06. the boy who shines in the dark of the night

929 114 39
                                    








Jemari lentik itu terus menari di atas papan ketik sebuah laptop sejak subuh tadi, meski sekarang wanita berstatus ibu tunggal itu dalam masa cuti ia tetap harus bekerja secara online.

Hidup sebagai ibu tunggal sejak Nunew masih berusia sebelas tahun bukanlah hal mudah. Ia harus banting tulang agar putra satu-satunya tidak kekurangan apapun, baik kasih sayang mau pun finansial. Semenjak Wasita Perdpiriyawong berpisah dengan pria yang ia anggap belahan jiwanya itu, Wasita berjanji akan merawat dan membesarkan Nunew sebaik mungkin, melimpahi anak itu dengan kasih sayang dan memenuhi semua kebutuhan.

Wasita bersyukur karena Nunew tumbuh menjadi anak yang penurut, tidak banyak tingkah dan berprestasi meski ia tau sebanyak apa kenakalan anak remajanya itu di luar sana, lalu ketika pulang ia akan menjadi anak manja yang tidak bisa melakukan apapun tanpa sosok ibu. Wasita sengaja membiarkan Nunew tumbuh sebagaimana kehendaknya tanpa memaksakan sesuatu, karena bagi ibu tunggal itu, hidup Nunew adalah tanggup jawab Nunew sendiri. Ia hanya akan menjadi tempat Nunew bertanya, apakah yang ia lakukan salah atau benar, dan menuntun kembali pada jalan lurus ketika anak lelaki itu salah langkah.

Bukan Wasita tidak pernah marah, tentu ia akan marah pada waktu-waktu tertentu seperti seorang ibu kebanyakan. Namun sebagian besar amarah Wasita hanya sebab sepele seperti Nunew merokok atau minum alkohol hingga hangover.



TIIITTT  TIIIITTT


dering jam weaker di atas nakas mengalihkan atensi ibu tunggal itu dari layar persegi panjang, waktu menunjukkan pukul tujuh tepat. Matahari pun sudah menyerobot masuk melalui gorden jendela yang ia biarkan terbuka sejak subuh tadi. Tirainya bergerak mengikuti irama angin sepoi, membawa udara sejuk masuk ke dalam kamar.

Saatnya kembali beraktifitas sebagai ibu rumah tangga, di awali dengan melangkah ke kamar Nunew untuk membangunkannya karena hari ini di desa akan di adakan festival panen dan sang ibu meminta Wasita ikut membantu warga lain mempersiapkan festival nanti malam besama.

Nunew tidak akan suka tentu saja, jadi ia hanya akan membangunkan pemuda itu, menyiapkan sarapan lalu berangkat.

"Nu, ayo bangun," baru Wasita membuka pintu kamar Nunew, bau alkohol menyeruak indera penciumannya. "Astaga, anak ini"

Dengan wajah kesal, Wasita menarik selimut yang menggulung tubuh Nunew lantas memukuli tubuh anaknya itu menggunakan guling hingga sang empu sadar dan berteriak melontarkan protes.

"Ibu! Aduuh ibu kenapa memukulku? Aku salah apa??" Nunew menahan guling yang di pakai Wasita, namun sang ibu tidak habis akal, kali ini menggunakan tangan kosong untuk memukuli punggung sang anak.

"Anak nakal! Bisa-bisanya kau mabuk di rumah nenekmu sendiri!"

"Aduh aduh! Ibuuu, justru nenek yang memberikannya padaku kemariinn"

Aksi anarkis Wasita berhenti untuk memandang wajah acak-acakan Nunew, "apa? Jangan coba berbohong pada ibu"

"Aku tidak bohong ibu tanyakan saja pada nenek,"

"Ck, nenekmu terlalu memanjakanmu, sudahlah, cepat bangun ibu akan membuat sarapan" ucap Wasita, memunguti bantal dan guling yang sempat berjatuhan.

"Nanti saja, sepertinya aku demam"



***



Tubuh Nunew berkeringat begitu banyak akibat bergelung dalam selimut cukup lama, di tambah suhu tubuhnya sempat naik tadi, namun setelah minum obat lalu kembali tidur Nunew merasa lebih baik.


Friend With Benefit [END ✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang