77. Silas

222 32 8
                                    

"Aku tidak terbiasa dengan formalitas dan tidak banyak memberi komando. Kalian harus bisa berpikir sendiri tentang apa yang harus dilakukan ketika saatnya tiba. Yang aku butuhkan adalah orang-orang kreatif yang tahu kalau mereka perlu menyerang ketika ada kesempatan dan melarikan diri jika ada bahaya tanpa harus diperintah terlebih dahulu. Jika kalian berharap aku memikirkan kalian terlalu banyak, kalian mungkin mati sebelum kalian ketahui." Jelas Javier yang masih belum percaya pada orang di hadapannya. Dia sudah terbiasa melakukan apapun dengan tim kecil sehingga penambahan jumlah belum tentu menghasilkan hal yang lebih baik.

"Jangan khawatir. Kami lebih mumpuni dibandingkan yang kamu pikirkan. Aku percaya pada anak buahku." Kata Silas dengan ekspresi tidak mau diremehkan. Dia mendengar kata 'kreatif' yang diucapkan Javier seperti penghinaan. Orang ini berprasangka dan mengira timnya sebagai tim militer biasa yang hanya bergerak mematuhi perintah.

"Kalau boleh jujur, aku paling tidak suka bekerja sama dengan tipe sepertimu. Bisa tidak Renata mengirimkan orang lain?" tanya Javier tanpa peduli pada perasaan orang di depannya. Setelah berhadapan dengan banyak polisi dan militer, dia menumbuhkan rasa tidak suka pada sesuatu yang teratur dan birokratis. Karenanya manusia bertampang birokrat di depannya ini mengganggu penglihatannya dan terlihat menyebalkan.

Meskipun makian berbagai bahasa sudah memenuhi kepala Silas, dia yang sudah ditempa menjadi manusia penuh kesantunan, tidak menanggapi cemoohan Javier dengan sikap tidak sopan. Sebaliknya, masih dengan suara yang menenangkan, dia menyahuti pertanyaan itu dengan data. Dia kemudian berbicara seperti membaca laporan statistik.

"Berdasarkan data tiga tahun terakhir, timku adalah yang terbaik di bawah Atmajati. Kami menyelesaikan sebelas misi dengan hasil memuaskan dalam waktu 75% lebih singkat dibanding perkiraan tanpa ada anggota yang meninggal. Jika kamu menginginkan tim dengan performa lebih buruk, silahkan ajukan permintaan."

Javier yang tidak suka angka, cukup jengkel mendengar jawaban itu. Semakin lama, orang di depannya semakin jauh dari rekan tim yang dia inginkan. Dengan malas, dia mengajukan pertanyaan lain. "Tiga tahun terakhir? Kenapa tahun-tahun sebelumnya tidak kamu sebutkan?"

"Karena bukan aku komandannya. Aku hanya menceritakan tentang apa yang bisa aku capai dan bukan kegagalan orang lain." jawab Silas tenang seakan tidak menceritakan pencapaiannya dengan angkuh.

Kesombongan itu membuat Javier menatap lurus-lurus orang di depannya dengan pandangan mengintimidasi. Pembicaraan tadi tidak penting sama sekali. Yang penting adalah seberapa kuat mental orang ini.

Pandangan predator Javier dibalas pandangan dalam Silas yang seperti laut tak bergelombang. Sebagai komandan pasukan terbaik di divisinya, dia tidak akan takut pada seorang mafia meskipun mafia di depannya adalah Underboss dari wilayah yang ia injak sekarang. Seperti laut yang bisa menenggelamkan apa saja, ekspresi Silas tidak terganggu sama sekali.

Reaksi langka ini membuat Javier tersenyum. Sejauh ini, hanya Rio yang masih cukup tenang menghadapi pandangannya. Silas adalah manusia langka. Karenanya dia akan menerima orang kepercayaan Renata ini.

"You are in. Tapi aku tidak menjamin apapun atas keselamatanmu dan timmu."

"Itu tidak masalah."

***

Sehabis menguras seluruh emosi hingga matanya bengkak dan suaranya serak, Dika yang baru sadar kalau mereka sudah mengundang tatapan mata dari segala penjuru, menarik Hans keluar dari restoran. Sekarang karena logikanya sudah pada tempatnya, dia tidak mau memperlihatkan drama di depan orang-orang asing.

"Kita ngga usah lihat dino hari ini. Gue udah badmood." kata Dika dengan suara hidung. Efek kondisi emosional tadi masih menyisakan bekas.

Hans tidak menjawab apapun dan hanya mengikuti langkah kaki Dika.

"Kenapa lu ngga pulang? Gue udah bilang kalau kita ngga akan lihat dino hari ini." tukas Dika kesal.

Merasa masih perlu menghibur kekasihnya, Hans tidak menjauh dan malah mendekat. "Gue mau nemenin lu." katanya. Tidak mungkin dia meninggalkan Dika setelah melihat seberapa emosional kekasihnya itu tadi.

"Ya sudah." kata Dika ketus kemudian berjalan tanpa tujuan.

Mereka menyusuri jalan Madrid yang sepi dengan suara langkah bersahut-sahutan. Langkah Dika terdengar tidak teratur sedangkan Hans terdengar berjalan dengan ritme yang homogen. Di jalan sempit itu, mereka melewati beberapa restoran lokal yang menjual paela, galeri keramik, toko mainan, dan juga tukang jahit. Sepanjang perjalanan Dika terlihat masih bersungut-sungut sampai akhirnya mereka keluar dari gang kecil dan masuk ke tengah keramaian lagi.

Sebuah katedral terlihat di hadapan mereka dengan banyak turis berlalu lalang. Di depan pemandangan itu, Dika berhenti.

"Hans, gue capek." keluh Dika. Matanya menerawang ke arah Katedral itu. Wajahnya merengut.

"Perlu gue gendong?" tanya Hans lugu.

"Bukan itu yang gue maksud." sahut Dika. Dia kembali menjadi ketus dan temperamental.

"Kita bisa duduk dulu kalau lu capek" kata Hans menawarkan solusi.

"Gue capek sama lu goblok!" bentak Dika akhirnya.

"Maaf." jawab Hans singkat. Dia kembali memasuki mode penurut.

Dika makin emosi karena mendengar kata maaf lagi. Hari ini sudah terlalu banyak kata maaf yang Hans ucapkan sehingga Dika sekalipun lelah mendengarnya. Dia sebenarnya tidak ingin menjadi seperti ini namun entah kenapa sulit sekali menghentikan amarah.

"Ka, gimana kalau kita balik ke galeri?" tanya Hans yang melihat kekasihnya menjadi kacau. Dia mulai bertanya-tanya jika seharusnya dia tidak mengatakan apa yang tadi sudah dikatakan di restoran.

"Gue belum pengen balik."

"Terus lu pengen apa?"

Pertanyaan itu membuat Dika terdiam. Diapun tidak tahu apa yang diinginkan. Kepalanya masih dipenuhi dengan banyak hal. Sayangnya tidak satupun dari hal-hal itu adalah sesuatu yang menyenangkan.

Melihat kebingungan Dika, Hans memegang tangan kekasihnya kemudian bicara. "Kalau lu masih marah, lu boleh pukul gue. Gue akan terima."

Penawaran itu terdengar menggoda namun setelah Dika merasakan badan Hans yang tidak seperti setahun yang lalu, tidak mungkin dia setega itu. Meskipun tangannya kadang bergerak sendiri, itu hanya terjadi kalau dia gelap mata. Selain itu, dia tidak akan kasar.

Karena Dika masih diam, Hans menariknya berjalan ke arah florist di dekat situ. Kumpulan bunga berbagai warna terlihat sumringah dan segar. Krisan yang berwarna ungu tua terlihat mencolok sementara yang berwarna pink terlihat lugu. Ada juga lavender, magnolia, dan lain sebagainya. Di tengah semua pilihan yang ada, Hans mengambil beberapa mawar putih kemudian meminta floris untuk menatanya.

Mawar putih sebenarnya kesukaan Hans dan bukannya Dika. Namun, setiap kali Hans membawakan bunga itu untuknya, Dika merasa kalau Hans sedang mengutarakan cinta. Hans selalu seperti itu. Dia tidak tahu banyak pembicaraan dan selalu memberi, memberi, dan memberi. Setiap panik dia akan mencari hadiah dan memberikannya. Karena itulah rumah Dika di Jakarta dipenuhi banyak barang mahal yang kemudian dia hancurkan kalau kesal.

Setelah selesai membayar, Hans kembali ke hadapan Dika dan memberikan bouquet bunga itu. Dika tidak langsung mengambilnya dan protes. "Hans, yang gue mau bukan hadiah."

"Gue tahu. Tapi gue tetap pengen kasi ini." Hans mengambil tangan Dika dan meletakkan bunga itu di atas telapak tangan kekasihnya. Setelah selesai, dia melanjutkan. "Gue ngga pernah dimiliki orang lain, Ka. Gue cuma milik lu seorang. Setelah ini, gue juga akan bikin semua orang tahu itu. Jadi, jangan bersedih lagi."

***

Burung Dalam Sangkar (BxB) [End-Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang