101. Menjangkau Apapun

206 30 1
                                    

Ketika membuka mata, Hans duduk di sebuah limousine dengan tempat duduk nyaman dan kumpulan snack di atas meja. Jendela menunjukkan pemandangan lalu lintas yang biasa Hans lewati dulu ketika masih SMA. Karena merasa suasana itu familiar, dia meneliti sekitar dan mendapai kalau di mobil itu hanya ada dia dan seseorang yang duduk di sampingnya. Ketika Hans menoleh, orang di sebelahnya tersenyum dan membuat pikirannya langsung kosong. Tidak ada yang salah dengan senyum itu namun orang dia lihat seharusnya tidak akan pernah dia temui lagi.

"Apa ada masalah? Mau cerita?" Tanya Farrel yang kemudian menepuk kepala Hans perlahan.

Melihat ayah yang dia pikir sudah pergi, Hans tidak bisa langsung menjawab dan memperhatikan Farrel baik-baik. Farrel di hadapannya adalah Farrel yang bertahun-tahun yang lalu mengantarnya ke sekolah. Belum banyak rambut ayahnya yang memutih dan wajah itu bebas dari kerutan. Yang terpenting, cahaya mata Farrel masih keras kepala seperti tidak akan dikalahkan apapun.

Dengan semua ciri itu, Hans mengambil sebuah kesimpulan. Ini hanya mimpi.

Meskipun hanya mimpi, Hans bersyukur bisa melihat pemandangan ini.

Dia menatap Farrel takjub dan mengingat kalau ayahnya akan selalu duduk di sebelahnya jika di dalam mobil seperti ini. Farrel akan banyak bercerita dan juga mendengarkan apa yang dialami anak-anaknya di sekolah. Perjalanan selama satu jam itu seringkali menjadi waktu terpenting di antara mereka.

Setelah beberapa lama hanya memandangi ayahnya, Hans akhirnya mengatakan sesuatu.

"Ayah bohong. Ayah bilang kalau aku membukakan duniaku dan menyerahkan seluruh diriku, dia akan kembali. Tapi dia ngga mau kembali lagi. Aku ditolak dan akan ditinggalkan." Keluh Hans. Mimpi ini adalah tempat terbaik untuk menyampaikan semua kekecewaannya. Meskipun tidak akan mendapat jawaban yang diinginkan, Hans cukup puas bisa mengeluh.

"Ayah ngga bohong. Itu benar." Sahut Farrel tanpa keraguan.

"Kalau gitu, kenapa dia bilang dia ngga bisa memaafkanku dan mau menghentikan semuanya?" Hans yang tidak puas bertanya lagi.

"Hans, ada satu hal yang harus kamu punya untuk berhasil dalam hal apapun. Kalau kamu ngga punya itu, semua usahamu ngga akan ada artinya."

"Apa lagi?" Tanya Hans. Dia mulai merasa dipermainkan. Kenapa ada syarat tambahan setelah semua saran yang sudah dikerjakan?

"Kesabaran." Jawab Farrel singkat. Jawaban itu berhasil membuat Hans berhenti mengeluh dan menutup mulutnya yang sudah terbiasa protes pada ayahnya. Karena dia berada dalam mimpi ini, dia jadi ingat kalau dia tidak banyak menggerutu pada orang lain tapi spesial pada ayahnya, dia selalu melawan dan tidak sabaran.

Setelah anaknya terlihat mau mendengarkan, Farrel melanjutkan. "Kamu perlu menunggu dengan sabar." Kata ayahnya penuh nilai kebenaran.

Farrel seakan tahu apa yang terjadi dan memberikan jawaban yang memang sangat dibutuhkan Hans untuk saat ini. Karena itu, Hans yang tadinya mengira semua yang dilihat hanya mimpi, berubah menatap ayahnya dengan penuh kerinduan.

"Yah, kenapa ayah meninggalkanku begitu cepat?" Tanya Hans

Sayangnya pertanyaan itu tidak dijawab. Setelah mengucapkannya, Hans melihat sekitarnya pecah menjadi berbagai campuran warna yang kemudian menelannya. Karena panik, dia akhirnya terbangun.

Dia membuka mata dan melihat langit-langit apartemen. Mimpi itu sudah berakhir. Kehadiran ayahnya hanya sebentar kemudian terhapus seperti kabut yang menyambut matahari.

Setelah menenangkan diri dan berkedip beberapa kali, Hans mulai bisa meneliti sekitar. Dia melihat apartemennya yang biasa dan berkas cahaya matahari yang menembus kisi jendela. Tangannya digenggam dengan hangat oleh kekasihnya yang tertidur dengan posisi duduk dan kepala di atas kasur. Melihat pemandangan yang menghangatkan hati ini, Hans mengeratkan genggaman tangan mereka kemudian bangkit.

Setelah duduk nyaman, dia memperhatikan kekasihnya yang sebelumnya mengatakan akan pergi. Dia masih tidak bisa menerima itu dan mendekat untuk melihat lebih jelas ekspresi Dika yang tertidur. Wajah Dika terlihat letih dan matanya sembap. Kekasihnya itu sepertinya sempat menangis entah karena apa. Ada saja yang membuat kekasihnya ini bersedih. Melihat bekas kesedihan itu, Hans menyentuh pipi kekasihnya dengan tangan yang masih bebas dan membuat Dika membuka mata perlahan.

Tak perlu waktu lama bagi Dika untuk membuka mata dan menyadari sekitar. Begitu sadar seratus persen, dia bangun dengan cepat dan menatap Hans dengan mata terbuka lebar.

Tanpa mengatakan apapun, Dika melepaskan pegangan tangan mereka dan menyentuh wajah Hans dengan kedua tangannya. Hans agak kaget dengan reaksi itu karena Dika terlihat cemas. Dengan wajah lugu tanpa memahami apapun, dia membiarkan saja Dika menyentuh pipi, kening, leher dan dadanya sesuka hati. Setelah selesai melakukan hal aneh itu, Dika pun berhenti dan menghela nafas lega.

"Lu istirahat dulu. Gue mau nyuruh orang bawain sarapan. Setelah makan, lu perlu minum obat. Dokter bilang lu ngga boleh stress jadi jangan mikir aneh-aneh." Jelas Dika sambil menurunkan tangan. Ketika tangan kekasihnya turun, Hans menangkap kedua tangan itu kemudian menunjukkan wajah memelas.

"Gue ngga akan mikir macam-macam kalau lu ngga ninggalin gue." Rengeknya sambil memegang tangan Dika erat.

"Gue ngga akan kemana-mana. Tapi ada beberapa urusan yang mesti gue beresin di Spanyol. Kalo lu mau, lu bisa nemenin gue." Jawab Dika.

Mendengar jawaban tak terduga itu, wajah memelas Hans berubah menjadi wajah tak percaya. "Bener? Ngga kemana-mana lagi? Ngga ninggalin gue lagi?" Tanyanya beruntun.

Dika mengangguk. "Gue ngga akan pergi tapi lu jangan bikin gue kesel lagi." Jawab Dika. Kali ini Hans mendengar kalau suara kekasihnya agak serak tapi tidak menanyai Dika masalah itu. Dia berfokus pada permintaan yang diajukan.

"Ngga. Ngga akan. Gue bakal berusaha untuk membuat lu selalu nyaman." Kata Hans sembil tersenyum. Dengan perasaan tenang, dia menarik tangan Dika agar naik tempat tidur.

"Gue perlu manggil orang untuk sarapan." Kata Dika menolak. Dia menarik tangannya.

Sayangnya Hans yang sempat mengira kekasihnya akan pergi, menjadi manja dan memunculkan puppy eyes penuh permohonan. Dia menarik tangan Dika lagi dan meminta agar ditemani lebih lama.

Sikap Hans itu akhirnya ditanggapi Dika dengan menghela nafas dan memutar bola mata dua kali, Dia akhirnya mengikuti kemauan Hans dan naik ke pangkuan kekasihnya. Mereka duduk berhadapan dengan wajah berjarak hanya beberapa centimeter. Dengan mengulum senyum, Hans menyisir rambut kekasihnya dengan satu tangan dan menyentuh pipi Dika dengan tangan yang lain.

"Apa ini artinya gue udah dimaafin? Apa gue punya kesempatan untuk menebus semuanya?" Tanya Hans dengan perlahan dan suara rendah.

"Iya." Sahut Dika dengan anggukan.

"Terima kasih." Bisik Hans lega. Dia mencium pipi kekasihnya dengan haru.

"Untuk ini, lu mesti berterima kasih pada papa lu."

"Papa? Lukas?" Hans bertanya-tanya. dia tidak mengerti bagaimana Lukas memiliki urusan dengan masalah hubungannya dengan Dika.

Kebingungan Hans tidak langsung dijawab oleh Dika. Dia mengambil kotak beludru hitam di atas meja kemudian membuka kotak itu di depan kekasihnya.

Melihat sepasang cincin yang dia ingat baik, Hans terkesiap. Dia kira cincin itu ikut dikubur di makam ayahnya atau disimpan Renata.

"Kenapa lu punya ini? Ini punya ayah dan Lukas kan?" Tanya Hans heran. Cincin unik itu tidak akan dimiliki orang lain sehingga Hans yakin.

"Ayah dan papa lu sudah merestui kita."

***

Burung Dalam Sangkar (BxB) [End-Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang