85. Invasi dan Penyelamatan 2

196 24 4
                                    

Tidak perlu waktu lama bagi Silas dan timnya untuk berkendara dan kemudian memasuki markas yang terlihat kokoh. Dengan Alfi yang sudah mengacaukan sistem keamanan tempat itu, Silas hanya perlu masuk diam-diam tanpa mengusik terlalu banyak orang. Mereka bergerak cepat mengikuti jalur terpendek menuju ke area pusat, tempat Maria menghabiskan waktunya.

Jika rencana dadakan ini sukses, Javier akan datang menggunakan helicopter untuk membawa Maria pergi ke tempat aman.

Masalahnya, Silas harus menyelesaikan semuanya sebelum Javier sampai. Setidaknya dia perlu mematahkan beberapa perlindungan markas sehingga helicopter bisa mendarat dengan aman dan kemudian pergi dengan aman.

"Jadi tugasmu cuma duduk tenang di helicopter dan menunggu semuanya beres?" Tanya Silas tiga jam yang lalu ketika Javier menjelaskan rencana barunya. Dia protes karena boss utama operasi ini malah menjadi tidak berguna.

"Kamu ngga perlu mengatakan 'cuma'. Tugas ini tidak semudah yang kamu bayangkan." Jawab Javier agak jengkel.

"Ya aku percaya." Sahut Silas tidak serius. Dia terdengar meremehkan dan tidak percaya.

"Jangan banyak protes. Bossnya aku di sini." Kata Javier menunjukkan kekuasaan.

Kekuasaan itu membuat Silas harus menurut. Dia benci mafia tapi untuk kali ini dia wajib patuh pada mafia yang ini. Karena itulah dia sibuk di markas ini sekarang. Dalam waktu tiga puluh menit, dia sudah berhasil menembus setengah jalan tanpa halangan yang berarti. Penjagaan menjadi minim karena banyak yang bertugas mengejar bawahan Javier sehingga pengamanan dapat ditembus dengan mudah. Dia belum pernah mendapat misi segampang ini.

***

Tim Fay perlu tersasar beberapa lama sebelum akhirnya menemukan jalan kecil yang benar menuju markas yang menjadi target. Gara-gara tersasar, orang-orang yang mengejar mereka juga kehilangan jejak. Mereka ikut nyasar dan akhirnya terpencar ke berbagai arah. Oleh karenanya, Fay yang santai tanpa terancam pemburu akhirnya tidak ada yang menghalangi. Dia dan timnya sampai 45 menit setelah Silas menginvasi markas itu.

Melihat pintu yang terbuka lebar dan dua penjaga yang jatuh ke tanah, Fay mengarahkan bawahannya untuk masuk. Mereka tidak berusaha mengendap-endap sama sekali sehingga menarik perhatian beberapa orang yang tersisa. Meskipun begitu, dengan cekatan, tim itu melumpuhkan semua musuh yang datang.

Di tengah perjalanan, Fay kembali kehilangan arah. Dia malah tersasar ke ruang kendali dan menemukan beberapa orang sedang sibuk berkutat dengan berbagai tombol serta memberi perintah dengan panik. Tak lama, setelah kerja keras, belasan layar kembali memunculkan gambar. Saat itulah ada dua layar menunjukkan tim Silas yang sedang membuka sebuah pintu dengan pengamanan elektronik.

"Nyalakan alarm darurat." Perintah seseorang. Namun sebelum itu terlaksana, orang-orang di sana langsung diserang dan tidak sempat melakukan apapun. Beberapa jatuh ke lantai dan sisanya diikat. Alarm tidak jadi dinyalakan dan suasana markas terlihat aman tanpa ada gangguan.

Fay yang tidak melakukan apapun dan hanya mengandalkan bawahannya, melangkah ke dalam ruangan dan memperhatikan semua layar itu dengan penuh tanda tanya. Dia tidak paham hal-hal rumit seperti teknologi atau sistem seperti ini. Bukan hanya dia, bawahannya juga tidak ada yang paham. Mereka hanya orang yang menjadi mafia karena tidak paham hal lain selain berkelahi.

Untung saja tidak semua orang dibuat tidak sadar dan masih ada beberapa petugas yang bisa ditanyai.

"Bawa aku ke lokasi Maria." Kata Fay pada orang yang tadi kelihatannya memberi banyak perintah. Dia terlihat yang paling penting sehingga Fay bertanya padanya.

Sayangnya orang itu malah diam seribu bahasa dan membuang pandangan.

Ini membuat Fay menghela nafas berat. Dia sebenarnya tidak mau terlihat brutal. Bagaimanapun dia wanita normal yang ingin terlihat anggun, cantik, lemah lembut, dan penyayang. Namun orang di depannya ini menginginkan sisi brutalnya sehingga Fay terpaksa mematahkan satu jari sambil menodongkan pistol.

Setelah orang di depannya puas berteriak kesakitan, dia meminta lagi hal penting tadi.

"Jangan menantang kesabaranku. Bawa aku ke tempat Maria. Aku perlu menyelamatkan calon ibu mertuaku." Kata Fay dengan pandangan tajam.

***

Setelah lelah melukis, Maria hanya duduk di tempat dan memandang sekitar. Melihat wajah-wajah di dalam lukisan, dia menangis lirih sambil mengeratkan pegangannya terhadap kuas di tangannya. Dia tiba-tiba ingat pada putranya dan kejadian 17 tahun yang lalu ketika berhasil diselamatkan.

Saat itu dia berada di ruangan asing dan masih belum bisa menggerakkan badan. Tangannya ditusukkan infus dan yang ada di sekitarnya hanya petugas kesehatan beserta Alvaro. Dengan lugu dia bertanya kapan bisa pulang sehingga dia segera bisa tahu keadaan Javier yang ditinggalkan. Bukannya mendapat informasi yang bisa menenangkannya, yang didapat malah perintah aneh dari kekasihnya.

"Kamu tidak akan pulang. Itu hanya akan membahayakanmu. Aku sudah menyediakan tempat yang aman dan memastikan tidak akan ada yang bisa menemukanmu di sana." Kata Alvaro seperti menjatuhkan titah. Wajahnya tanpa ekspresi dan matanya dingin. Dia tidak menerima protes maupun penentangan.

"Gimana dengan Javier? Apa dia ikut juga?" tanya Maria.

"Javier akan dididik di Madrid. Dia berbakat jadi aku mempertimbangkannya untuk menjadi pewaris. Dia tidak akan pergi denganmu." jawab Alvaro.

"Tapi kalau begitu, dia akan sendirian." Maria mulai takut pada apa yang direncanakan kekasihnya itu.

"Dia perlu belajar untuk tidak tergantung pada siapapun dan tidak boleh punya kelemahan. Kasih sayangmu hanya akan membuatnya mudah untuk dijatuhkan. Jadi, untuk kebaikannya, jangan kembali lagi. Kamu tidak perlu banyak khawatir karena aku akan menjaganya dengan baik." jelas Alvaro dengan suara jernih dan lancar. Ketika Maria akan protes lagi, Alvaro menatapnya tajam dan secara implisit menyuruhnya menutup mulut.

Setelah itu, Alvaro benar-benar tidak membiarkan Maria untuk kembali. Maria memang aman tanpa ada bahaya yang mampu menjangkau di tempat terpencil itu. Dia juga tidak perlu menghadapi semua perempuan milik Alvaro lagi. Namun, tetap saja hatinya kosong. Lama kelamaan dia jadi stress karena tidak bisa melihat bagaimana kondisi putranya yang masih terlalu kecil ketika ditinggal.

Awalnya Maria menghibur diri dan mengatakan pada dirinya kalau ini yang terbaik. Alvaro menjaga semua anak-anaknya dan tidak membiarkan mereka dirundung. Namun, setelah beberapa lama, dia tidak lagi bisa melihat kebaikan di dalam pengaturan itu. Bagaimana mungkin memisahkan anak dari ibu mereka adalah hal yang bijaksana? Dia memang tidak bisa memberikan uang maupun keamanan seperti Alvaro, tapi bagaimana jika Javier kesepian?

Karena tidak kuat lagi, Maria akhirnya protes juga meskipun dia masih takut pada kekasihnya itu.

"Aku mau menengok Javier. Kamu tidak boleh menghalangiku." kata Maria ketika Alvaro menelefonnya.

"Tidak bisa." jawab Alvaro tegas.

"Bawa aku pada anakku! Aku tidak bisa hidup kalau kamu memenjaraku seperti ini!"

"Jangan meminta hal yang tidak mungkin. Sudah aku bilang kalau kamu hanya beban jadi jangan melawan."

"Bagaimana mungkin kamu mengatakan kalau seorang ibu adalah beban anaknya?"

"Di duniaku, kasih sayang adalah beban, Maria."

"Kalau begitu jangan bawa Javier ke duniamu!"

Namun Alvaro tetap keras. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk membujuk manusia berdarah dingin itu. Apapun yang Maria katakan dan minta hanya masuk ke telinga tuli.

***

Burung Dalam Sangkar (BxB) [End-Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang