99. Kebebasan Sejati 3

208 33 13
                                    

Setelah mendengar keputusan Dika kemudian berkendara pulang, Hans masih berada di dalam keputusasaan yang sulit dijelaskan. Dia menoleh ke arah Dika beberapa kali dengan wajah penuh kepiluan namun tidak berani bicara. Dika sendiri tidak membahas apapun setelah mengatakan kalau semuanya sudah terlambat. Dia bahkan tidak menunjukkan ekspresi sama sekali.

"Apa gue benar-benar ngga punya kesempatan Ka? Apa gue segitu jahat dulu sehingga ngga bisa dimaafin lagi?" Tanya Hans akhirnya setelah tidak tahan.

"Entah. Mungkin gue aja yang terlalu picik. Mungkin gue butuh keajaiban biar bisa keluar dari perasaan gue ini." Sahut Dika datar.

Diapun tidak mau terkurung dalam sakit hati itu. Akan tetapi kekasih fantastisnya ini selalu tahu bagaimana cara membuat hidupnya seperti menaiki Histeria, dinaikkan perlahan-lahan dan kemudian mendadak dijatuhkan pada waktu yang tidak disangka. Setiap Hans menjadi baik, Dika tetap takut meskipun sudah meyakinkan diri kalau semuanya akan baik-baik saja.

"Bisa ngga dipertimbangkan lagi?" Rengek Hans sambil memegang kedua tangan kekasihnya.

"Hans, kalau lu sayang sama gue, penuhi permintaan gue. Bukannya lu udah janji?"

***

Di markasnya, Johan dan Theo kembali bermain kartu untuk menghabiskan waktu karena kepala mereka tidak sedang dalam mode kreatif. Kebuntuan pikiran itu akhirnya hanya menghasilkan diskusi tanpa ujung dan tanpa solusi di antara keduanya.

"Gue ngga percaya kak Renata akan mengusulkan pertandingan kayak gitu." Keluh Johan. Renata akan mengadakan pemilu untuk menentukan siapa yang mengkoordinir Underworld bulan depan. Hal semacam itu sangat tak terduga sehingga empat orang yang mendengar proposal itu perlu berpikir beberapa lama untuk memastikan Renata tidak bercanda.

"Ini bukannya merugikan kita ya?" Kata Theo membuat saudara kembarnya semakin pesimis.

Mereka berdua tidak punya skill sosial yang mumpuni untuk masuk ke dalam lingkungan masyarakat normal. Sikap mereka membuat orang yang melihat selalu jengkel. Bagaimana mungkin manusia seperti mereka bisa memenangkan pemilu? Kali ini Theo merasa dikhianati kakak kandungnya sendiri.

"Gue ngga mau mikir banyak. Masih sebulan lagi juga." Ujar Theo sambil melempar kartu terakhirnya.

"Gue juga ngga mau mikir sebenernya. Tapi gue ngga mau jadi bawahannya dua cewek itu." Kata Theo yang kalah dan akhirnya mengocok kartu.

"Santai! Jadi bawahan bukan berarti harus patuh bro."

"Bener juga yang lu bilang. Tapi gue tetap ngga mau kalah dari mereka."

"Nanti kita omongin lagi kalau udah nemu ide. Gue ngga ngerti yang gini-gini."

***

Pukul delapan malam, Renata duduk di salah satu meja restoran mewah yang ditata apik di tengah balkon yang menunjukkan pemandangan malam. Dia selalu menyukai pemandangan malam Jakarta yang sebenarnya palsu dan bisa memandanginya berjam-jam.

Tak lama, sekitar tiga menit setelah pukul delapan, seseorang memasuki balkon dan mengambil tempat di depan Renata. Melihat orang yang datang, Renata tersenyum dengan binar yang tidak disembunyikan sama sekali.

"Ternyata kita ketemu lagi, Ka. Ngga perlu waktu terlalu lama." Kata Renata pada laki-laki dengan rambut sebahu terurai di depannya.

"Iya. Gue ketahuan terlalu cepat. Ternyata Hans masih bisa ngenalin gue meskipun udah kayak gini. Harusnya gue tinggal di Tiongkok lebih lama." Sahut Dika kecewa.

"Mungkin kalian emang jodoh?" Komentar Renata santai tanpa mengetahui kalau orang di hadapannya sudah mengatakan putus tiga jam yang lalu. Dika tidak berniat untuk mengkoreksi itu sehingga diam saja. Tidak ada gunanya membuat diskusi yang terlalu panjang.

"Ngomong-ngomong, gimana kabar lu setahun terakhir?" Tanya Renata mengalihkan topik karena Dika terlihat tidak mau mengomentari pertanyaan sebelumnya.

"Biasa aja. Ngga ada yang penting. Lu sendiri gimana? Gimana rasanya kerja jadi CEO?"

"Ah, lu tahu sendiri kalau banyak yang mau bantuin gue. Tapi, gue tetap ngerasa lebih bagus kalau Hans aja yang ngurusin yang gini-gini."

"Oh." Sahut Dika sambil mengambil dumpling yang sudah disediakan di meja. Dia makan dengan santai karena hanya ada mereka berdua di tempat itu. Renata sepertinya menyediakan semua makanan kesukaannya sehingga dia tidak berbasa-basi dan langsung mengambil apa saja yang dia mau.

"Jadi, kenapa lu ngajak gue ke sini? Apa ada hal yang ngga boleh Hans tahu?" Tanya Dika setelah mereka menghabiskan beberapa lauk dan membicarakan hal-hal tidak penting.

"Gue perlu ngasi lu sesuatu yang penting. Ini mandat dari papa." Jawab Renata kemudian membuka tasnya.

Dika yang sedang meminum ricewine langsung menurunkan gelasnya. "Papa lu? Lukas?"

"Iya." Sahut Renata tanpa mengalihkan pandangannya dari tas yang sedang dia obrak abrik.

"Tapi gue ngga pernah ngobrol sama papa lu itu. Apa papa lu tahu gue?" Tanya Dika tidak yakin.

"Papa gue emang ngga banyak ngomong dan suka lupa nama orang. Tapi dia inget sama lu. Dia inget kalau lu nonton Love Maze bareng gue dan yang lain dulu. Lu masih inget kan? Permainan valentine yang lu kerjain itu." Ujar Renata yang sekarang sudah menemukan benda yang dicari. Setelah menjelaskan, dia meletakkan sebuah kotak beludru kecil di depan Dika.

"Ini dari papa. Buat lu. Katanya 'Semoga bahagia'." Kata Renata bersemangat.

Sementara Renata terlihat seperti kembang api yang meledak-ledak, Dika hanya memandangi kotak hitam di hadapannya dengan ekspresi bingung sekaligus tidak percaya.

"Asal lu tahu, papa gue itu seperti bisa melihat masa depan. Waktu papa mempercayakan ini ke gue, gue tahu kalau Hans bakal berhasil. Jadi gue ngga khawatir." Lanjut Renata semakin bersemangat.

Semangat itu begitu berkobar sehingga Dika tidak tega untuk menjelaskan kenyataan kalau dia dan Hans sudah putus dan dua minggu lagi dia akan kembali ke Spanyol. Dia hanya bisa menutup mulut mendengarkan Renata yang menjelaskan lebih jauh seberapa penting benda yang dia berikan pada Dika.

"Benda ini adalah benda paling penting yang ditinggalin papa. Gue denger papa perlu waktu lama milih benda ini dan sangat menyukainya. Awalnya gue kira yang dikasi bakal gue atau saudara-saudara gue. Ternyata ngga. Papa malah nitipin ke elu. Gue jadi iri. Tapi sekarang gue ngga iri lagi." Kata Renata berpanjang lebar. "Kenapa lu malah bengong? Buka aja." Renata akhirnya sadar kalau dirinya terlalu bersemangat sehingga Dika sibuk memperhatikannya dan tidak mengambil kotak itu.

Setelah Renata selesai dengan ocehannya, Dika akhirnya menjangkau kotak beludru itu. Benda itu terasa begitu lembut dan jelas dibuat dengan teliti. Kotak ini saja sudah terasa berbeda sehingga Dika penasaran dengan isinya.

Dengan hati-hati, Dika membuka tutup kotak itu karena takut akan merusak atau meninggalkan cacat. Tepat ketika itu, dia mendengar komentar Renata yang mengatakan kalau Hans juga membuka kotak apapun dengan cara yang sama. Karena tidak penting, Dika mengabaikan komentar itu dan melirik benda di dalam kotak yang sudah terlihat.

Di dalam kotak itu ada sepasang cincin pernikahan. Sepasang cincin itu berkilau begitu indah seakan menunjukkan kalau dirinya sangat mahal dan tak ternilai.

"Gimana? Papa gue bisa lihat masa depan kan? Mungkin papa tahu kalian bakal ketemu lagi dan akhirnya menikah jadi papa ngasi ini." Kata Renata ceria.

Meskipun mendengar, Dika tidak bisa bereaksi. Dia terlalu fokus pada kotak di depannya dan menjangkau lipatan kertas kecil yang menemani sepasang cincin itu. Ketika dibuka, dua baris tulisan tangan terlihat.

"Semoga ini bisa menjadikan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin."

Begitu membaca itu, Dika langsung bisa menebak. Lukas memberikan ini bukan karena yakin mereka akan menikah. Dia memberikannya karena mereka akan mengalami tantangan.

***

Burung Dalam Sangkar (BxB) [End-Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang