94. Kompensasi

201 28 9
                                    

Silas yang ambruk di tengah jalan akhirnya berhasil membuat Javier melupakan patah hatinya. Javier jadi sibuk dan melupakan semua keresahan karena manusia itu tidak bisa pulang ke hotelnya sendiri. Sayangnya pemabuk itu memberontak ketika digendong sehingga kerja tanpa bayaran ini menjadi sulit.

"Put me down!" protes Silas meskipun dia sendiri tidak bisa berdiri dengan benar.

"Bisa ngga kamu kalem sedikit?" tanya Javier emosi. Dia sudah hampir jatuh tiga kali gara-gara pemberontakan ini.

"Ngga mau. Aku mau jalan sendiri." Silas masih tidak menurut dan berusaha melepaskan diri.

"Bilang itu kalau kamu bisa jalan." kata Javier yang susah payah menjaga keseimbangan.

Keduanya bertengkar seperti itu sepanjang jalan hingga Javier sampai di hotel tempat Silas menginap. Untungnya Alfi ada di kamar dan belum tidur sehingga ada yang membukakan pintu.

"Kamu harusnya tidak membiarkan bossmu ini mabuk. Dia hampir membunuhku di jalan" kata Javier pada Alfi yang terlihat mengantuk. Orang itu perlu mengawasi Silas lebih baik.

"Dia biasanya tidak seceroboh itu." sahut Alfi tidak percaya sambil menguap.

"Orang ini hampir memotong leherku." keluh Javier ketika masuk kamar. Dia kemudian berjalan ke arah kasur dan menjatuhkan pemabuk yang dia pungut di jalan ke tempat tidur. Begitu berbaring di atas kasur yang nyaman, Silas menggumam. Gumaman itu tidak bisa Javier pahami karena bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia.

"Sejak tadi dia menggerutu tidak jelas. Aku tidak paham sama sekali." kata Javier lagi begitu Alfi selesai menutup pintu dan mendekat.

"Jangan dipikirkan, dia hanya sedang merindukan ayah angkat kami." sahut Alfi. "Aku akan mengurusinya. Terima kasih sudah membawanya kemari."

"Aku capek, biarkan aku duduk sebentar." kata Javier yang kemudian duduk di kasur Silas. Dia tidak lagi punya energi untuk bergerak ke tempat lain. Begitu duduk, Silas malah memeluknya erat. Ini membuatnya dongkol. Orang ini terus menerus menyusahkannya. Dia harus minta kompensasi ketika orang ini sadar besok.

Melihat kesulitan Javier, Alfi akhirnya berusaha melepaskan Javier dari Silas yang keras kepala. Sayangnya mereka tidak berhasil. Silas masih memeluk erat tanpa bisa digeser.

"Sorry." kata Alfi yang akhirnya menyerah. "Kamu bisa tidur di sini kalau Silas masih tidak mau melepaskanmu. Ngga apa-apa kok." lanjutnya. Bagaimanapun sudah malam sehingga Alfi langsung mengabaikan Javier kemudian pergi ke kasurnya tanpa peduli lagi. Kepalanya sudah mulai pusing dan matanya sudah menuntut untuk dipejamkan.

"Hey. Ini tidak bertanggung jawab." seru Javier dongkol atas Alfi yang melarikan diri. Sayangnya malam sudah sangat larut sehingga Alfi yang tidak mampu menahan kantuk tidak mau memikirkan hal rumit. Pada akhirnya Javier hanya bisa menunggu hingga Silas benar tidur sebelum melepaskan tangan gurita yang mengekangnya.

"Aku mencintaimu, Lukas." gumam Silas mengatakan satu-satunya kalimat Bahasa Indonesia yang Javier pahami.

Mendengar gumaman itu, Javier spontan menoleh ke arah orang yang keras kepala memeluk pinggangnya. Silas ternyata bagian dari barisan sekian banyak orang yang menjadi korban Rembulan. Pantas saja dia terlihat emosional ketika menatap bulan purnama. Siapa sangka manusia serius ini menyimpan perasaan pada orang yang tidak mungkin akan membalas dan seharusnya tidak boleh dia sukai.

Betapa kasihan. Lebih kasihan daripada dirinya yang baru saja putus.

***

Tempat tidur Hans yang biasanya dingin kini terasa lebih hangat karena kehadiran Dika di tempat itu. Melihat kekasihnya yang tidak lagi membuat batas di antara mereka, Hans merasa tenang. Dika sudah kembali ke sisinya. Meskipun Dika yang kembali adalah Dika yang membawa kekejaman untuknya, entah kenapa hatinya damai.

Sambil memandangi wajah kekasihnya yang menutup mata, Hans berbisik, "Ka, jangan pergi lagi ya."

Dika yang hanya menutup mata dan belum benar-benar tidur, menyahuti permintaan Hans itu. "Kalau lu memperlakukan gue selayaknya orang yang lu sayang, gue ngga akan kemana-mana. Jadi jangan bikin gue kecewa lagi kalau lu beneran pengen gue selalu sama lu." katanya setengah menggumam.

"Iya. Gue ngga akan ngecewain lagi."

***

Pagi menjelang siang, Silas terbangun dengan kepala seperti mau pecah. Tanpa membuka mata, dia masuk ke kamar mandi dengan meraba-raba tembok. Setelah selesai mengguyur dirinya, barulah dia merasa baikan. Karena sudah lebih segar, dia mengganti pakaian dan kemudian kembali ke kamar. Ketika keluar kamar mandi, dia melihat Javier tidur di sofa.

Orang itu tidur lelap dengan nyaman meskipun kakinya menggantung di tepian. Rambutnya terlihat lebih berantakan daripada biasanya dan dia memeluk bantal. Keberadaan Javier itu membuat Silas bertanya-tanya. Bagaimana caranya orang itu sampai di sini?

Ketika Silas masih kebingungan, pintu kamar terbuka dan Alfi masuk membawa sarapan. "Udah baikan?" tanyanya begitu melihat Silas.

"Udah ngga begitu pusing." jawab Silas. Dia kemudian bertanya tentang orang yang tidur di sofa mereka. "Kenapa orang ini di sini?"

"Kamu ngga ingat? Dia membawamu pulang kemarin waktu kamu terlalu mabuk. Berterima kasihlah nanti." jawab Alfi yang kemudian membuka sarapan dan menjejerkannya di atas meja pendek di depan sofa.

Sementara Silas mengingat-ingat apa yang terjadi ketika mabuk, Alfi membangunkan Javier untuk ikut sarapan dengan mereka. Dia mengguncang pundak Javier beberapa kali sebelum orang itu bangun dan mendudukkan diri sambil menguap.

"Ayo sarapan dulu." ajak Alfi sambil menyodorkan sekotak sarapan.

Setelah mereka bertiga duduk dan membuka sarapan masing-masing, Silas masih belum bisa mengingat satupun kejadian malam kemarin. Semua memori yang berkaitan dengan Javier sepertinya hilang. Meskipun kini Javier menatapnya dengan pandangan aneh, dia masih belum tahu harus memberi tanggapan apa. Karena semakin lama dia semakin merasa tidak enak, dia akhirnya membuka mulut.

"Jav, terima kasih sudah menolongku kemarin." kata Silas dengan nada tenang dan serius yang khas.

"Itu aja? Apa kamu ingat kalau kamu menggunakan pisau untuk mencoba memotong leherku kemarin? Kalau aku orang biasa, hari ini mungkin pemakamanku." sahut Javier seperti orang yang akan menagih hutang.

Silas melebarkan mata. Dia tidak ingat kalau sudah melakukan hal berbahaya seperti itu. Apa orang ini serius?

"Benarkah?" tanya Silas ragu.

Javier tidak menjawab pertanyaan itu dan hanya mengeluarkan pisau lipat yang dia sita dari Silas ketika menyelamatkan nyawanya. Dia melempar benda itu ke meja. Melihat saksi bisu itu disodorkan padanya, Silas tidak punya pilihan lain selain minta maaf.

"Sorry, aku tidak sadar dan mungkin mengira kamu adalah orang berbahaya kemarin." katanya.

"Jadi, gimana kamu mau membayarku soal ini? Bukan itu aja. Punggungku hampir patah karena menggendongmu kemarin. Aku perlu kompensasi yang besar." ujar Javier yang kini mengabaikan sarapannya.

Tentu saja Silas tidak tahu apa yang perlu dilakukan untuk membayar itu. Wajahnya masih tanpa ekspresi dan dia berkedip beberapa kali. Mata biru lautnya terlihat mencari solusi.

Solusi itu sepertinya sulit Silas temukan sehingga Javier menawarkan sesuatu. "Gimana kalau gini aja. Aku sedang patah hati karena putus. Untuk membayarnya kamu bisa menghiburku. Daripada mengharapkan rembulan yang menggantung tinggi di langit dan tidak mungkin dijangkau, bukannya lebih baik mencoba pacaran denganku?" kata Javier.

Apa yang dikatakan itu begitu tidak terduga sehingga Silas melebarkan mata dan Alfi berhenti makan.

"Gimana caranya kamu bisa tahu?" tanya Silas kaget.

"Salahkan dirimu yang mabuk kemarin malam."

***

Burung Dalam Sangkar (BxB) [End-Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang