75. Tempat Berharga

243 35 2
                                    

Kekecewaan Dika terdengar terlalu jelas sehingga Hans merasa bersalah. Baru kali ini dia memperhatikan kalau hal seperti ini ternyata sangat penting untuk kekasihnya. Sebelumnya dia tidak mempedulikan itu dan selalu menghindarkan Dika dari Farrel karena tidak mau kalah. Ternyata keegoisannya itu sudah merebut hal penting yang Dika inginkan.

"Tapi gue udah cerita tentang lu ke mereka. Kita bisa kunjungi mereka nanti kalau sudah sampai di Jakarta." Kata Hans yang panik dan berusaha menyelamatkan dua bulan berharganya. Siapa sangka pada hari pertamanya dia sudah memberikan kekecewaan.

Hans yang panik hanya ditatap tanpa ekspresi oleh Dika. Melihat Hans yang tidak se-cool sebelumnya, dia mulai membayangkan apa yang sebenarnya sudah terjadi pada kekasihnya ini. Sebelumnya dia menyukai sisi tenang Hans yang sepertinya tidak terganggu apapun. Namun, sisi panik ini terasa lebih jujur dan tidak menakutkan.

"Lu ngga perlu segitu panik. Ngga apa-apa. Semuanya udah lewat juga." Ujar Dika menenangkan. Setelah itu dia ingat pada pertanyaan Hans tadi. Dia perlu memberikan jawaban.

"Oke. Dua minggu terakhir kita bisa ke Indonesia." Jawabnya. "Tapi kalau gue pengen balik dan lu menghalangi gue, lu bisa lihat mayat gue." Lanjut Dika dingin. Dia serius dan dia juga pernah melakukannya.

"Iya. Gue ngga akan menghalangi." Hans menurut.

"Hari ini lu mau kemana? Kita bisa jalan sampe sore, habis itu gue mau melukis."

Mendengar Dika yang aktif menanyakan acara yang akan mereka lakukan berdua, puppy eyes Hans muncul lagi. Tidak kuat melihat puppy eyes itu, Dika mendadak ingin menutup wajah Hans dengan kanvas agar hatinya tidak dikendalikan. Dia tidak tahu apakah Hans sadar akan apa yang dia lakukan atau tidak. Yang jelas skill ini benar-benar menyebalkan dan hati Dika selalu bergetar hebat setiap melihatnya.

"Gue pengen makan di restoran seafood yang terkenal di sini. Kita bisa ngobrol berdua sambil makan lalu ke National Museum of Natural Sciences. Gue pengen lihat tulang dinosaurus." ajak Hans.

"Bukannya dulu waktu di Inggris lu udah sering lihat dinosaurus?" tanya Dika. Inggris juga punya National Museum of Natural Science dengan koleksi yang bahkan lebih melimpah dibanding yang ada di Spanyol. Dulu ketika SMA, Hans ke sana hampir setiap minggu untuk melihat rekonstruksi T-Rex. Siapa sangka dia masih menyimpan obsesi itu hingga sekarang.

"Tapi tetap aja dino yang di sini dan dino yang di sana beda. Jadi gue pengen lihat. Dan gue pengen gue lihat itu bareng sama lu." kata Hans antusias.

Dika menatap lurus-lurus puppy eyes Hans yang kelihatannya menghipnotis dan berbinar terang. Setahun ini sepertinya usia mental Hans sudah terdegradasi begitu jauh dan orang di depannya ini sudah berubah menjadi Hans remaja usia 16 tahun. CEO dingin dan bijaksana yang dulu tenang menghadapi masalah apapun sepertinya sudah pergi entah kemana dan Dika sepertinya perlu mengasuh remaja sekarang. Apa segitu berat pukulan mental yang diterima kekasihnya ini? Dia mulai khawatir.

"Oke kita ke sana." jawab Dika datar. Dia ingin melihat seberapa besar degradasi yang Hans alami. Untuk itu, dia akan mengikuti apapun kemauan Hans.

Lima belas menit kemudian mereka sudah sampai di salah satu restoran seafood dengan berjalan kaki. Tempat itu tidak begitu jauh dari lokasi galeri sehingga mereka berjalan berdua sambil berpegangan tangan. Begitu sampai dan memperoleh meja, Hans memesan paket seafood untuk berdua. Tak lama kemudian sebuah seafood tower dihidangkan. Dika dapat melihat tumpukan kepiting, udang, kerang dan lobster yang terlihat menggunung. Semua makanan itu menyusahkan untuk dimakan sehingga seseorang mungkin sudah lapar lagi setelah suapan sebelumnya karena perlu bekerja keras membuka kulit seafood untuk suapan berikutnya. Namun Dika tidak berkomentar. Dia harus sabar mengasuh Hans bermental remaja di depannya.

