73. Puppy Eyes

266 32 5
                                    

Los Bastidores dibuka pukul 11 siang namun Dika belum datang. Di galeri itu hanya ada Dario yang mempersiapkan semuanya. Sebagai pengunjung pertama galeri, Hans berkeliling seperti biasa seakan-akan kemarin kepalanya tidak disiram cat di tempat itu. Melihat hanya ada mereka berdua, Dario akhirnya berani mengungkapkan rasa penasarannya.

"Apa kamu ada masalah dengan Keane?" tanyanya agak ragu-ragu.

Mendapatkan pertanyaan itu, Hans sebenarnya bingung menjawab. Dia perlu berpikir dan tidak mampu menyahuti dalam waktu lama. Bagaimanapun kondisinya rumit dan lebih baik dia menutup mulut.

"Kamu ngga perlu menjawab kalau ngga mau. It's okay." Kata Dario begitu melihat kesulitan Hans. Dia juga tidak mau menjadi tidak sopan karena mengurusi urusan pribadi orang lain.

Pembicaraan mereka akhirnya benar-benar terhenti ketika pintu terbuka dan Dika masuk. Dia mengajak Hans ke taman di belakang galeri untuk bicara berdua. Mereka duduk berhadapan di sebuah meja santai untuk minum teh atau sekedar beristirahat dan mengobrol.

Di tempat itu, Hans tidak mengatakan apapun untuk memulai perbincangan. Dia tidak berani memulai karena takut mendapat tanggapan buruk.

Dika juga tidak langsung membuka pembicaraan karena mau memperhatikan kondisi mantannya ini terlebih dahulu. Hans memang terlihat lebih suram dan tidak setenang biasanya. Melihat Hans yang menunduk pasrah, kekesalan Dika yang sudah berkurang setelah merenung kemarin malam, berkurang lebih jauh. Beberapa menit setelah memandangi perilaku Hans, dia baru bicara.

"Gimana kabar lu?" Tanya Dika.

"Sejauh ini baik." Jawab Hans pelan.

Sayangnya Dika bisa melihat kalau yang terjadi berlawanan. Hans tidak terlihat baik sama sekali. Meskipun begitu, dia hanya bisa menarik nafas dalam-dalam kemudian beralih ke hal penting.

"Gue akan kasi lu kesempatan. Tapi sesuai janji, kasi tahu gue lokasi ibunya Javier. Selain itu, lu juga mesti bantu dia kalau ternyata dia perlu bantuan untuk menyelamatkan ibunya."

Mendengar kata-kata itu, sepasang mata obsidian Hans menjadi lebih bersinar. Dia menatap Dika dengan bola mata licin. "Oke. Akan gue bantu." Kata Hans dengan senyum tipis.

Dia mengeluarkan sebuah flashdisk kemudian meletakkan itu di depan Dika. "Di dalamnya ada semua keterangan yang diperlukan. Setelah ini gue juga akan kontak Renata untuk ngasi bantuan. Dia punya kontak lebih luas dan bisa menggerakkan banyak pihak. Gue jamin semuanya akan lancar." lanjutnya. Demi kesempatan ini dia akan melupakan semua kebenciannya pada Javier dan membantu orang itu sepenuh hati.

"Gue punya satu syarat lagi." kata Dika dengan wajah tanpa emosi.

"Oke. Bilang aja." sahut Hans.

"Kalau gue ngga setuju, lu ngga boleh maksa."

"Oke." Hans menjawab tanpa berpikir.

Dika mengangguk kemudian memberikan keputusan akhir. "Deal. Dua bulan ini kita balikan. Tapi gue ngga jamin apa yang akan gue putuskan dua bulan lagi." jawab Dika datar.

Setelah menjawab, dia langsung melihat ekspresi yang sulit untuk ditolak dari Hans. Sepasang mata obsidian jernih Hans terlihat lebih besar dan berkilau. Kata 'puppy eyes' langsung muncul di kepala Dika. Mata Hans itu seperti anak anjing lucu yang memberikan tatapan tanpa dosa yang membuat seseorang merasa jahat jika menolak permintaannya. Setelah setahun tidak bertemu, Hans terlihat semakin pintar memelas sekarang.

"Terima kasih." Kata Hans dengan suara agak serak dan wajah terharu. Masih dengan wajah lugu dan mata anak anjing yang bulat dan basah, dia langsung meminta sesuatu. "Apa gue boleh minta pelukan? Gue kangen banget." Tanyanya memohon.

Dika menghela nafas panjang sebelum menjawab. Dia tidak kuat menghadapi Hans yang sudah memupuk skill baru. Tanpa mengatakan apapun dia berdiri dan membuka tangannya. Dia memaki dalam hati namun skill baru ini benar-benar mematikan.

Dengan cepat Hans bangkit dan menjangkau kekasihnya. Dia memeluk sangat erat dan menenggelamkan wajahnya di pundak Dika. "Maaf..." bisiknya lirih.

"Mm." sahut Dika tanpa memberikan banyak kata.

Mereka bertahan seperti itu dalam waktu lama. Meskipun begitu, Dika tidak berniat untuk melepaskan diri dengan cepat. Dia membiarkan Hans menumpahkan semuanya dan memeluk seberapa lamapun yang dia inginkan. Badan kekasihnya ini terasa lebih ringkih sehingga Dika balas memeluk agar Hans lebih tenang.

"Gue sayang sama lu Ka. Jangan pergi."

Dika tidak bisa menyahuti ini. Dia hanya menutup bibirnya rapat tanpa memberikan balasan apapun. Biarpun tanpa balasan, Hans terlihat tidak begitu peduli dan memeluk semakin erat.

***

Di meja kerjanya, Arga menghela nafas lega. Adiknya akhirnya ditemukan. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dikomentari. Drama percintaan ini membuatnya stress padahal dia hanya penonton. Setahun yang lalu, dia belum sempat mendengar kabar percobaan bunuh diri yang dilakukan Dika ketika adiknya itu sudah menghilang lagi. Gara-gara itu, dia merasa ada banyak rambutnya yang rontok selama setahun ini.

***

Varnaka terasa semakin sepi sejak Dika menghilang. Meskipun ada tiga pelukis baru yang bergabung, tanpa kehadiran pemilik galeri, nyawa galeri itu seperti tidak ada lagi. Aris dan Edi sendiri tetap menjalani kegiatan mereka ditambah dengan menjadi pengajar sesekali. Satu-satunya perkembangan melegakan di galeri itu adalah kenyataan kalau Hans tidak pernah mendatangi galeri sejak Dika melarikan diri.

"Gimana ya kabarnya Dika?" tanya Aris tiba-tiba. Entah pada siapa. Terakhir kali dia hanya melihat Dika yang masuk rumah sakit sehingga ada kesedihan yang mendalam ketika temannya itu menghilang. Tidak ada yang memberinya kabar karena sepertinya dia tidak penting. Padahal dia juga ingin tahu. Sayangnya, di mata orang seperti Hans, dia mungkin hanya debu sehingga kekhawatirannya diabaikan.

Edi tidak banyak berkomentar. Dia dan sikap tidak pedulinya hanya bisa memberi penghiburan normal. "Kita doakan aja dia baik."

***

"Aku merasa seperti pensiun." kata William yang sibuk berjemur.dia tidak sadar kalau dia sudah berubah menjadi lobster. Kulit Scandinavianya tidak cocok dengan matahari tropis yang menyengat. Bukannya jadi cokelat, dia malah jadi merah, lebih merah dibandingkan udang yang digoreng. Meskipun begitu, dia tetap bahagia karena sebagian besar urusannya sudah dia serahkan ke bawahannya dan tidak ada kasus yang terlalu serius untuk diselidiki.

Eve yang sekarang cosplay sebagai ninja, sedang mengetik cerita baru. Dia tidak mempedulikan William yang selama setahun ini berlibur ceria seperti orang tua. Dia masih rajin menulis cerita tentang Johan dan Theo meskipun tidak lagi ada yang berani membacanya. Ketika dia mengunggahnya online sekalipun, dua manusia kembar itu akan segera menghapusnya. Pada akhirnya dia mengirimi mereka cerita itu via email dan memanen makian.

"Barusan ada laporan kalau seseorang menemukan benda mencurigakan di kapal 5. Sepertinya alat penyadapan." lapor Elia yang masih menggunakan setelan bajak laut.

"Aku juga dapat email marah-marah dari Theo. Dia bilang kalau dia akan menyiksa kita kalau berhasil tertangkap. Sudah kubilang kan, kalau Theo lebih cocok jadi seme. Dia brutal." kata Eve.

"Aku masih ngga setuju. Justru yang suka marah-marah gitu lebih cocok jadi ukenya. Macam uke cerewet yang spicy. Gimanapun Johan kelihatan lebih dewasa meskipun dikit." sahut Elia.

"Kenapa kalian masih saja suka menulis tentang mereka? Apa kalian terobsesi?" tanya William heran.

"Ngga. Kami cuma kesal." sahut Eve dan Elia bersamaan.

"Kalian terobsesi." sahut William lebih percaya pada teorinya.

***

Burung Dalam Sangkar (BxB) [End-Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang