"Sangat buruk seorang Ayah yang tidak mengetahui sosok anaknya,"
.
.Happy Reading 🦋
Berjuta rasa kasihan, penyesalan, kerinduan. Tapi tidak meruntuhkan tembok keegoisan yang selama ini terbangun rapi nan kuat pondasinya.
Menurutnya, lelaki tua itu seharusnya tidak pernah menikah saja. Daripada mengikat satu sama lain untuk sebuah kesengsaraan batin. Tidak terlihat, hanya bisa dirasakan.
Jari jemarinya terketuk berirama ke meja berulang kali dengan pandangan tertuju pada laptopnya.
Tak terasa waktu berjalan cepat. Ia lulus dengan nilai akhir nyaris sempurna. Ia menyelesaikan semua permasalahan yang selama ini mengganggu dirinya. Membuat senyuman penuh kebahagiaan saat wisuda dilaksanakan.
Dan sekarang, di usia 26 tahun, ia belajar banyak hal. Salah satunya mengerti orang lain itu bisa dimulai ketika mengerti tentang diri sendiri. Ekspresinya datar tapi kepalanya berisik. Telinganya terus mendengar suara seseorang walau matanya tak berpindah dari objek di depannya.
"Urus perusahaan dengan baik. Ayah akan kesana untuk mengecek beberapa berkas. Jangan buat keributan, lagi, Jaemin..." Pinta sang ayah dengan nada memohon penuh pada kalimat terakhirnya.
Tidak. Ia tidak bisa janji. Ia tidak bipolar, ia bisa mengendalikan emosinya. Hanya saja orang-orang tidak mengerti arti menghargai. Tidak apa jika mereka suka, tapi kenapa harus mengatakan terang-terangan?
"Ayah harap kamu bisa mengerti apa yang Ayah katakan. Walaupun ayah tahu kamu tidak mendengar apa yang Ayah katakan, tolong Jaemin—"
Tut.
Jaemin mematikannya sepihak. Ia tidak butuh alasan bodoh lagi. Ia tahu kemana ia harus berjalan. Ia tidak akan begitu mengikuti arus. Ia akan berbelok disaat ia bisa.
Banyak sekali permintaan yang Ayah ajukan, tapi tidak pernah ia gubris. Ayah aneh. Sangat aneh karena memintanya untuk menjauhi adiknya sendiri. Seorang yang ia rawat selama ini. Yang juga adalah anak bungsunya. Bagaimana bisa Jaemin melakukan itu? Apa ia harus ikut gila demi kepuasan Ayah?
"Lain kali pikirkan lagi bagaimana rasanya dijauhi tanpa alasan jelas, Ayah." Gumamnya dengan pandangan tak berpindah.
Kini jarinya mengetikkan beberapa kalimat. Mengisi beberapa kolom kosong yang sejak tadi ia biarkan untuk mendengarkan ucapan demi ucapan Ayah nya. Yang seharusnya tidak perlu ia dengarkan. Sama sekali bukan hal penting.
Terkadang ia perlu melihat dari berbagai sudut pandang untuk memutuskan sesuatu. Dan sekarang, logika juga hatinya terkoordinir dengan baik. Memikirkan bahwa Jisung lah yang seharusnya ia prioritas lebih dulu dibandingkan apapun.
Karena rasa kasihan juga diimbuhi kasih sayang.
∞
"Jangan pernah dengarkan Ayah. Dia pintar membual. Percaya saja pada hyung," ucapnya untuk meyakinkan adiknya yang duduk dengan wajah cemberut. Lucu sekali. Seperti bayi yang tidak diberi susu. Padahal usianya sudah memberitahunya kalau dia sudah dewasa.
Sampai kapan ia harus mengatakan pada orang-orang kalau Jisung seperti bayi? Ia akan mengatakannya seumur hidup kalau bisa.
"Tapi ayah benar hyung. Aku merepotkan kalian. Aku menghambat kalian. Harusnya hyung bisa lulus lebih cepat, tapi tertunda karena aku. Hyung...kata-kata Ayah selalu benar." dia kembali mengulanginya. Overthinking. Ia tidak suka itu. Dia memikirkan orang lain, lebih dari dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Boy♪
Teen FictionSetiap orang punya alur nya dengan proporsinya masing masing. Tapi, Jisung rasa alurnya terlalu berat untuk ia lalui sejak belia. Tuhan tidak salah menentukannya kan? Start: 22 Agustus 2021 #3 Yujin #9 Keras #7 Masa #17 Masa #72 perjalanan #21 Sad S...