"Sejak sampai di sini, gue selalu pengen coba ini. Tapi rasanya sedih kalau makan ini sendiri." kata Hans. Wajahnya terlihat sendu. Dia mulai sibuk memecah capit kepiting menggunakan penjepit khusus. Begitu daging dikeluarkan, dia meletakkannya di piring Dika. "Lu ngga perlu susah-susah kalau ngga suka buka ini. Gue cuma pengen kita ngobrol agak lama."

"Lu jadi banyak omong sekarang." komentar Dika.

"Sorry." sahut Hans yang kemudian menutup mulut. Sesudah itu, di antara mereka hanya ada suara kulit seafood yang dipecah dengan latar belakang obrolan pengunjung restoran yang lain. Hans masih sibuk membuka kulit seafood kemudian meletakkan isinya di piring Dika. Dia melakukan itu hingga piring itu penuh karena Dika tidak menyentuh apapun.

Usaha itu akhirnya menggerakkan hati Dika sedikit dan dia memindahkan sebagian isi piringnya ke piring Hans. "Kita makan sama-sama." katanya.

Hans mengangguk kemudian meletakkan penjepitnya. Mereka makan tanpa mengeluarkan suara. Hening itu terasa memekakkan dan mata obsidian Hans terlihat sendu kembali.

"Hans." panggil Dika yang akhirnya tidak kuat dengan kepiluan di wajah itu. Mendengar panggilan itu Hans mengangkat wajah dan menatap Dika ingin tahu. "Kita punya dua bulan. Lu ngga perlu terburu-buru." lanjutnya.

"Karena cuma dua bulan makanya gue harus buru-buru." sahut Hans yang melihat dua bulan mereka dari sudut pandang yang berlawanan. Jika di mata Dika dua bulan itu adalah waktu yang lama, di mata Hans kebalikannya. Waktu itu terlalu singkat sehingga dia tidak tahu apakah bisa menggerakkan hati kekasihnya lagi secepat itu atau tidak.

"Lu bener-bener keras kepala. Gue ngga tahu lagi gue mesti gimana." keluh Dika.

"Tapi kalau gue ngga kayak gitu, lu bakal beneran ninggalin gue." sahut Hans membela dirinya.

Dika hanya bisa memutar bola mata. Hans tidak salah tapi itu menyebalkan.

Butuh waktu lama untuk menyelesaikan seafood tower itu. Selama makan, mereka diam lama atau hanya melempar satu dua kalimat. Dika masih dingin tanpa banyak menunjukkan ekspresi positif sementara Hans nelangsa melihat itu. Dia merindukan Dika yang tersenyum padanya. Setelah terpikir tentang hal itu, dia baru menyadari kalau senyum Dika sudah menghilang tujuh tahun dan tidak menunjukkan tanda kembali.

"Tapi kalau rumah itu tidak kamu berikan, dia akan merasa diasingkan oleh orang yang paling dia cintai. Apapun tidak bisa mengobati penderitaan itu."

Hans kembali mengingat apa yang dikatakan Farrel. Apa Dika merasa rumahnya sudah direbut darinya sehingga senyum itu tidak pernah muncul lagi?

Dengan menguatkan diri dan melawan ketakutannya, Hans membuka mulut. Dia mau menguji jika teori Farrel itu benar. "Ka, maaf gue udah merebut tempat yang harusnya cuma punya lu dan malah membuat lu merasa dibuang. Waktu itu gue bodoh dan ngga tahu kalau itu berharga. Setelah ini, gue ngga akan sebodoh itu lagi. Gue sebenarnya ngga pernah membuang lu, gue cuma melihat status nikah itu ngga penting. Buat gue tempat terpenting di hidup gue ngga pernah bisa diisi orang lain selain lu. Tapi gue salah. Gue seharusnya lebih mendengarkan pendapat lu tentang tempat yang penting buat lu dan ngga seenaknya."

Setelah mengatakan itu Hans menatap meja karena belum berani melihat reaksi Dika. Setelah satu menit menguatkan batin, barulah Hans mengalihkan pandangan ke Dika yang ada di depannya lagi. Saat itu dia melihat air mata. Kekasihnya yang begitu dingin sejak mereka bertemu di negara ini, akhirnya menumpahkan emosinya.

***

Burung Dalam Sangkar (BxB) [End-Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang