76. Emosi

230 36 3
                                    

"Hans, lu brengsek. Apa gunanya lu ngomong ini sekarang?" kata Dika berusaha menghentikan air matanya. Namun, bukannya berhenti, emosinya malah makin tak terkendali.

Ketika Hans yang tidak mau mengerti akhirnya memahami setidaknya satu hal terpenting, bukannya bahagia, Dika malah sakit hati. Luka hatinya seakan dibuka lagi dan semua yang membuatnya kecewa berputar ulang di memorinya. Setelah semua hal-hal menyakitkan itu teringat, dia tiba-tiba menyadari satu hal. Dia sebenarnya tidak menginginkan banyak hal dari Hans. Dia tidak pernah meminta rumah mewah, galeri indah, kekayaan, dan banyak hal lain yang tidak berhenti diberikan padanya. Satu-satunya yang dia inginkan hanya orang di hadapannya.

Sayangnya dia terus menerus diingatkan kalau dia tidak pantas mendapatkan orang ini. Selalu ada alasan kenapa harapan itu tidak boleh dia peroleh dan kenapa Hans hanya akan menjadi bintang yang bisa ia lihat tapi tidak bisa ia miliki. Yang paling menyiksa, semua alasan itu datang dari bibir Hans sendiri. Yang merasa dia tidak layak mendapatkan kekasihnya adalah kekasihnya sendiri!

"Lu tahu kenapa gue ngga bisa sama lu? Karena gue ngga bisa percaya sama lu. Dibanding memperhatikan perasaan gue atau kebahagiaan kita, kemarahan lu lebih penting. Keinginan lu buat menunjukkan kalau lu bener bahkan jauh lebih penting. Gue tahu lu sayang sama gue dan guepun sayang sama lu. Tapi cinta kita itu ya cuma segitu nilainya. Ngga lebih penting dibanding apa yang benar menurut orang. Ngga lebih penting daripada apa yang bener menurut lu. Dan juga ngga lebih penting dari kemarahan lu itu. Kalau gitu siapa yang bisa gue harapkan? Kalau lu sendiri ngga mau menjaga kebahagiaan kita, gimana caranya kita bisa menemukan itu?"

Dika akhirnya menumpahkan semua perasaannya selama bertahun-tahun. Setelah lelah diabaikan dan dipaksa menjadi sabar melihat kehancuran kebahagiaan mereka di tangan Hans sendiri, akhirnya suaranya bisa dia teriakkan dengan lantang dan sampai di telinga kekasihnya yang sebelumnya tidak mau mendengar. Semua sakit hati yang dia tanggung sendiri selama bertahun-tahun akhirnya dibagi dengan kekasih di hadapannya.

"Gue tahu lu pengen gue pengertian dan mendukung lu. Tapi gimana mungkin gue mendukung lu kalau lu mau menghancurkan kita berdua? Apakah segitu egois kalau gue pengen bahagia dengan orang yang gue cintai? Apa gue segitu ngga pantas? Kenapa suara gue ngga pernah penting dan kebenaran lu lebih penting? Apa sejak awal kebahagiaan kita emang ngga pernah penting di mata lu? Apa sejak awal ngga apa-apa menghancurkan perasaan gue asalkan semua hal normal yang lu mau itu bisa lu dapet?"

Di hadapan Dika yang tidak bisa berhenti menumpahkan semua kekecewaannya, Hans membeku dengan hati berat. Kekasihnya benar. Dia memang mengabaikan itu semua. Tapi bukan karena itu tidak penting untuknya. Dia hanya berpikir semua akan bisa diperbaiki. Asalkan dia memberikan banyak hal semuanya akan terselesaikan.

Seakan membaca apa yang Hans pikirkan, Dika melanjutkan kata-kata emosionalnya.

"Jangan pikir, setelah mematahkan perasaan gue, gue akan bisa kembali seperti sebelumnya hanya karena gue pengertian. Gue ngga bisa bangkit dari ini meskipun gue pengen dan berusaha. Gimana caranya gue bisa jadi seperti semula lagi kalau gue dibuang dan dilukai oleh orang yang paling gue sayang? Gue mohon jangan buat gue melewati hal ini lagi. Kalau lu masih pengen mempertahankan ego lu itu, please lepasin gue. Gue ngga sanggup. Lebih baik lu ngga ada daripada lu ada di samping gue dan nyakitin gue terus. Gue bisa menguatkan diri kalau yang nyakitin gue adalah orang lain. Tapi kalau yang nyakitin gue itu elu, rasanya gue ga bisa hidup."

Setelah selesai mengucapkan semua itu, Dika merasa tenggorokannya serak dan kepalanya berdenyut kuat. Seluruh dirinya panas seperti terbakar api. Pusingnya membuatnya menunduk dengan kedua tangan berada di pelipis. Stress yang sebelumnya tersimpan rapi sangat lama, langsung meledak dalam waktu singkat sehingga dia tidak kuasa menahannya.

Meskipun kekasihnya terlihat menderita, Hans tidak bisa bergerak. Rasa kecewa dan sakit hati yang Dika tumpahkan menjalar ke dirinya dan membuat dadanya semakin berat. Dia ingin menjangkau kekasihnya tapi merasa tidak pantas untuk itu. Karenanya dia hanya bisa diam di tempatnya dan mendengar gumaman yang lebih menyedihkan.

"Apa salah gue sehingga gue harus dibuat sengsara karena obsesi dan kemarahan lu? Apa karena gue sayang? Apa ini hukuman karena gue jatuh cinta pada orang yang seharusnya ngga boleh gue cintai? Apa karena ini ngga normal?"

Gumaman itu akhirnya membuat Hans melupakan semua perhitungannya. Dia tidak lagi memikirkan apakah dia layak menjangkau kekasihnya atau tidak. Dia juga tidak lagi peduli pada rasa bersalah, kecewa, maupun rasa jijiknya pada dirinya. Kakinya bangkit berdiri dan mendekat ke arah Dika. Diapun memeluk Dika yang sudah terisak dan sepertinya tidak bisa keluar dari frustasi.

Hans membiarkan semua luka dan kecewa itu dijatuhkan padanya. Dengan beratnya rasa penyesalan, dia mengusap kepala Dika perlahan dan berharap kesedihan kekasihnya berkurang. Setelah cukup lama, isak pilu Dika perlahan-lahan berkurang dan digantikan tangisan yang lebih lirih yang seperti tidak bisa terobati. Kekasihnya itu kembali bertanya.

"Setelah mengorbankan semua yang kita punya, seberapa besar hal yang menurut lu bener itu bikin lu bahagia? Gue penasaran. Apa lu bahagia sekarang setelah semuanya ngga tersisa?" tanya Dika dengan suara lemah. Dia kehabisan energi untuk mengeluh, sakit hati, dan bersedih. Itu pertanyaan terakhir yang dia ucapkan. Sayangnya inipun tidak mampu Hans jawab meskipun dia tahu jawabannya.

Tentu saja kebahagiaan itu tidak ada. Kalau ada, dia tidak akan tenggelam dalam kekalutan selama satu tahun ke belakang. Kalau semua kebenaran maupun pembenaran itu bisa menggantikan apa yang hilang, dirinya tidak akan sekosong ini.

Karena merasa jawaban yang dia punya hanya akan melahirkan kesedihan baru, Hans tidak membahas satu pertanyaan pun yang diungkapkan oleh kekasihnya. Dia hanya terus mengelus kepala Dika dan mengatakan sesuatu yang dia rasa paling bijaksana.

"Maaf Ka, gue salah. Gue ngga akan mengulanginya lagi."

"Bohong." sahut Dika nyaris tak terdengar.

***

Hari ini, sehari setelah menerima informasi tentang lokasi ibunya, Javier kedatangan tamu terduga sekaligus tak terduga. Salah satu komandan pasukan elit di bawah Renata datang padanya dan mengutarakan kalau Renata mengirimnya untuk membantu Javier selama beberapa waktu ke depan.

"Perkenalkan, saya Silas. Saya dikirim oleh nona Renata untuk menjadi asisten jika dibutuhkan. Di bawah saya ada sejumlah pasukan elit yang memiliki skill untuk membantu berbagai operasi rahasia." kata Silas sopan. Kesopanan ini terdengar aneh di telinga Javier yang hanya punya bawahan kurang ajar.

"Ngga perlu terlalu resmi." kata Javier singkat. Dia memperhatikan Silas yang memakai setelan resmi rapi dari atas ke bawah seakan-akan orang ini akan menemui klien bisnis. Silas sepertinya bukan orang Indonesia. Matanya biru gelap dengan rambut berwarna hitam. Wajahnya sebenarnya menawan namun ekspresinya terlalu stoic. Melihat profil ini, Javier mulai ragu jika dia bisa memasukkan orang ini ke dalam timnya.

Silas yang paham akan perbedaan mereka, memberikan penjelasan lebih jauh. "Kami sudah berpengalaman melakukan berbagai operasi dan juga berpengalaman bekerja dengan banyak pihak termasuk Underworld. Bukan hanya itu. Kami adalah satu dari tiga tim yang diijinkan untuk membunuh."

***

Burung Dalam Sangkar (BxB) [End-Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang