47. Untuk Kebahagiaan

245 31 2
                                    

"Kalau kamu ngga nyaman di sini, gimana kalau kita bicara berdua?" tanya Farrel.

Awalnya Hans mau menolak itu tapi dia ingat lagi kalau sudah berjanji pada Renata. Renata pun menatapnya penuh makna sehingga akhirnya dia dan Farrel menuju teras untuk mengobrol.

"Jadi, gimana sebenarnya kabarmu?"

"Ngga baik. Aku ngga mau dateng ke sini." Keluh Hans. Dia memang tidak mau datang ke tempat ini.

Karena ini kesempatan langka, Farrel melingkarkan tangan di pundak anaknya yang memboikotnya bertahun-tahun itu. Dia kemudian bercerita apa saja yang dilewati selama bertahun-tahun terakhir. Lukas yang tidak kelihatan menua sama sekali, Renata yang sering mencari perhatian Lukas sehingga Farrelpun cemburu, Si Kembar yang kurang ajar dan selalu menggerutu, semua itu mewarnai cerita Farrel yang tidak peduli pada wajah Hans yang semakin gelap.

"Kamu ngga berhak sebahagia itu." tukas Hans ketus akhirnya. Dia jengkel pada ayahnya ini yang tidak tersentuh rasa bersalah dan selalu melakukan apapun penuh kesenangan.

"Kenapa ngga boleh?" tanya Farrel lugu. "Semua orang berhak bahagia. Kenapa menghukum diri sendiri?" lanjutnya. Berbeda dengan perkiraan Hans, Farrel sebenarnya pernah mengalami siksaan yang begitu pedih ketika dulu dipaksa berpisah dari Lukas selama lima tahun. Karena hari-hari berat itu, tidak banyak lagi penderitaan yang bisa mengganggunya. Setelah Lukas kembali bersamanya, kesulitan apapun dihadapinya dengan tenang.

"Apa kamu ngga ngerasa kalau kamu egois?" tanya Hans setengah dongkol. Ayahnya yang bahkan bisa menggunakan anaknya untuk alat transaksi ini, hanya mementingkan dirinya.

"Ayah tahu. Semua orang bilang gitu." Jawab Farrel santai. Dia tidak melepaskan tangannya dari pundak Hans meskipun anaknya itu mau menghindar secara halus.

"Kenapa dulu ngga tetap nikah sama mama aja dan tetap pacaran sama Lukas. Toh pernikahan kalian ngga ngaruh apa-apa. Bukannya mending gitu? Kalau gitu, akupun bisa dapat keluarga normal." Gerutu Hans. Akhirnya dia mengatakan ini juga setelah lama. Stressnya akhir-akhir ini membuatnya lebih sulit mengontrol mulut.

Farrel diam beberapa saat untuk berpikir. Dia juga tidak tahu harus mulai menjelaskan darimana.

"Awalnya ayah ngga mikir jauh. Ayah cuma berpikir kalau itu ngga adil buat mamamu dan juga buat Lukas."

"Jadi waktu memutuskan itu kamu ngga mikirin anak-anakmu sama sekali?"

"Ngga." Jawab Farrel jujur. "Tapi setelah ngeliat kalian pun ayah ngga menyesal dengan keputusan itu."

"Gimana caramu ngga nyesel?"

"Kalian tumbuh jadi orang yang ngga perlu tertekan pendapat orang lain yang ngga penting kan? Kalian bisa melakukan apapun yang kalian suka tanpa beban. Bukan cuma itu, kalian semua juga sukses dengan apa yang kalian lakukan. Apa lagi yang perlu disesali? Meskipun suatu hari ayah meninggalkan kalian, ayah tahu kalian bisa tetap hidup dengan baik."

Hans tidak bisa berargumen tentang itu. "Tapi tetap aja aku merasa kamu perlu memikirkan kepentingan orang lain sesekali. Apalagi kalau orang itu anakmu."

"Hans, ayah ngga pernah ngga memikirkan kepentingan kalian."

"Iya. Tapi tetap aja kamu lebih mikirin kepentinganmu dan kepentingan Lukas." Sahut Hans dongkol.

"Kamu udah mirip Si Kembar sekarang." sahut Farrel.

Farrel tidak membantah pernyataan yang seringkali dia terima itu. Banyak orang yang menuduhnya menjadi durhaka karena cinta. Ada juga yang menganggapnya tidak dewasa karena mempertahankan orang yang dia cintai tanpa peduli pendapat sekitar. Namun, dia tidak merasa kalau jatuh cinta adalah dosa. Kenapa memisahkan orang yang jatuh cinta satu sama lain? Apa mereka semua baru puas ketika melihatnya sengsara? Kalau iya, untuk apa mendengarkan orang-orang yang mengharapkan kesengsaraannya?

Burung Dalam Sangkar (BxB) [End-Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang