90. Turning Point

210 27 5
                                    

Di atas tempat tidur yang dilapisi dengan sprei polos berwarna biru donker, Dika terlihat seperti mutiara. Tanpa mengenakan apapun, kulit putihnya yang bersemu merah menjadi kontras dengan kain di bawahnya. Ditambah dengan Hans yang sudah mengkhayalkan kekasihnya begitu lama, ketampanan Dika berlipat-lipat lebih menawan di matanya.

Sambil menatap Dika yang terlihat semakin tersipu, Hans menyentuh kedua sisi pinggang kekasihnya kemudian mengusapnya turun. Kedua tangan itu menggelitik beberapa area di bawah pinggang Dika dan membuat kekasihnya itu menatapnya penuh keinginan.

Lama-kelamaan, pandangan Dika semakin panas terutama ketika Hans menekuk lututnya dan mencium pahanya. Playboy tampan itu selalu tahu caranya menggoyahkan iman. Seluruh tulang belakang Dika bergetar dibuatnya ketika ciuman tadi diperdalam dan kekasihnya itu menggigit kecil paha bagian dalamnya dengan mata berkilat tajam. Ekspresi Hans seakan mengatakan, "Gimana? Suka?"

Tentu saja Dika suka. Meskipun otak logisnya penuh dengan hinaan pada dirinya yang menikmati sentuhan berdosa ini, meskipun dia tahu kalau dia dijerumuskan oleh iblis, tidak ada pilihan lain untuk Dika selain menyukai semua sentuhan merangsang dari Hans yang tahu betul apa yang perlu dilakukan. Di hadapan Hans yang sudah sangat dekat dengan area berbahaya, Dika hanya bisa menyentuh rambut hitam kekasihnya dan bernafas lebih berat.

Setelah meninggalkan beberapa bekas tambahan, Hans mencium bibir Dika dalam sambil meremas kuat sepasang daging yang menjepit zona terdalam tubuh kekasihnya. Dia sebenarnya sudah ingin menjadi brutal tapi mencoba bersabar agar bisa memberikan malam yang indah untuk kekasihnya yang sudah lama menghilang. Kekasihnya ini akan dibuatnya tidak bisa melupakan betapa manisnya percintaan mereka malam ini.

Tak lama setelah bibir mereka bersentuhan, sepasang mata cokelat tua Dika terlihat semakin basah. Kekasihnya ini sudah tak kuasa menginginkannya. Melihat itu, Hans mengarahkan jemarinya untuk membuka jalan masuk sekaligus menjangkau titik paling sensitif di dalam tubuh Dika. Begitu titik itu tersentuh, kekasihnya langsung melepaskan ciuman dan mengerang. Tangan Dika memeluk erat dan mulai mencakar punggung Hans.

Erangan tidak berdaya kekasihnya membuat kepala Hans dipenuhi hal-hal liar. Namun, sekali lagi dia harus sabar. Dia tidak boleh melukai Dika pada malam berharga ini.

Perlahan-lahan, setelah membawa nafsu kekasihnya semakin tinggi, kesabaran itu akhirnya membuahkan hasil. Dika memeluknya erat dan mengeluh, "Hans, lu nunggu apalagi?"

Hans menunggu keluhan itu. Dia menunggu keluhan itu terucap sebelum menyatukan tubuh mereka untuk menikmati percintaan ini sepuas hati. Karena sisi buasnya sudah bisa dia lepaskan, dia berhenti menjadi gentleman. Serigala yang tersimpan di bawah wajah kharismatiknya akhirnya menampakkan taring dan membuat malam mereka membara.

Dika yang setelah mengeluh malah diserang tanpa henti, hanya bisa pasrah dan sesekali menggigit pundak kekasihnya. Serigala licik itu melahapnya tanpa ampun. Hans yang terlihat lugu dan pandai memelas sudah hilang dan digantikan kekasih menggebu-gebu yang dikenalnya sangat baik selama belasan tahun. Dengan Hans yang ini, Dika tidak mampu berpikir. Dia akan cepat mencapai klimaks namun malamnya tidak akan berhenti sampai di situ saja. Kekasihnya itu tidak akan berhenti sebelum terpuaskan. Setelah setahun terlewati, entah berapa babak yang Hans inginkan. (author: Hans, lu benar-benar serigala berbulu domba)

***

Operasi penyelamatan Maria yang berakhir sukses membawa ketenangan untuk Javier. Meskipun begitu, hatinya seperti teriris saat mengetahui jumlah bawahannya yang tidak selamat di tengah pertikaian itu. Darah sudah tertumpah dan dia perlu menanggung beban dosa itu lagi. Hidup keras ini mulai terasa menyebalkan sekarang.

Setelah membawa Maria ke tempat aman kemudian mengumpulkan semua bawahannya yang sebelumnya berceceran ke berbagai tempat, Javier baru bisa duduk tenang dan menikmati wine. Saat itu malam sudah sangat larut dan sebagian besar orang sudah terlelap karena kelelahan fisik dan mental. Yang masih menemaninya minum hanya Rio dan Silas. Mereka bertiga duduk mengelilingi meja bundar kecil dengan berbagai macam alkohol di atasnya.

"Jav, bisa ngga kamu menjaga mulutmu sedikit?" gerutu Rio yang akhirnya tahu kalau Javier sudah menantang Alvaro. Dia sudah mabuk. Itu terlihat dari mata merahnya dan caranya meracau. Gara-gara berita mengejutkan itu, Rio ingin mabuk semabuk-mabuknya.

Tidak merasa perlu menyahuti Rio yang memang hanya ingin menggerutu, Javier mengabaikan temannya itu dan menuangkan wine tambahan ke gelasnya. Tepat saat itu, Silas menyodorkan gelas, minta diisikan juga.

"Aku bukan pelayanmu, isi sendiri!" kata Javier. Namun, tidak peduli itu, Silas malah menyodorkan gelasnya lebih dekat. Tanpa banyak pilihan, Javier akhirnya mengisikan juga gelas milik Silas itu.

"Gracias." kata Silas berterima kasih. "Terima kasih untuk sore tadi juga. Aku mungkin sudah menjadi mayat kalau kamu tidak menembak tiga sniper itu." tambahnya.

"Kamu menyadari itu?" kata Javier agak kaget. Awalnya dia berencana untuk memberitahu Silas namun lupa. Dia terlalu sibuk dan stress sehingga tidak ingat pada hal-hal kecil.

"Setelah membereskan semuanya, aku menyadari itu." jawab Silas datar.

"Wah, ini luar biasa. Kamu ternyata bisa berterima kasih." komentar Javier yang cukup lama terganggu karena wajah tanpa emosi orang di depannya.

"Aku selalu sopan dan berterima kasih atas semua pertolongan yang aku terima. Mungkin kamu terlalu banyak prasangka sehingga tidak menyadari itu." sahut Silas.

"Iya. Dia menganggapmu pembunuh berdarah dingin yang tidak punya hati." kata Rio tiba-tiba di tengah pembicaraan. Dia yang mabuk tidak memfilter kata yang keluar dari mulutnya.

Silas hanya mendengus sambil tertawa kecil ketika mendengar itu. "Mesin pembunuh mengatai orang lain pembunuh berdarah dingin. Kamu harusnya berkaca." ujar Silas masih tanpa emosi. Dia meminum wine-nya dengan santai.

"Aku tidak suka melakukan itu. Berbeda denganmu yang terlihat menikmatinya." balas Javier tidak terima.

"Aku hanya merasa kalau semua manusia kotor itu sebaiknya dibersihkan. Dengan begitu mereka tidak akan merugikan banyak orang."

"Apa aku termasuk dalam manusia kotor yang kamu maksud?"

"Who knows." sahut Silas. Awalnya dia sempat berpikir seperti itu namun setelah melihat bagaimana Javier menyelamatkan ibunya, dia tidak tahu lagi.

"Kamu sebaiknya menghargai manusia sedikit. Belum tentu orang yang kamu lihat memang seperti yang kamu bayangkan. Kamu yang harusnya belajar agar tidak penuh prasangka." kata Javier mengembalikan nasehat Silas kembali padanya.

Silas tidak menyahuti itu. Rio juga tidak bisa menyahuti apapun karena sudah jatuh tak sadarkan diri di atas meja. Hening menyeruak di tengah ruangan yang penuh bau alkohol dan tidak ada yang berniat memecahnya selama beberapa menit. Di tengah kesunyian itu, Javier menegak satu gelas wine sekali jalan. Setelah itu dia meletakkan gelas dengan kasar kemudian tertawa.

"Setelah aku pikir baik-baik, aku tidak pernah bisa memilih apapun. Hidupku seperti bukan milikku. Biarpun aku melakukan banyak hal sesuka hati, aku tidak tahu kemana aku harus berjalan. Segala hal sangat kacau sehingga aku hanya bisa memikirkan apa yang ada di hadapanku. Betapa menyedihkan." kata Javier setelah selesai tertawa.

"Kalau menurutmu itu menyedihkan, gimana kalau memilih jalan itu sekarang? Belum ada yang terlambat asalkan kamu punya keberanian dan kekuatan untuk menjalaninya." sahut Silas.

Mendengar pendapat Silas, Javier merebahkan punggung ke sofa kemudian menatap manusia berwajah datar di depannya selama satu menit.

"Masuk akal. Coba kamu sering-sering seperti ini, kita mungkin bisa berteman." kata Javier setelah selesai berpikir.

"Jangan dipikirkan. Aku belum berniat berteman denganmu." kata Silas yang kemudian menghabiskan alkohol di gelasnya.

***

Catatan:

Kalau diibaratkan binatang, anak sulung Farrel adalah rubah, yang no 2 adalah serigala, dan dua terakhir itu monyet pembawa masalah. Gitu sih klo author yang bayangin. Empat orang itu ngga satupun kepribadiannya bener. Yang pertama adalah penjilat, manipulator, dan pemalas. Yang kedua bermuka ganda, licik, dan suka mengontrol. Dua termuda adalah pengacau, pemberontak, dan jahil. Well, mereka punya sisi positif juga tapi kalau misalnya ditanya, author akan bilang kalau genetik Atmajati dan Artharaya sebaiknya ngga usah bertemu 🙃.

Burung Dalam Sangkar (BxB) [End-Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang