa suaranya ketika bertanya masih lembut dan tenang. Karena itu Bian jadi semakin takut. Diapun bingung menjawab apa. Pada akhirnya dia hanya bisa menjawab singkat. "Baik." Katanya. Ada banyak hal yang sebenarnya ingin dia ceritakan tapi melihat ayahnya yang terlihat menakutkan, semua cerita itu langsung lenyap dari kepalanya.

"Baguslah." Sahut Hans menutup perbincangan singkat itu.

Karena ayahnya diam lagi, Bian menoleh ke ibunya. Depresi ibunya masih begitu pekat seperti biasa. Meskipun membalas tolehannya dan tersenyum, tetap saja emosi menyedihkan itu terasa. Argh! Bian tidak nyaman dengan ini.

Untung saja waktu sarapan segera berakhir dan dia bisa segera ke sekolah. Sayangnya, entah apa yang merasuki ayahnya hari ini, Hans tiba-tiba ingin mengantarnya ke taman kanak-kanak. Batin Bian langsung nelangsa.

Namun, berlawanan dengan yang Bian kira, ketika mereka hanya berdua saja, ayahnya ternyata bersikap tenang bahkan terlihat nyaman. Ketika mereka sudah sampai, ayahnya menyentuh kepalanya dan mengusap-usap rambutnya tiga kali sebelum membiarkannya turun.

Burung Dalam Sangkar (BxB) [End-Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang