Angin sepoi bergemerisik, bergesekan dengan dedaunan pohon rindang, di atas kepala kedua anak adam yang masih betah duduk berdampingan. Anak-anak rambut Nunew tersapu angin pagi yang cukup menusuk terlihat indah di mata Zee, kulit bersih pemuda itu, bibir penuh yang terlihat merah alami melengkungkan sebuah senyum karena perbuatannya barusan.
"Kenapa? Itu hal biasa yang di lakukan teman," seloroh Nunew, sesekali melirik pada Zee yang masih tidak bergeming memproses apa yang baru saja terjadi.
Begitukah cara pergaulan orang-orang di kota? Menyentuh bibir orang lain tanpa izin? Tapi Zee hanya pria desa, Nunew tidak sepantasnya menganggap itu sebuah lelucon bukan?
Akhirnya Zee kembali pada ke adaan normal, berdehem sekali sebelum berucap, memilah kalimat yang sesuai untuk pertanyaan dalam benaknya. "Aku rasa aku tidak terlalu kuno untuk tau bagaimana pergaulan orang di luar sana, tapi aku baru tau ada hal semacam itu."
Nunew kembali terkekeh, atensinya beralih pada hamparan danau yang mulai beriak akibat angin yang cukup kencang, sepertinya akan hujan lagi hari ini. "Ada tentu saja," ia menoleh pada lawan bicaranya, " jangan katakan, ini adalah ciuman pertamamu"
Mulut Zee tergagap, membuka dan menutup untuk menyangkal ucapan Nunew namun tidak menemukan kata yang pas. Nunew yang melihat itu kembali tersenyum jail, sengaja mendekatkan kembali wajahnya pada Zee hingga pria itu spontan menahan nafas karena gugup.
"Apa benar?? Itu artinya aku yang pertama? Berapa usiamu sekarang, tuan Zee?"
"Nu, berhenti meledekku," ucap Zee pada akhirnya, mendorong perlahan pundak Nunew agar menjauh dan ia bernafas lega karena Nunew mau menurut.
"Ck, baiklah, aku tidak meledek, tapi tolong jangan sok akrab dengan memanggil nama kecilku, panggil aku Nunew saja," lantas Nunew bangkit, kedua tangannya kembali ia masukkan pada saku celana lalu melangkah pergi menjauh. Sudah cukup bersantainya, matahari pun sudah mulai naik, Nunew takut ibu dan neneknya bangun dan panik karena tidak mendapati dirinya tidak ada di manapun.
"Kau yakin tidak mengingat sedikitpun tentangku, Nunew?"
Suara Zee menghentikan Nunew di langkah kelimanya, "apa kau sepenting itu untuk aku ingat? Kalau tidak, jangan bertanya lagi. Aku malas memikirkan hal yang sia-sia."
Benar apa yang di katakan Nunew, mengingat masa kecil mereka bukanlah hal penting. Mereka hanya berteman selama satu tahun sebelum Nunew kembali pindah ke kota bersama sang ibu. Zee saja yang terlalu perasa hingga menganggap ingatan kecil itu berharga, tidak ada yang istimewa dalam pertemanan mereka pun tidak ada janji yang harus di tepati seperti di film-film.
Namun perasaan kecewa karena tidak di ingat tetap ada dalam hati Zee, masih segar dalam ingatannya dulu ketika seorang anak kecil bertubuh gempal terjatuh dari sepeda menangis sesengukan. Wajah dan hidung nemerah itu basah akibat air mata, begitu menggemaskan di mata Zee.
***
Saat kebunnya panen adalah hari dimana Zee akan sibuk di ruang sempit yang bersebelahan dengan kebun stroberi milik orang tuanya. Ruang itu berfungsi sebagai ruang kerja untuk anak sang pemilik kebun, ya, siapa lagi yang akan mengurus semua ini jika bukan Zee? Kebun seluas satu hektar itu dalam kendalinya penuh. Ketika para pekerja pengurus kebun memanen dan mengemas hasil panen untuk di setor ke para produsen buah di kota, Zee akan bekerja mengontrol semuanya di balik komputer.
Memang cukup membuatnya sibuk, apalagi jika libur semester berakhir. Entahlah ia merasa panen kali ini adalah yang terakhir yang bisa ia lakukan sebelum kebun stroberi itu akan berada dalam masa vakum, karena semester baru nanti Zee mulai memasuki semester akhir yang tentu akan menguras seluruh waktunya.
Sejujurnya tanpa harus meneruskan sekolah pun Zee telah menemukan karirnya di bidang penjualan seperti sekarang, bahkan jika mau Zee mampu membeli lima hektar kebun lagi dari hasil keuntungan penjualannya. Namun bukan itu yang Zee cari selama ini, bukan kesuksesan atau uang, awalnya ia hanya iseng memanfaatkan kebun kosong milik sang ayah yang bekerja di kota bersama ibunya. Sedangkan Zee tidak mau ikut pindah, alasannya sederhana, sang nenek ingin tetap tinggal di desa karena terlalu banyak kenangan bersama sang kakek yang telah wafat.
Zee mana tega melihat neneknya hidup sendirian, jika boleh membandingkan ia juga lebih dekat dengan neneknya di banding ayah dan ibunya sendiri karena sang nenek lah yang mengurus Zee sejak kecil. Lantas dua tahun lalu dokter memvonis neneknya mengalami dimensia. Membuat Zee semakin tidak ingin lepas dari sang nenek.
"DOORR!!"
Zee berjingkat terkejut ketika seseorang berteriak sambil menepuk punggungnya, fokusnya pada layar komputer ter alih, untungnya Zee sedang tidak melakukan apapun, hanya sekedar browsing internet. Ia menoleh, mendapati pria bermata sipit terkekeh lantas duduk di depan meja kerjanya.
"Kenapa suka sekali mengagetkan ku sih, bagaimana kalau aku terkena serangan jantung, James?"
James terkekeh, menopang dagu menggunakan sebelah tangannya sambil menunjukan wajah jenaka, "Apa temanku punya penyakit jantung turunan? Aku rasa dengan staminanya yang seperti kuda liar, penyakit seperti itu sungkan untuk menempel padamu."
Zee mendengus, memilih kembali fokus pada kegiatan sebelumnya daripada harus menanggapi ocehan James yang nantinya akan semakin bicara ngawur.
James adalah satu-satunya teman Zee di sini, karena penduduk desa ini kebanyakan lanjut usia, mereka lebih suka menyekolahkan anak mereka ke kota, lalu James? Ia pun sempat bersekolah di kota beberapa tahun, namun kembali karena kesehatannya dan memilih menetap di sini. Berbeda dengan Zee yang lahir dengan sendok plastik, James justru lahir dengan sendok emas di mulutnya. Keluarga James orang yang cukup terpandang di desa. Ayah dan ibunya sering berlibur keluar negri, berbeda dengan si anak yang lebih memilih tetap di rumah selama liburan.
"Zee, nanti makan malam di rumahku ya?"
"Kenapa? Orang tua mu pergi?"
Pria itu mengangguk, ia juga merasa kesepian dan kurang kasih sayang karena James adalah anak tunggal. "mereka ke sidney, mengurus pekerjaan," ucapnya dengan nada lesu, ini lah alasan James pagi-pagi bersandang ke tempat Zee, ia kesepian dan butuh teman, selalu seperti itu.
"Baiklah," kini Zee yang mengangguk, namun ia teringat pada Nunew, James dan Nunew memang tidak mengenal satu sama lain. Nunew pergi ketika mereka lulus kelas enam sekolah dasar dan Zee belum mengenal James saat itu, mereka mulai berteman ketika sekolah menengah pertama. "Hem, James, bagaimana jika mengajak temanku yang lain? Kita seumuran."
"Teman? Di desa ini ada orang lain yang seumuran dengan kita?"
"Ada, dia berlibur ke sini, cucunya nenek Mayda"
James merotasi bola matanya, "jadi si anak kota itu temanmu?" Ekspresi jenaka itu sontak berubah sinis jika membahas sesuatu yang tidak di sukai adalah ciri khas dari James Suppamongkon, Zee sudah hafal olehnya. Namun Zee masih bingung kenapa James selalu tidak suka dengan sesuatu yang berasal dari kota.
"Iya, dia teman kecilku di sini dulu, boleh kan?" Zee tidak peka terhadap perubahan ekspresi James kali ini, karena dirinya terlalu bersemangat jika mengingat pemuda itu dengan senyum manisnya.
"Kalau aku bilang tidak boleh, apa kau akan sedih?" James menatap wajah Zee yang seketika berubah menjadi sok imut dengan bibir di majukan dan puppy eyes yang sialnya terlihat imut di mata James. Ayolah lelaki berkumis tipis itu tidak cocok melakukannya, tapi anggaplah itu justru yang membuat James terkekeh dan luluh, James kalah. "Baiklah, ajak anak kota itu."
-TBC-
Kira-kira kenapa ya James ga suka banget sama si anak kota? 😂😂😂
(Sincerely Ttalgiga 2023)
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend With Benefit [END ✓]
FanficNunew si anak kota yang ikut sang ibu berkunjung ke desa tempat neneknya tinggal untuk liburan semester, sama sekali tidak bisa ber-adaptasi dengan lingkungan. Dalam rundung ke jenuhan ia bertemu dengan seorang laki-laki dengan binar di matanya. "La...